Kenapa begitu? Karena kamu sudah melanggar tradisi dalam keluarga kita. Beradat dalam berkata. Sopan dalam menulis dan bicara. Rasional dalam bertindak. Jauh dari sifat emosi yang membunuh akal.
Sama dengan Datuk yang mengaji di surau dan “maota” dilapau, setelah itu kami merantau ke Jawa ketika remaja akhir dan dewasa awal. Datuk belajar ekonomi dan hitung dagang. Aku belajar ilmu politik dan hitung-hitungan hidup.
Datuk adalah inspirasiku. Ketika di bangku kuliah, datuk dengan lantang menyuarakan kegelisahannnya atas nasib Indonesia yang saat itu belum diakui sebagai sebuah negara. Aku pun demikian dengan memilih jadi aktivis saat di bangku kuliah, di kampus yang sama tempat Ibumu Halida menempuh pendidikan.
Datuk juga pernah ke liga-liga menentang imperialisme dan menjadi pimpinan mahasiswa Indonesia dalam forum itu. Akupun begitu, pernah mewakili Indonesia dalam liga pemuda dunia.
Datuk terjun ke politik dalam usia muda, akupun meniru-niru Datuk. Obsesiku dengan langkah-langkah datuk membuat akupun terjun dalam politik dalam usia yang juga relatif muda.
Gustika Sayang, jadi begini. Datuk kita itu seorang politisi. Dia juga seorang teknokrat. Di atas itu semua, datuk tentulah negarawan.
Selesai menamatkan pendidikan tingggi di sekolah ekonomi di Rotterdam, Datuk pulang ke tanah air bersama Datuk Syahrir dan mendirikan partai politik. Menjadi pejuang politik PNI Pendidikan, melanjutkan PNI Partai Nasional Indonesia yang ditutup Eyang Karno karena sesuatu dan lain hal.
Datuk kita itu seorang geek. Kerjanya membaca, menulis, berdiskusi, berdebat, membaca lagi, menulis lagi. Saking geek-nya, kacamata datuk menjadi sedemikian tebal karena gila baca. Minus mata datuk itu lebih dari lima. Datuk tak bisa melihat jelas tanpa kaca mata.