Sistem jaminan sosial, mendengarnya seakan membawa angin surgawi bagi masyarakat. Awal tahun 2014 mendatang tepatnya pada 1 Januari 2014, pemerintah akan mulai memberlakukan pelaksanaan program Sistem Jaminan Sosial. Pemerintah menjanjikan masyarakat lima jaminan sosial yakni jaminan kesehatan, kecelakaan, hari tua, pensiun dan kematian. Masyarakat juga akan mendapatkan penyuluhan, KB, rawat inap, obat, cuci darah dan operasi jantung. Semuanya diberi secara cuma-cuma. Namun, itu hanya sekadar pengharapan semu, UU SJSN dan UU BPJS yang menjadi penggerak sistem jaminan sosial ternyata hanya bualan, tidak memberikan jaminan. .
Dalam UU SJSN pasal 1 ayat 3 dijelaskan yang dimaksud jaminan sosial adalah: “suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya.” Pada bab I Pasal 1 ayat 3 menyebutkan: “Dana jaminan sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh BPJS untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial.” Selanjutnya di pasal 19 ayat 1 secara eksplisit disebutkan bahwa: “jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsi ekuitas.” Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya masyarakat tidak menerima layanan sosial secara gratis, namun harus terlebih dulu menyetor premi bulanan yang besarannya telah ditentukan pemerintah. Rakyat miskin yang tidak membayar premi dipastikan tidak akan mendapat layanan sosial. Artinya, ini adalah pemungutan yang memalak rakyat untuk kepentingan pihak asuransi bukan untuk kepentingan rakyat maupun peserta.
Rakyat dipaksa dipungut iuran tanpa ada jaminan untuk memanfaatkan pungutan tersebut. Karena tidak semua orang akan sakit dan saat sakit pun tidak semua pelayanan dan fasilitas kesehatan pun mereka dapatkan. Ada tiga kategori besaran iuran bulanan yang sedang dipersiapkan. Iuran bagi layanan rumah sakit kelas 3 sebesar Rp 22.500, Rp 40.000 untuk layanan kelas 2 dan Rp 50.000 untuk layanan kelas 1. Rakyat miskin yang berpenghasilan Rp 233.000 per bulan akan ditanggung pemerintah, namun tidak semua layanan kesehatan bisa digratiskan. Ada ketentuan-ketentuan tertentu, bila melebihi ketentuan tersebut, rakyat miskin harus membayar sendiri kelebihannya.
UU ini pun mewajibkan seluruh masyarakat mengikuti program. Dalam pasal 16 UU BPJS menyebutkan: “setiap orang selain pemberi kerja, pekerja dan penerima bantuan iuran yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program Jaminan Sosial wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.” Pemerintah pun telah menyiapkan paket sanksi bila masyarakat tidak memiliki kartu Jamsosnas. Sanksi tersebut berupa teguran, denda dan/atau tidak mendapatkan layanan publik.
Itulah sebagian keburukan-keburukan SJSN yang selama ini dianggap akan memberikan jaminan sosial bagi masyarakat ternyata hanya akan menambah beban atau penderitaan baru bagi masyarakat. Selain itu, ternyata tidak semua jenis layanan kesehatan dijamin oleh sistem tersebut.
Tolak Kapitalisasi Layanan Kesehatan dan Wujudkan Sistem Islam
Sistem jaminanan sosial khususnya dalam bidang kesehatan akan mengalihkan sebagian tanggungjawab pelayanan kesehatan oleh pemerintah kepada rakyat. Selain membebani rakyat, sistem pelayanan kesehatan tersebut bersifat diskriminatif sebab yang ditanggung oleh pemerintah hanyalah orang miskin saja. Sementara yang dianggap mampu harus membayar sendiri. Tragisnya lagi, pelayanan kesehatan terhadap rakyat dibedakan berdasarkan status ekonomi dan jabatannya.
Hal tersebut jelas bertentangan dengan Islam. Pasalnya pelayanan publik merupakan tugas pemerintah yang tidak boleh dialihkan kepada pihak lain. Lebih dari itu, pelayanan tersebut harus bersifat menyeluruh dan tidak bersifat diskriminatif. Rasulullah saw bersabda: “Imam adalah pelayanan yang bertanggungjawab atas rakyatnya.” (H.R. Muslim). Hadits tersebut setidaknya menunjukkan dua hal yaitu pemimpin saja yang berhak melakukan aktivitas pelayanan (riayah) dan pelayanan tersebut bersifat umum untuk seluruh rakyat. Pasalnya kata rakyat (ra’iyyah) dalam hadits tersebut berbentuk umum.
Adapun wajibnya pemenuhan pelayanan kesehatan dan pengobatan oleh negara telah ditunjukkan oleh sejumlah dalil syara’. Pelayanan kesehatan sendiri merupakan bagian dari urusan rakyat, bahkan merupakan perkara yang amat penting bagi mereka. Dalilnya adalah ketika Rasulullah saw. dihadiahi seorang tabib, beliau menjadikan tabib itu untuk kaum Muslim dan bukan untuk dirinya pribadi. Dalil lainnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah saw. pernah mengirim tabib kepada Ubay bin Kaab. Kemudian tabib tersebut membedah uratnya dan menyundutnya dengan kay (besi panas). Demikian pula dalam riwayat Al-Hakim disebutkan bahwa Zaid bin Aslam dari bapaknya ia berkata: Di masa Umar bin Khattab saya menderita sakit parah. Lalu Umar memanggilkan tabib untukku.Tabib itu menjagaku dimana saya harus menghisap biji kurma untuk berdiet. Kedua riwayat ini menunjukkan bahwa penyediaan layanan kesehatan dan pengobatan wajib disediakan oleh negara secara gratis bagi yang membutuhkannya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sistem jaminan sosial yang hendak diterapkan pemerintah merupakan aturan yang batil yang bertentangan dengan syariat Islam. Kehadiran sistem tersebut tentu tidak akan terjadi jika negara ini menerapkan sistem Islam dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyyah. Wallahu a’lam bisshawab.
-Lusi Dewi-