Kasus asusila smp 4 Jakarta Pusat telah mencoreng nama baik pendidikan, sebagaimana banyak diberitakan di media kasus itu berawal dari seorang pelajar yang dipaksa beradegan mesum layaknya suami isteri, walaupun tidak sampai berhubungan intim namun tetap saja berbuatannya melebihi batas kewajaran usia mereka, kasus seperti ini bukanlah kali pertama terjadi Gerakan moral Jangan Bugil di Depan Kamera (JBDK) mencatat adanya peningkatan secara signifikan peredaran video porno yang dibuat oleh anak-anak dan remaja di Indonesia. Jika pada tahun 2007 tercatat ada 500 jenis video porno asli produksi dalam negeri, maka pada pertengahan 2010 jumlah tersebut melonjak menjadi 800 jenis. Fakta paling memprihatinkan dari fenomena di atas adalah kenyataan bahwa sekitar 90 persen dari video tersebut, pemerannya berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Sesuai dengan data penelitan yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Dari data di atas kita bisa melihat bahwa prilaku permasalah pelajar seolah tidak ada habisnya, kalau kita kaji lebih hal tersebut dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya:
Keluarga, kendornya pendidikan agama yang diberikan keluarga, kita tahu bahwa keluarga adalah institusi negara terkecil yang seharusnya berfungsi membangun dan mencetak generasi bangsa
Masyarakat, adanya kerusakan moral yang sangat besar dikalangan masyarakat kita secara luas lingkungan yang bebas dalam bergaul, kurangnya kepekaan terhadap masalah remaja, sanksi sosial semakin melemah contohnya menjadi biasa apabila masyarakat melihat kalangan remaja berpacaran, padahal permasalahan kasus asusila banyak berawal dari adanya budaya pacaran
Sistem kurikulum kita berbasis sekuler, contoh pelajaran agama diberikan hanya 2 jam dalam seminggu, padahal mata pelajaran yang lain mempunyai porsi lebih banyak, pengajaran agama pun cenderung hanya sebatas informasi saja, tidak meletakannya sebagai kesadaran yang harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari
Lantas seperti apa islam mengatasinya
Dari faktor di atas memang seharusnya keluarga menjadi benteng awal pembentukan karakter pelajar, seharusnya mengarahkan anak pada pemahaman aqidah yang mengakar, islam adalah seperangkat aqidah yang melahirkan aturan kehidupan tak terkecuali dalam sistem pergaulan perintah baik kepada laki-laki maupun perempuan agar menundukkan pandangannya serta memelihara kemaluannya (QS an-Nûr [24]: 30-31). Jika timbul rasa ketertarikan pada lawan jenis sementara yang bersangkutan belum mampu untuk melakukan pernikahan maka dianjurkan untuk menahannya dengan puasa. Sementara bagi yang telah mampu untuk menikah sangat dianjurkan untuk menikah, larangan bagi laki-laki dan perempuan untuk saling berpegangan tangan atau berciuman karena bisa membangkitkan naluri seksual dan mendekati zina (QS. Al Isra [17] : 32), begitupun dalam masyarakat islam sangat mewajibakan adanya amal ma’ruf nahi mungkar, ketika seseorang berbuat maksiat atau kesalahan maka wajib hukumnya bagi orang lain untuk memingatkan, dari sinilah terbentuk sebuah masyarakat kondusif, dan dalam sistem pendidikan islam agama, tentu saja agama tidak boleh dipisahkan darinya (pendidikan) seperti dalam pendidikan islam bertujuan membentuk pribadi yang mulia dimana ini semua konsekuensi keimanan seseorang kepada aqidahnya intinya setiap manusia terlahir di dunia ini harus terikat dengan aturan Allah, karena aktifitas kita kelak akan dipertanggung jawabakan di akhirat, pendidikan islam seperti inilah mengarahkan pada kesadaraan bahwa mengamalkan prilaku baik adalah tuntutan sang pencipta, yang tiada lain bertujuan untuk kebaikan dan kehormatan martabat manusia. Maka dari itu islam mampu melahirkan generasi pelajar yang berakhlak mulia, dan terhindar dari prilaku asusila dan prilaku menyimpang lainnya. Waalluhu’Alam
Anastasia
Alumni Pendidikan Bahasa Jerman UPI Bandung