Berikut kami sampaikan hak jawab dari wartawan kami yang meliput sidang Disertasi Doktor Arief dan yang menulis berita terkait disertasinya. Dan setelah ini kami harapkan tidak ada lagi polemik yang berkembang
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji syukur bagi Allah Subhana wa ta’ala, Tuhan sekalian alam, yang hanya menyeru kita beriman kepadanya dan ingkar kepada thaghut-thaghut sebagai sesembahan baru. Tak lupa pula, Shalawat dan salam saya haturkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW sebagai Nabi mulia yang mengajak kita menuruntuhkan tuhan-tuhan palsu dan mengajak kita hanya memeluk jalan Islam.
Dalam kesempatan kali ini, izinkanlah saya memberikan tanggapan terhadap isi surat Pak Arief Munandar kepada Eramuslim mengenai pemberitaan terhadap Eramuslim terhadap disertasi beliau di FISIP UI.
Saya hanya menyayangkan bahwa kejadiannya menjadi seperti ini. Pak Arief jadi terkesan menuduh Eramuslim menjadi pihak yang tendensius. Saya bukan ingin melakukan pembelaan atau melakukan Self Defense Mechanism. Namun saya merasa berkepentingan untuk meluruskan dan menjawab surat (lebih tepatnya tuduhan) DR. Arief Munandar kepada Eramuslim, yang menurut saya tidak sepenuhnya benar dan terkesan menjadi menyalahkan Eramuslim.
Saat itu, 5 Juli saya datang untuk meliput Disertasi saudara Arief Munandar yang berjudul “Antara Jema’ah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004”. Selama mengikuti sidang itu, saya sudah merasakan hawa panas. Sebab pada awal-awal presentasi disertasi itu, Pak Arief dengan gencar mengkritik PKS. Salah satunya isu seperti dalih husnuzhan yang sering dimainkan qiyadah. Lalu perbedaan mainstream di jajaran struktur (yang kemudian itu saya konfirmasi dalam wawancara).
Menariknya, ketika Pak Arief melakukan kritik tajam terhadap PKS, saat itu pun beberapa pengurus Partai ikut menyaksikan. Saya mencatat nama seperti Ibu Nursanita Nasution dan Pak Fahmi Alaydrus. Ada pula artis seperti bu Neno Warisman. Serta tidak ketinggalan beberapa kader PPSDMS ikut menyaksikan jalannya acara itu. Saat para penguji masuk ke ruangan, banyak hadirin ikut berdiri. Saya sendiri hanya duduk, karena bagi saya ketaatan seorang muslim hanyalah kepada Allah. Termasuk untuk sekedar berdiri sebagai tanda penghormatan. Sepanjang pemahaman saya, ketika Rasulullah datang pun, sahabat tidak pernah berdiri. Ini menjadi dasar tauhid bagi saya, ketika saya memutuskan tidak berdiri.
Saya pun mencatat dengan baik ucapan-ucapan Pak Arief Munandar saat sidang. Dengan sebilah pensil dan buku catatan, saya memasang telinga agar tidak ketinggalan momen dalam presentasi anda. Saya pula yang dalam jalannya sidang itu ikut mengangguk-anggukan kepala melihat kritikan beliau memang pas dengan kondisi di PKS. Dan ketika usai acara saya pun melakukan wawancara.
Pak Arief Munandar, ingatkah bapak ketika saya selesai melakukan wawancara dengan bapak, anda berpesan kepada saya untuk mengedit isi wawancara. Alhamdulillah saya lakukan sesuai keinginan bapak. Bahkan diluar permintaan bapak, saya pun memperhalus isi perkataan bapak, karena dalam kode etik jurnalistik menghargai narasumber adalah hal penting bagi saya (Ini yang tidak diketahui para pembaca). Saya sendiri tidak ingin kemudian bapak menuai konflik baru dengan partai yang bapak teliti. Bahkan ketika saya ingin menaikkan wawancara itu dalam versi utuh, saya berkonsultasi dengan pihak Redaksi Pelaksana (Redpel) apakah semua isi wawancara saya dengan bapak, dimuat secara utuh atau tidak. Dan alangkah bijaknya bahwa Redpel dengan tutur kata lembutnya mengatakan kepada saya, “Jangan.. jangan semuanya akhi”. Redpel berkata seperti itu, karena beliau sebagai jurnalis senior ingin menghargai bapak dan hubungan bapak dengan PKS. Begitu pula dengan saya.
Bahkan saya turut bangga kepada pihak Redaksi Eramuslim yang memuat dua kali surat keberatan pembaca tentang berita sidang disertasi bapak. Bahkan ada satu sebenarnya surat keberatan yang menanggapi isi Surat Saudari Rifatul Farida, tidak diangkat oleh Eramuslim. Karena kita tidak ingin menuai konflik baru dan kami pun mencoba membiasakan diri untuk membangun tradisi kritik dan menerima kritik walau itu pahit.
Padahal jika kami berfikir pragmatis, -dengan memanfaatkan momentum dalam hal ini,- kami pun akan diuntungkan jika mengangkatnya, dengan harapan bahwa ternyata ada persepsi pembaca yang sama dengan kami. Namun, sekali lagi, hal itu kami urungkan, karena kami adalah media yang membuka tangan jika ada saran dan masukan.
Perihal sikap beberapa pembaca yang memiliki “kecintaan besar” kepada PKS dengan kemudian menuduh kami sebagai media pengadu domba, suuzhan, tidak professional, dan barisan sakit hati. Insya Allah, sikap itu kami buka dengan tangan terbuka, karena kami sekali lagi tidak mengalami masalah tentang kritik yang datang kepada kami.
Saya sendiri tidak mengambil pusing, karena inilah memang resiko ketika mengangkat berita tentang PKS. Selanjutnya, adapun adanya ucapan dari salah seorang komentator di Media kami yang berujar,
“coba di website PKS, dikasih gak fasilitas komentar atau mengirimkan sesuatu yang berbeda dengan kemauan redaksi? Coba di milis2 PKS, dikasih gak sama moderatornya ntuk mengirim sesuatu yang berbeda dengan kebijakan PKS atau moderator milis?”
Atau komentar lainnya yang berujar,
“Eramuslim gentleman, siap menerima kritik, berbeda dengan milis pks dan situs pks, ga akan berani membuka wacana perdebatan, di halaman web mereka, salut dengan keberanian eramuslim, dua duanya sudah member hak jawabnya baik pak arif ataupun eramuslim, tergantung persepsi pembaca mengartikannya, menurut saya memang itu fakta persidangan bukan bagian dari disertasi sendiri, tapi dengan kebesaran hati eramuslim bersedia menghapus walaupun sebenarnya secara etika jurnalistik tidak ada kewajiban menghapus kecuali bagian ringkasan disertasi yang di komplain oleh pak arif.”
Mengenai komentar-komentar itu, saya hanya ingin mengucapkan terimakasih. Adapun mengapa di Milis PKS tidak berjalan seperti itu. Saya sendiri tidak tahu, karena saya sendiri tidak pernah mengikuti satu milis PKS pun, atau milis-milis partai lain. Saya hanya pernah mendengar dari teman saya bahwa saat dia mengkritik salah seorang kader PKS tentang partainya lewat FB, dengan cepat pertemanannya dihapus alias di-block. Atau kisah dari kenalan saya yang dikeluarkan dari milis karena satu dua kali mengkritik PKS, meski milis itu tidak ada hubungannya dengan partai. Dan Alhamdulillah dari sini, Eramuslim semakin yakin bahwa tradisi mengkritik itu kami jalankan dan kami terus perbaiki.
Selanjutnya, ketika bapak mengkomplain isi tulisan dan judul kami, saya sendiri merasa bingung. Saya bingung karena saya hanya menaruh apa yang bapak katakan dalam persidangan dan disertasi. Saya akui bahwa, saya sekalipun bukanlah jurnalis senior dan hebat, saya faham kode etik, dan alangkah fatalnya jika Eramuslim menaruh judul berita yang tidak sesuai dengan isi.
Kenapa saya menaruh isi ringkasan disertasi bapak, karena hal itu hanya memperkuat statement bapak dalam persidangan. Maka itu, setelah acara, saya pun mewawancarai bapak, untuk mengkonfirmasi apa-apa saja yang belum jelas di persidangan. Saya sadar dengan kecenderungan pembaca Eramuslim yang memiliki kecintaan besar kepada PKS kerap menyudutkan kami sebagai media tendensius. Maka itu kami memakai media konfirmasi lewat jalan wawancara. Namun sudahlah, bapak sendiri tidak mempermasalahkan isi wawancara itu, namun hanya terganjal pada judulnya. “PKS bingung dengan identitasnya sendiri”. Namun dalam hal ini, saya pun juga ingin memakai hak jawab saya atas keberatan bapak dalam pemakaian judul ini. Sekali lagi, kami hanya mengutip perkataan bapak dalam wawancara.
“Menurut hemat saya sebenarnya ceruk pemilih PKS cukup baik. Tapi di mana-mana jika kita bingung dengan identitas kita sendiri, maka orang luar akan lebih bingung lagi. Dan yang membingungkan itu tidak akan dipilih lagi. Akhirnya kita oleh orang sekuler tidak dipilih, dan oleh orang Islam yang kuat juga tidak dipilih. Ada seorang narasumber saya memberikan pernyataan yang cukup baik, ‘Kita ini katanya partai dakwah, harusnya milik umat. Tapi sudahkah kita menjadi partai umat?”
Kalaulah memang kita tendensius, kami bisa saja memasang judul “Elit PKS memiliki ruang bermain luas karena Dalil Taat”. Dengan mengutip statement bapak berikut ini,
“Justru saya melihatnya tarbiyah itu terkooptasi. Kader itu karena tarbiyah, dia menjadi loyal, taat, dan tsiqoh. Tapi sebaliknya elit menjadi punya ruang bermain dalam hal ini, yang sebenarnya bukan hal-hal yang agamis. Contoh ketika mulai ada suara-suara apakah uang kita masih bersih atau tidak, itukan sebenarnya pertanyaan yang profane dan tidak sakral, tapi dijawab dengan jawaban sakral, bahwa kita harus khusnudzan. Ini menjadi persoalan. Kalau tidak diperbaiki, PKS akan kehilangan keunikannya.”
Selanjutnya, ketika anda keberatan pula, saat Eramuslim memasang judul “Ada Problem di tubuh PKS?”. Lagi-lagi saya juga ingin klarifikasi. Ini semata-mata agar pembaca tahu dan tidak menuduh kami sepihak. Saya sendiri sengaja memberi kode “?” (tanda tanya) di belakang judul, karena saya juga tidak ingin bersikap subjektif, dan terkesan kami menggiring pembaca, karena banyak pihak di PKS sendiri merasa Eramuslim adalah “media sakit hati”. Pemakaian kode ? adalah peluang bahwa ucapan itu masih bisa didiskusikan kembali bagi pembaca. Namun ketika anda mengatakan kami tendensius, disini saya akan meluruskan apa perkataan Pak Arief. Saya akan kutip disertasi yang memang bapak tulis. Misalnya di halaman 17,
“(Di dalam tubuh PKS, red.) Faksi pragmatis, progresif, dan faksi Sekjen saling beririsan cukup besar, sebaliknya tiga faksi lainnya yaitu faksi idealis, konservatif, dan penantang juga saling beririsan relatif luas satu sama lain, walaupun faksi penantang memiliki irisan cukup besar dengan kelompok orientasi partai politik,”
Bahkan Anda sendiri menulis kondisi pasca pemilu bahwa kader mengalami kebingungan. Di halaman 32, ringkasan disertasi anda mengatakan,
“Wacana partai terbuka memicu kebingungan.”
Sebagai salah satu indikator religious Movement Oriented pada poin Pandangan tentang gaya hidup, Anda pun menulis,
“Memandang, kelompok political party oriented cenderung berwewah-mewahan. ‘Kemewahan tersebut semakin menjadi persoalan ditengah-tengah kondisi mayoritas kader PKS yang belum sejahtera secara ekonomi” (h. 19)
Bukankah ini perkataan bapak sendiri di disertasi? Bukankah ini tulisan anda? Atau jangan-jangan saya yang keliru membaca? Dan inipun masih satu kasus dari sekian kasus yang anda tulis lebih banyak lagi dalam disertasi. Anda juga mempermasalahkan teori Wolinetz untuk membaca dinamika PK/PKS dari Pemilu 1999 ke 2004 dan 2009 yang anda nilai dijadikan eramuslim berita. Saya hanya ingin katakan, anda juga jangan lupa bahwa anda memakai Teori Wolinetz dalam kapasitas mengkontsruk basis kultur PKS. Secara teoritik, hal itu kemudian tidak lagi menjadi domain teori Wolinetz an sich, tapi sudah masuk kepada wilayah PKS. Lagi pula bukankah PKS memang menjadi Partai Pengejar Jabatan Publik? Bukankah dana miliaran PKS habis untuk mendapatkan kursi kekuasaan seperti yang dikatakan Ustadz Abu Ridho saat mengisi acara di Salam UI tahun lalu? Bukankah pemilukada DKI masih satu tahun lagi, namun spanduk sang calon PKS sudah menyebar dimana-mana?
Kalau ada yang mengatakan bahwa Eramuslim memotong-motong Disertasi Arief Munandar, silahkan baca sendiri disertasi beliau. Bahkan dalam ringkasan disertasi itu (yang memang diambil dari Disertasi utama), beliau sendiri memakai judul besar: PENGELOMPOKKAN, FAKSIONALISASI, DAN KONFLIK INTERNAL PKS. Jadi siapa yang memotong-motong disertasi dan tendensius? Siapakan yang menulis kata Konflik Internal PKS? Arief Munandar atau Eramuslim?
Dr. Arief kemudian menulis, di halaman 16 pas di bawah judul itu:
“Bahasa Verbal dan Non verbal (bayangkan non verbal pun juga, red.) dari para informan penelitian dengan jelas, menujukkan adanya pengelompokkan, faksionalisasi, dan bahkan konflik internal di tubuh PKS.”
Dalam kajian linguistik, pemakaian frasa “bahkan” menunjukkan pada penekanan adanya fakta, dalam hal ini DR. Arief mengangkat problem di tubuh PKS. Lalu kenapa kemudian Eramuslim yang disalahkan? Dan apakah kami salah mengutipnya? Sekali lagi saya mohon maaf, jika memang saya salah dan eramuslim sendiri sudah menurunkan berita itu. Walaupun kami merasa dirugikan karena dikesankan sebagai media yang keliru.
Lagi-lagi yang saya luruskan bahwa sidang anda adalah sidang terbuka. Menjadi rahasia umum bagi sebuah sidang publik akan menjadi konsumsi umum. Terlebih PKS adalah sudah menjadi partai publik. Dan siapapun yang hadir saat sidang disertasi anda, pasti akan memiliki perspektif yang sama melihat anda memandang PKS dalam ruang yang memiliki banyak kelemahan. Tentu sebagai peliput berita, saya pun akan berkesimpulan seperti itu.
Ketika seorang jurnalis ingin membuat judul tulisan itu adalah hak jurnalis, sepanjang saya tidak keluar dari rel yang ada. Bahwa beberapa petikan saya ambil dari ringkasan disertasi, iya. Namun bukankah ringkasan disertasi itu sendiri juga adalah disertasi anda?
Dan sudah jadi wacana umum jika sidang disertasi bisa diliput media. Kalaupun bapak mengatakan bahwa saat itu melarang media untuk masuk. Demi Allah, saya akan angkat kaki detik itu juga, waktu itu juga, saat itu juga, dari ruangan sidang disertasi anda. Namun apakah proses itu berjalan dan anda mengatakan prentasi anda hanya menjadi fakta akademik?
Namun, saya hanya ingin mengkatakan jika anda mengkritik PKS siaplah akan resiko. Bersikaplah ksatria seperti Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, Syekh Ahmad Yassin, bahwa perjuangan melawan kebathilan pasti akan menuai badai. Mereka pun siap mempertanggungjawabkan ucapannya, apalagi yang anda kritik hanya sekedar PKS, yang sebagai manusia-lebih-lebih kelompok yang berkubang dalam fitnah demokrasi, sudah fitrahnya memiliki kesalahan.
Dari sini Insya Allah, saya akan berhenti meliput acara-acara bapak kembali, dimanapun itu. Saya hanya tidak ingin kemudian Eramuslin menjadi pihak yang terkesan sebagai “terdakwa” dari ketidak siapan anda mendapatkan kritik-kritik dari kader PKS. Belajaralah dari Doktor Sayyid Quthb yang lantang berusara dimanapun kebathilan itu ada. Belajarlah dari Prof. Naquibal Attas yang sama sekali tak gentar mengambil resiko dan tidak terbawa arus meski beliau hidup di Barat dan mesti beraadapan dengan musuh-musuh Islam dalam arti sebenarnya. Belajarlah dari DR. Abdul Aziz Rantisi, Asy Syahid yang berani mati melawan kekacauan meski nyawa adalah taruhannya. Lalu bagaimana mungkin kemudian anda baru melakukan kritik kepada PKS sudah goyah dan karena kami hanyalah kuli tinta yang mengabarkan peristiwa kemudian dikatakan berpersepsi. Wallahu a’lam bishowab(pz)
NB: Rekaman wawancara dan catatan-catatan selama jalannya persidangan masih ada disimpan sebagai bukti otentik