Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
Ukraina, Krisis Terbesar Eropa di Abad XXI
Krisis Ukraina yang melahirkan ketegangan di Semenanjung Crimea menuai reaksi keras negara-negara Eropa. Hal itu terjadi karena Kremlin semakin kuat menancapkan cengkeraman militernya di wilayah Ukraina yang sebagian besar penduduknya berasal dari Rusia tersebut. Inggris pun melayangkan protes serius.
Menteri Luar Negeri Inggris William Hague berkunjung ke Kota Kiev. Dalam wawancara dengan stasiun radio BBC, ia menyatakan bahwa konflik politik yang membelit Ukraina selama sekitar tiga bulan terakhir itu merupakan krisis terburuk Eropa. ”Sulit untuk mengukur semua ini. Tapi, ini jelas krisis terbesar Eropa sepanjang abad ke-21 ini,” paparnya.
Untuk menyelesaikan krisis di Ukraina itu, menurutnya, masyarakat Eropa harus mengerahkan energi diplomatik yang besar. Kemarin dia mengimbau Kremlin untuk menarik seluruh kekuatan militernya dari Crimea. Sebab, masyarakat Eropa ingin menyelesaikan krisis tersebut secara damai. Jika Moskow tidak mengindahkan peringatan itu, pemerintahan Presiden Vladimir Putin harus menanggung konsekuensi.
Negara-negara Eropa anggota G-8, lanjutnya, bakal membuat Moskow menanggung dampak campur tangan atas krisis Ukraina. Caranya, negara-negara tersebut akan memboikot pertemuan tingkat tinggi G-8 yang bakal berlangsung di Kota Sochi pekan ini. ”Akan ada dampak diplomatik yang bahkan sudah kami persiapkan sejak sekarang,” ungkapnya.
Selain Inggris dan negara-negara Eropa anggota G-8, Hague mengungkapkan bahwa negara-negara anggota G-8 lain siap mengambil langkah diplomatik serupa terhadap Rusia. Negara-negara itu adalah Amerika Serikat (AS), Jepang dan Kanada. “Dunia tidak akan membiarkan semua ini berlangsung lama. Tidak ada satu negara pun yang mengizinkan suatu bangsa melanggar kedaulatan bangsa lain,” tuturnya.
Seolah tidak terpengaruh dengan kecaman Inggris dan beberapa negara Eropa lain itu, Rusia tetap menegaskan dukungannya terhadap Viktor Yanukovych. Politikus pro-Kremlin yang tergusur dari kursi presiden pada 23 Februari tersebut kembali mengumumkan bahwa dirinya masih menjadi presiden sah Ukraina. Perdana Menteri Rusia, Dmitry Medvedev, juga memaklumatkan pernyataan yang sama. ”Yanukovych memang tidak lagi punya kuasa. Tapi, secara konstitusi, dia masih tetap menjadi kepala negara Ukraina yang sah,” terangnya.
Medvedev juga menerangkan bahwa Kremlin tidak mengakui kekuatan pemerintahan baru Ukraina yang kini dipimpin PM Arseniy Yatsenyuk. Menurutnya, oposisi Ukraina telah melanggar konstitusi yang berlaku di negara merek sendiri. Hingga kemarin, Yanukovych masih menghuni Sanatorium Barvikha yang terletak di pinggiran ibu kota Rusia. Pekan lalu Kremlin mengabulkan permohonan lawan politik Yulia Tymoshenko tersebut untuk mendapat jaminan keamanan dan keselamatan selama berada di Rusia. Moskow yakin bahwa Yanukovych hanya menjadi korban rekayasa politik Ukraina. Karena itu, Kremlin akan terus memberikan dukungan kepada presiden yang terguling. Pasukan Rusia yang menginvasi Crimea semakin melebarkan kekuatannya di semenanjung yang berpenduduk lebih dari 2 juta jiwa tersebut (jpnn.com, 05/03/2014).
Mengapa Crimea?
Ada enam hal yang menjadi pertimbangan Presiden Rusia Vladimir mempertahankan Ukraina masuk dalam lingkaran Rusia meski fakta sejarah menunjukkan bahwa Ukraina sudah melepaskan diri dari Uni Soviet pada 1 Desember 1991. Catatan ihwal tersebut berasal dari laman Business Week pada Senin (03/03/2014):
- 1. Perdagangan
Sejak awal, Vladimir Putin menginginkan agar Ukraina masuk dalam persatuan bea cukai dengan Belarus, Kazakstan, dan segera, Armenia. Putin terkesan gentar dengan makin meluasnya blok perdagangan Uni Eropa. Namun, ambisi ini memang berseberangan dengan mayoritas keinginan 46 juta rakyat Ukraina yang justru ingin bergabung dengan blok Eropa Barat itu.
Alhasil, meski menempatkan sekutunya, presiden terguling Viktor Yanukovych, di tampuk utama kekuasaan Ukraina, hasrat Vladimir Putin terjungkal di hadapan mayoritas rakyat Ukraina. Aksi demonstrasi menentang pilihan Yanukovych untuk tetap bersekutu dengan Rusia menjadi pemicu awal krisis politik Ukraina.
- 2. Sejarah
Catatan sejarah teramat panjang sudah terjalin antara Rusia dan Ukraina. Adalah hari kemenangan terhadap Kekaisaran Ottoman (Turki Utsmaniy) pada abad 11 dan 12 silam yang sohor dengan nama KIevan Rus. Lantaran kegemilangan itulah terjadi keterikatan sejarah yang mengklaim bahwa Rusia, Belarus, dan Ukraina adalah satu nenek moyang.
- 3. Kenegaraan
Ada catatan dari harian bisnis Negeri Beruang Merah Kommersant pada 2008. Kala itu, Vladimir Putin pernah mengatakan kepada Presiden AS George W Bush bahwa Ukraina sejatinya tidak pernah menjadi negara. Soalnya, sejak 900 tahun hingga Hari Kemerdekaan Ukraina, sebagian besar wilayah Ukraina menjadi wilayah kontrol Polandia, Lituania, Crimea, Austria, Hongaria, Jerman, dan tentu saja Rusia. “Sampai sekarang, Ukraina itu adalah Rusia Kecil,” kata Vladimir Putin.
- 4. Crimea
Crimea adalah republik otonomi Ukraina di tepi Laut Hitam. Sampai dengan 1954, Crimea adalah bagian dari Rusia. Crimea pun menjadi bagian dari Uni Soviet. Sampai kini, mayoritas warga Crimea adalah etnis Rusia. Belum ada catatan pasti mengapa Rusia seolah memberikan Crimea begitu saja kepada Ukraina.
- 5. Angkatan Laut
Sudah sejak 13 Mei 1783, pada masa Pangeran Petomkin dari Kekaisaran Rusia, Angkatan Laut (AL) Rusia menempatkan armadanya di Pelabuhan Sevastopol, wilayah Crimea saat ini. Pelabuhan itu sekarang cuma berjarak 200 mil dari Sochi, pusat perhelatan Olimpiade Musim Dingin 2014.
Catatan menunjukkan, armada AL Rusia di Laut Hitam adalah basis Rusia menghadapi musuh yang menghadang dari arah Laut Hitam. Begitu pentingnya posisi ini sehingga Sevastopol menjadi satu dari sekian poin negosiasi tatkala Rusia memasok kebutuhan gas Ukraina.
- 6. Energi
Rusia saat ini sangat bergantung pada penjualan gasnya ke Eropa. Jalur pipa gas untuk ekspor itu melalui Ukraina. Jalur ini terbilang yang terbesar dalam ekspor gas Rusia itu.
Info termutakhir ihwal gas itu adalah rencana perusahaan gas negara Rusia, Gazprom, membangun jalur pipa gas Lintas Selatan alias menyeberangi Laut Hitam menuju Bulgaria. Kalau proyek ini terwujud, ekspor gas Rusia ke Eropa tak perlu melintasi Ukraina (kompas.com, 03/03/2014).
Sejarah mencatat, bahwa pembebasan-pembebasan negeri yang dilakukan oleh Turki Utsmaniy terhadap Eropa, pernah menjadi problem yang paling menakutkan Barat. Ironisnya di balik itu, justru tengah terjadi kondisi stagnan meliputi seluruh dunia Islam, di mana aktivitas dakwah ditelantarkan/ditinggalkan. Maka, gelora Islam dalam dada kaum Muslim pun menjadi padam. Keadaan ini menyebabkan hilangnya kewibawaan kaum Muslim di mata musuh-musuh mereka. Pada saat itu pula dilancarkan perang pemikiran dan serangan misionaris. Perang pemikiran ini disertai berbagai serangan politik, yang bertujuan untuk memecah-belah Daulah Islam menjadi beberapa bagian, dan mencabik-cabik dunia Islam, kemudian mengikisnya. Kerja keras mereka akhirnya berhasil dengan gemilang.
Pada Perjanjian Caterina (1762-1796 M), Rusia memerangi Daulah Utsmaniyah dan berhasil mengalahkannya, lalu membagi-bagi sebagian wilayahnya. Rusia berhasil merampas kota Azov dan Semenanjung Crimea; menguasai seluruh Lembah Utara Laut Hitam, dan mendirikan kota Sevastopol sebagai pertahanan semenanjung Crimea; serta membangun pelabuhan dagang Odessa di Laut Hitam. Dengan demikian, Rusia menjadi pemain penting dalam percaturan politik luar negeri Daulah Utsmaniyah dan pemegang kendali Imperium Rumania. Rusia menyatakan bahwa dirinya penjaga ajaran Masihiah di Daulah Utsmaniyah. Pada tahun 1884 M, Turkestan memisahkan diri dari Turki, dan akhirnya Rusia pun sepenuhnya berhasil menguasai daerah itu (Kitab Daulah Islam).
Barat Memecah-belah Dunia Islam
Agresi kepada dunia Islam tidak hanya dilakukan Rusia, namun meluas hingga melibatkan hampir semua negara Barat. Akibatnya, daerah-daerah di wilayah Daulah Utsmaniyah dipaksa tunduk pada pemerintahan kufur sebagai daerah jajahan. Lebih parah lagi, serangan Barat tidak cukup sampai di sini. Penjajahan terus meluas dengan mencaplok wilayah-wilayah Daulah yang masih belum terjajah. Gelombang serangan bangsa-bangsa Barat di seluruh wilayah Islam semakin meningkat, sampai semuanya jatuh di bawah kendali Barat. Barat pun bagai di atas angin. Mereka merasa bahwa serangan Salib selalu diperbaharui dengan tetap menjaga kemenangan demi kemenangan.
Akhirnya kaum Muslim sibuk membendung gelombang pasukan besar Barat atau berupaya meringankan tekanannya. Maka, muncullah gerakan-gerakan perlawanan terhadap Barat di wilayah-wilayah Islam. Semua itu sebenarnya menunjukkan potensi kekuatan yang terpendam dalam tubuh dunia Islam, meski dari luar tampak diam dan lemah. Hanya saja, gerakan-gerakan atau usaha-usaha ini akhirnya padam dan tidak berhasil menyelamatkan dunia Islam serta menghentikan pendudukan dan serangan Barat. Barat masih melanjutkan serangannya dengan dua kekuatan utama: politik dan tsaqafah.
Barat tidak hanya memecah-belah wilayah dunia Islam menjadi beberapa bagian, tapi juga menikam dari dalam Daulah Utsmaniyah yang notabene adalah Daulah Islam. Barat memicu bangkitnya gerakan-gerakan kebangsaan di dalam tubuh Daulah Utsmaniyah. Isu penjajahan oleh ‘bangsa asing’ dijadikan alat penggerak oleh Barat untuk membangkitkan bangsa-bangsa di negeri-negeri Muslim. Hal ini berakibat pada payung Daulah Utsmaniyah sebagai Daulah Islam terlipat dari daerah Balkan, Pulau Kreta, Siprus dan sebagian besar pulau di Laut Tengah.
Bangsa-bangsa Barat dalam melakukan aksinya menggunakan berbagai macam kekejian. Kaum Muslim di Balkan dan kepulauan Laut Tengah, Georgia, Bosnia, Chechnya, dan daerah-daerah lainnya; mereka diteror, dihantam dan diusir dari rumah-rumah mereka secara keji. Padahal, mereka adalah putra-putra pahlawan kaum Muslim yang tidak rela tunduk pada pemerintahan kufur. Mereka lari dengan membawa agama Islam ke perkampungan-perkampungan Islam dan Pemerintahan Islam.
Apakah Barat berhenti sampai di sini saja? Tidak! Bahkan, dengan berbagai sarana yang samar, Barat membangkitkan gerakan-gerakan pemisahan dan pemecah-belahan umat Islam dari kesatuan Negara, dengan meniupkan perbedaan antara Turki dan Arab. Mereka disulut untuk mengadakan gerakan-gerakan kebangsaan. Barat terus-menerus menggerakkan, bahkan membantu mereka mendirikan partai-partai politik berkebangsaan Turki dan Arab, seperti Partai Turki Muda, Partai Persatuan dan Kemajuan, Partai Kemerdekaan Arab, Partai Keamanan, dan partai-partai lainnya. Partai-partai inilah yang menyebabkan kondisi dalam negeri Daulah Islam mengalami goncangan dan tidak stabil.
Goncangan-goncangan di balik berbagai tragedi dalam negeri, oleh Barat diikuti dengan berbagai serangan dari luar sampai meletusnya Perang Dunia I, yang memberi kesempatan terbuka bagi Barat untuk menyerang langsung dunia Islam. Dalam kesempatan ini Barat berhasil menguasai sisa-sisa wilayah Daulah Islam, menghabisi, dan menenggelamkannya dari permukaan dunia. Daulah Utsmaniyah terseret dalam Perang Dunia I, yang berakhir dengan kemenangan sekutu dan kehancuran Daulah Islam. Pasca perang, Barat mengkapling-kapling seluruh dunia Islam layaknya harta jarahan. Tidak ada Daulah Islam yang tersisa kecuali Turki, yang telah menjadi negara kecil dengan sebutan Negara Turki. Setelah perang berakhir pada tahun 1918 M, Turki hidup di bawah belas kasihan Barat hingga tahun 1921 M, yaitu ketika Turki mampu memerdekakan diri setelah memberi jaminan terlebih dahulu pada sekutu dengan penghapusan Daulah Islam (Kitab Daulah Islam).
Khatimah
Dinna Wisnu, PhD (Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina) menyatakan bahwa bagi kita di Indonesia, krisis di Semenanjung Crimea mengingatkan akan kondisi domestik bahwa suatu negara-bangsa tak bisa sepenuhnya lepas dari pengaruh eksternal, apalagi jika secara historis dan demografis ada ikatan batin dengan penduduk atau pemerintahan di belahan wilayah lain di dunia. Kita mungkin tergerak untuk mengutuk Rusia, tetapi di sisi lain penduduk Crimea punya hak juga untuk menolak perluasan kekuatan militer AS dan Eropa di wilayahnya. Artinya bila Crimea memutuskan untuk merdeka pun hal itu merupakan hak mereka dan tidak boleh diintervensi (koran-sindo.com, 05/03/2014).
Namun, cukupkah?
Demikianlah, dunia sengaja melupakan bahwa sesungguhnya Crimea adalah salah satu negeri Muslim. Keberadaan dan keterjajahannya membutuhkan suara pembelaan dari seluruh kaum Muslimin. Karenanya, Crimea memerlukan peran kaum Muslimin. Tiada lain, bagi Crimea hanyalah satu solusi dalam naungan satu payung, Daulah Khilafah Islamiyyah. Yaitu dengan mengembalikan posisinya sebagai bagian dari dunia Islam. Crimea tidak butuh kesatuan latar belakang etnis dengan Rusia, tidak butuh kemerdekaan secara khusus dari Ukraina, dan bukan pula resolusi PBB. []