Entah musibah apa lagi yang lebih besar daripada musibah yang dialami oleh umat Islam semenjak terkuburnya kekhilafahan Ustmani pada tahun 1924 M oleh tangan para musuh-musuh Islam. Sejak saat itu, kaum muslimin yang dahulunya memiliki satu tanah, satu identitas, satu persaudaraan mulai dihancurkan secara sistemik dengan pemisahan-pemisahan yang mengubur kemuliaan umat yang pernah mulia dengan kesatuan yang tidak mampu ditandingi peradaban manapun sepanjang sejarah kehidupan manusia. Ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Sykes-Piccot pada tahun 1916 oleh pemerintah Perancis, Britania Raya dan persetujuan Kerajaan Rusia, mulailah pengkavlingan tanah kaum muslimin dilakukan secara merata melalui semangat penjajahan para milisi yang juga penyebar injil yang memunculkan emosi rakyat untuk memerdekakan diri.
Kekhilafahan tak mampu berbuat banyak ketika semangat memerdekakan diri dari para salibis diikuti dan dimanfaatkan oleh kaum nasionalis yang tidak sependapat dengan sistem kekhilafahan guna mendirikan negara yang benar-benar merdeka dan berdiri sendiri. Merdeka dari sistem agama manapun, dan berdiri sendiri atas asas nasionalisme material. Mulailah kaum muslimin kehilangan induknya, setelah itu mereka hidup sendiri-sendiri. Ikatan persaudaraan agama hanya tinggal ikatan emosional. Tangis, dan uluran tangan dibatasi oleh garis-garis batas halauan negara dan warna bendera. Ketika saudara mereka berada dibelahan bumi lain dan dizalimi, maka mereka hanya mampu berkirim simpati, menangis, meratap atau mengutuk saja. Empati yang terjadi pada zaman Mu’tashim yang memberangkatkan ribuan tentaranya karena mendengar kabar seorang muslimah telah dilecehkan, hanya seorang muslimah, kini tertinggal dikusamnya buku-buku sejarah yang hanya menjadi pengantar tidur umat yang sedang tertidur. Agar selamanya tidur dan tak pernah bangun mewujudkan keajaiban-keajaiban persatuan yang pernah terjadi pada masa lalu, ketika umat ini berada dalam naungan persatuan bernama Khilafah. Begitupun ratusan kisah penaklukan, kepatriotan dan ketinggian harga diri seorang muslim dalam kekhilafahan seperti hal mustahil yang tidak mungkin atau tidak pernah terjadi, atau tidak tahu bagaimana mewujudkannya sekarang.
Cukup lama umat ini dibekap matanya agar tidak terbangun. Sembilan puluh tahun diombang-ambing dan dijadikan operan layaknya bola dan ombak yang tak bisa mempertahankan ketetapan posisi dirinya sendiri. Setelah waktu yang lama itu, dengan pembantaian-pembantaian, dan penuhnya sejarah kaum muslimin kelam dengan pembiaran dan penelantaran dunia. Tertumpahnya seratus ribu darah muslim tidak lebih mahal daripada lecetnya kulit satu orang musuh Islam. Pada masa tanpa naungan kekhilafahan itu, 1.200.000 nyawa kaum muslimin melayang akibat pembantaian yang dilakukan Amerika dengan kedok War On Terrorism sejak invasi yang dilakukan pada tahun, 100.000 nyawa kaum muslimin hilang sia-sia dibantai para salibis di Bosnia, di Chechnya, lebih dari 400.000 kaum muslimin dibantai. Jumlah itu sangat tidak kecil, belum lagi jumlah mereka yang dibantai di Moro, Afrika Tengah, Nigeria, Afghanistan hingga Suriah maupun Palestina. Umat hanya diam. Ketika pembelaan yang dilakukan oleh para mujahidin dilakukan, saudara-saudara muslim sendiri menyebut mereka dengan sebutan yang sangat menyakitkan, “Ghuluw”, “Takfiri”, “Khawarij”, “Anjing-anjing neraka”, dan “Teroris”. Sejatinya, pembunuhan ratusan ribu umat Islam tidak lebih berat daripada pembunuhan satu musuh-Nya yang memerangi kaum muslimin.
Entah karena apa, umat ini menjadi sangat terhina. Umat ini kemudian nyaman untuk menyelesaikan dengan jalan diplomasi yang selalu hasil akhirnya tak pernah sesuai dengan permintaan umat Islam. Selalu dipecundangi, terjatuh dilubang yang sama berkali-kali. Tanpa kepemimpinan umat ini hilang kendali. Menjadi kambing dan ayam yang ditakdirkan sebagai tumbal bagi pemuas kesenangan. Sudah hilang masanya singa-singa seperti Al Qa’qa, Bara ibn Malik ataupun ksatria semisal Khalid ibn Walid Radhiallahu ‘anhu. Ketika telah terlena dan kakinya tak lagi kuat berpijak, munculah tragedi Suriah yang dengannya membuka banyak tabir yang masih misteri. Hakikat Syi’ah diketahui setelah Suriah bergejolak, umat Islam mulai tersadar dan bangun. Gegap gempita dan hingar bingar dunia sejenak mampu terlupakan oleh mereka yang memiliki iman dan rasa persaudaraan. Dengan Suriah pula, terlihat mana kelompok yang berada dalam barisan kebathilan dan mana yang berada pada pihak al-Haq. Namun, euforia kebangkitan itu tidak selamanya mulus. Terjadilah fitnah antara sesama pejuang di Syam hingga mereka terpaksa harus bertempur.
Ketika perseteruan telah mereda, persatuan antara kabilah dan faksi-faksi mujahidin terjadi, munculah pendeklarasian Khilafah Islam oleh Islamic State of Iraq and Sham (ISIS) pada tanggal 1 Ramadhan 1435 H. Pendeklarasian ini menandakan telah berhenti sejarah ISIS sejak tanggal tersebut 29 Juni 2014 sehingga seharusnya, keriuhan media saat ini bukan tentang ISIS, tapi tentang Khilafah. Namun, mengapa mereka kehilangan logika dan pikiran yang jernih untuk objektif menyebut inti permasalahan. Tentu, jika kita bicara tentang ISIS, maka tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan kecuali sejarah-sejarah yang telah berlalu. Media di Indonesia mengaburkan masalah dengan menyembunyikan siapa yang harus dibahas dan mengancam kepentingan-kepentingan masa depan? Harusnya Kekhilafahan yang baru berdiri inilah yang diangkat. Jika khilafah berdiri, kabar gembira atau kabar dukakah ? Bagaimana menyikapi masalah tersebut? Namun, terlepas dari masalah itu, banyak kaum muslimin yang termakan kabar media secara mentah-mentah, tanpa tabayyun, tanpa cover both sides, dan seringkali kebencian terhadap suatu kaum menjauhkan dari bersikap adil sehingga seringkali mendzalimi satu pihak secara berlebihan. Oleh karena itu, untuk tulisan ini penulis merasa tertarik khusus untuk mengkaji keabsahan Khilafah yang baru sebulan berdiri tersebut. Apakah ia sah secara ilmiah, atau merupakan sebuah Klaim yang tidak memiliki dasar. Penulis mengembangkan tulisan dari diskusi keabsahan Khilafah Ibrahim ini oleh seorang Da’i asal Inggris, Abu Barra. Kepada Allah sajalah kita memohon pertolongan.
Perdebatan Khilafah Ibrahim
Sebelum kita sampai pada pembahasan sah-tidaknya Khilafah Ibrahim yang baru berdiri ini, alangkah baiknya kita lebih dahulu mengetahui hukum mendirikan Khilafah apakah wajib atau tidak.
Sebenarnya banyak perdebatan antara dalil-dalil yang dibawa oleh ulama kontemporer dengan ulama salaf. Hal ini tidak dipungkiri juga bermasalah dengan kondisi dimana mereka hidup. Namun, secara garis besar ijma’ ulama baik yang kontemporer menunjukkan bahwa Kekhilafahan adalah hal yang wajib kembali dan diusahakan oleh cara yang benar sesuai tuntunan syari’at. Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat akan wajibnya Khilafah bagi kaum muslimin. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 362 yang berbunyi,
“Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) rahimahumullah telah sepakat bahawa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahawa umat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya…”. Bahkan jika kita membaca ulang kitab-kitab hukum Islam, kewajiban mendirikan Khilafah ini tidak saja diamini oleh Ahlu Sunnah semata. Syi’ah, Murji’ah, maupun Khawarij melandaskan kewajiban Khilafah sebagaimana Ahlu sunnah yang mendasari pada kaidah fiqh, “Ma laa yatimu waajibun illa bihi, fahuwa wajibun“. Apa-apa yang wajib dan tidak bisa sempurna/diraih kecuali melalui sebuah sarana, maka sarana itu adalah wajib”.
Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan: “Menurut golongan Syiah, minoriti Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’.” Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: “Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah).” Ulama-ulama lain pun seperti Imam Al Mawardi, Abu Ya’la Al Farraa’, Ibnu Taimiyah, Imam Al Ghazali, Ibnu Khaldun, Imam Al Qurthubi, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ibnu Hajar Al Atsqolani, dan masih banyak ulama lain menyebutkan dalam kitab mereka bahwa mendirikan Khilafah adalah wajib, terlebih untuk menjaga dan menyempurnakan urusan agama Allah.
Sampai saat ini, kekhilafahan pada zaman kita ini diperdebatkan hanya secara teorinya saja. Hal pertama yang harus diketahui adalah bahwa metode pengangkatan khilafah dalam islam ada bermacam-macam cara. Syaikh Anwar al Awlaki rahimahullah berkata,”dalam cara untuk mengangkat khalifah, kita menemui cara yang berbeda-beda dari Abu Bakr, Umar, Ustman, hingga Ali radhiallahu ‘anhum ajmain. Cara untuk mengangkat setiap khalifah ini berbeda-beda. Oleh karena itu, metode pengangkatan ini adalah cara yang beragam. Pada masa Abu Bakr radhiallahu ‘anhu, beliau hanya menerima bai’at dari sekelompok kecil dari kalangan sahabat, lalu disahkan menjadi khalifah. Pada kasus Umar, dia ditunjuk oleh Abu Bakr radhiallahu anhu. Pada kasus Ustman ibn affan, dari enam orang pilihan yang diajukan oleh umar, lalu dipilih salah satu dari mereka. Maka kita dapat melihat dari cara pemilihan khalifah yang dapat berbeda, maka inilah macam-macamnya. Cara pemilihan itu tetap konsisten mengikuti panduan umum (syari’at), tapi dengan sedikit perbedaan pada detailnya saja.
Pada 29 Juli 2014 (1 Ramadhan 1435 H), ISIS melalui pesan audio Jubir Resminya Syaikh Muhammad al Adnani mengabarkan bahwa bersama itu dideklarasikannya pendirian Khilafah setelah sekian lama runtuh. Diangkatlah bersama dengan itu seorang khalifah yang dikenal dengan nama : Abu Dua, atau Ibrahim ibn Awwad, atau Abu Bakr al Baghdadi, seorang Doktor di bidang Fiqh, dan seorang suku Quraiys yang nasabnya sah dan terbukti menyambung sampai ke Hussein bin Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu.
Pendirian Khilafah tersebut merupakan sebuah hal yang baru pertama kali terjadi pada zaman modern ini, sehingga wajar hal tersebut memicu perdebatan dan diskusi pada sekitar hukum dan keabsahan deklarasi khilafah tersebut. Kita bersama-sama akan menganalisa perdebatan yang muncul diantara ummat, karena pengumuman deklarasi yang dilakukan secara tiba-tiba ini. Pada proses pengkajian masalah ini, kita akan mempelajari opini-opini dari kedua belah pihak yang ada sekarang, dari mereka yang anti deklarasi khilafah maupun mereka yang pro dengan deklarasi khilafah dengan catatan bahwasanya pada pembahasan ini kita tidak akan memperhitungkan dari “banyaknya jumlah ulama” dan kita tidak akan taqlid kepada ulama manapun, walau kita sangat mencintai ulama tersebut. Kita akan melihat argumen dan bukti-bukti yang dihadirkan, apakah itu dari para ulama, pelajar-pelajar yang berilmu, atau para penyeru Islam, selama apa yang dihadirkan itu memiliki dasar dan bukan emosional dan kebencian semata. Kita akan menghadirkan pendapat dari kedua belah pihak, In syaa Allah dengan harapan agar para pembaca yang pada akhirnya menentukan sikapnya sendiri. Allahu a’lam.
***
Pihak Anti deklarasi :
a. Masalah ahlul halli wal aqdi yang tidak diajak musyawarah
Istilah ahlul halli wal aqdi (kira-kira yang dimaksud adalah orang-orang yang diberi otoritas dan pembuat keputusan) mengacu kepada mereka yang memiliki kekuasaan dan berpengaruh dalam membuat keputusan di dalam sebuah daulah Islam. Istilah ini dirumuskan oleh ulama fiqih untuk sebutan bagi orang-orang yang berhak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka. Imam an-Nawawi menyebutkan bahwa dalam kitab al-Minhaj, yang dimaksud dengan pengertian ahlul halli wal aqdi adalah para ulama, para kepala, para pemuka masyarakat sebagai unsur-unsur masyarakat yang berusaha mewujudkan kemaslahatan rakyat.
Syaikh Ibn Taimiyah rahimahullah dalam kitab Al-Hisbah fil Islam menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang memiliki pengaruh yang dapat memotivasi dan mengarahkan masa. Mereka terbagi menjadi dua kategori:
1. Mereka yang memiliki kekuasaan dan otoritas.
2. Mereka yang memiliki ilmu pengetahuan (ulama).
Dalam permasalahan ini terdapat sebuah riwayat dari Umar bin Khattab yang berbunyi, “Siapapun yang diminta untuk menjadi khalifah tanpa syura dari kaum muslimin, tidak halal baginya untuk menerimanya”. Syaikh Anwar al Awlaki mengatakan syura yang dimaksud disini adalah ahlul halli wal aqdi bukan setiap muslim yang hidup di bumi. Oleh karena itulah kemudian Syaikh Husein ibn Mahmud (seorang ulama jihad) mengatakan, “ ahlul halli wal aqdi hari ini adalah para ulama dan pemimpin jihad di Khurasan, Kaukasus, Jazirah, Maghrib, Somalia dan front-front yang lainnya yang mana mereka berperang dibawah bendera Islam yang jelas. Dan yang diatas mereka semua adalah Mullah Umar dan Zawahiri. Jika mereka memberikan bai’atnya maka tidak ada celah untuk ijtihad an perselisihan setelahnya.”
Beliau meyakini bahwa berdasarkan apa yang telah sampai kepadanya mengenai al-Baghdadi bahwa beliau cocok untuk posisi Khalifah dan tidak ada penghalang baginya, kecuali kekurangannya hanyalah pada masalah syura dengan ahlul halli wal aqdi. Meskipun begitu, dia mengakui ISIS memiliki kekuatan dan tamkin. Beliau berkata, siapapun yang memilih untuk memberikan bai’atnya kepada al-Baghdadi, maka itu hanyalah ijtihadnya sendiri.
b. Argumen “Kaum muslimin belum diajak musyawarah”
Ada beberapa alasan dari tokoh-tokoh Islam mengenai penolakan mereka terhadap Khilafah Ibrahim, sebagaimana dengan alasan yang mereka condong kepadanya. Syaikh ‘Aiman Adz-Dzawahiri hafidzahullah mengatakan, “kami menginginkan khilafah Islamiyah yang mana ummatlah yang memilih khalifahnya dengan keinginan dan kebebasan mereka. Al Qaidah menginginkan ummat yang memilih khalifahnya dengan ridha, kesepakatan dan persetujuan seluruh ummat”.
Sementara itu, Asosiasi Ulama Islam Suriah menentukan posisi dan sikapnya pada masalah ini, “deklarasi Khilafah ini tidaklah sah tanpa musyawarah dengan para ulama atau kaum muslimin secara umum, disebabkan oleh kelompok al Baghdady meyakini bahwa mereka adalah syura yang eksklusif. Tindakan seperti ini sangat mengabaikan dan merendahkan otoritas seluruh ummat.”
c. Argumen “Deklarasi berada di tangan ISIS yang mana telah memecah barisan kaum muslimin”.
Syaikh Abu Muhammad al-Maqdisi, pada tanggal 13 Ramadhan 1435 H menyampaikan pendapatnya tentang deklarasi Khilafah tersebut. Beliau berkata, “Tindakan yang paling berbahaya yang sudah dilakukan daulah Islam sejauh ini adalah menyeru perpecahan kaum muslimin dan berusaha untuk memisahkan barisan tandzim-tandzim dakwah dan jihad, setelah mereka telah membagi kaum muslimin secara umum menjadi dua, “mereka yang bersama daulah”, dan “mereka yang anti daulah”. Khilafah bukannya posisi yang berfungsi untuk menggugurkan jihad para mujahidin atau memecah belah mereka”.
Sementara itu, Syaikh Abdul ‘Aziz al Tarifi dari Saudi mengatakan, “Haram hukumnya bagi siapapun untuk menjadikan kelompoknya sebagai tumpuan al wala wal bara’, keyakinan bahwa bai’at dan kepemimpinan hanya menjadi milik kelompok tersebut secara eksklusif. Atasnya berlaku firman Allah, “Sesungguhnay orang-orang yang memecah belah agamanya, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.” (al an’am:159),
d. Argumen “Deklarasi Khilafah itu bathil karena ISIS adalah “penjahat”, “khawarij”, “teroris”, “takfiri” dan lain-lain.
Syaikh Abdul ‘Aziz al Fauzan, dalam suatu acara televisi menjawab pertanyaan presenter mengenai deklarasi ini. Beliau berkata,
“Khilafah? Khilafah yang mana? Daulah memerangi kaum muslimin dan ulama. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam telah memperingatkan kita terhadap orang-orang semacam itu, mereka adalah khawarij dan penjahat. Bagi kami, mereka hanyalah agen susupan kuffar barat dan Khawarij, mereka memiliki mental khawarij, bughot dan takfiri. Mereka adalah ghulat (ekstrimis) dan mujrimin. Demi Allah mereka adalah musuh Islam. Demi Allah mereka menyerukan perang dengan dalih menolong Islam.”
e. Argumen ISIS tidak memiliki sebongkah wilayah pun
Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas pertanyaan di akun Facebook mengenai deklarasi Khilafah.
“Sementara itu, organisasi yang memproklamirkan al-Khilafah tersebut, tidak memiliki kekuasaan atas Suriah dan tidak pula atas Irak. Organisasi itu juga tidak merealisasi keamanan dan rasa aman di dalam negeri dan tidak pula di luar negeri, hingga orang yang dibaiat sebagai khalifah saja tidak bisa muncul di sana secara terbuka, akan tetapi keadaannya tetap tersembunyi seperti keadaannya sebelum proklamasi daulah!.
Begitulah, proklamasi organisasi itu atas al-Khilafah adalah ucapan sia-sia (laghwun) tanpa isi. Itu sama saja dengan yang sebelumnya dalam hal proklamasi al-Khilafah, tanpa realita riil di lapangan dan tidak memiliki pilar-pilar. Semua itu hanya untuk memuaskan apa yang ada di dalam diri mereka.”
f. Khilafah Majhul (Tidak diketahui)
“Atas semua yang diperbuat musuh-musuh jahat itu, kita tegaskan kepada musuh-musuh Islam dari Timur dan Barat, antek-antek dan para pengikutnya, serta orang-orang bodoh mereka, bahwa al-Khilafah yang telah memimpin dunia berabad-abad adalah sudah diketahui dan tidak majhul, kuat menghadapi distorsi bagaimanapun tipu daya dan konspirasi dilakukan.”
Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas pertanyaan di akun Facebook mengenai deklarasi Khilafah.
Pihak Pro Deklarasi Khilafah
a. Argumen : Ahlul hal wal ‘aqd sudah bermusyawarah
Ahlul halli wal aqdi adalah orang penting yang menentukan keputusan. Imam Ahmad bin Hambal berkata, ” jika kesaksian telah diberikan oleh ahlul halli wal aqdi dari ulama kaum muslimin dan orang kepercayaan mereka, atau imam mengambil posisi itu untuk dirinya dan kemudian sekelompok kaum muslimin setuju dengannya, maka ini juga berlaku”.
Ketika mengomentari perkataan Imam Ahmad tersebut, Yahya al bahrumi, seorang pelajar yang berilmu dan kemudian berhijrah serta berjihad di Syam berkata, “ Ahlul halli wal aqdi adalah istilah teknis yang tidak disebutkan dalam al-qur’an maupun hadist. Namun, ini memiliki makna: 6 orang yang ditunjuk oleh Umar ra menjelang kematiannya, maka mereka dapat menyepakati seorang khalifah diantara mereka. Maka dasarsnya adalah dari ijtihad Umar, dan selama ini tidak bertentangan dengan syari’ah: ini hukumnya mubah (boleh) bukan suatu kewajiban.”
Pada kutipan audio pernyataan deklarasi Khilafah oleh jubir Syaikh Muhammad al Adnani yang berbunyi,
“Maka daulah Islamiyah memutuskan melalui Ahlul halli wal aqdi yang ada di dalamnya yang terdiri dari para tokoh, para panglima, para umara dan majelis syuro: “Mendeklarasikan tegaknya Khilafah Islamiyah”.
Abu Baraa, berpendapat tentang masalah Ahlul halli wal aqdi bahwa mereka adalah yang memegang otoritas di wilayah tersebut. Mereka yang dipatuhi oleh masyarakat dan disana hanya ada satu pemerintahan di wilayah daulah Islam yaitu daulah itu sendiri. Daulah-lah yang satu-satunya mengamankan perbatasan, satu-satunya yang menjaga stabilitas keamanan, daulah yang mendirikan mahkamah syari’ah dan menyelesaikan perselisihan. Satu-satunya yang mengurusi keperluan masyarakat.
“Maka mereka sendirilah ahlul hal wal ‘aqd itu, meskipun mereka bukan ulama. Dan bai’at pertama dari ahlul hal wal aqd pada zaman rasulullah shalallahu alaihi wa salam tidak terdiri dari para ulama. Bahkan beberapa dari mereka adalah orang-orang yang baru masuk Islam. Benar-benar baru masuk Islam, tapi mereka yang memberikan bai’at karena mereka memiliki kekuatan, mereka yang mengendalikan pasukan. Rasulullah shalallahu alaihi wa salam tidak mengajak para muhajirin bersamanya untuk membai’atnya. Pada bai’at aqabah yang kedua, meskipun para muhajirin adalah orang-orang yang jauh lebih dulu beriman, selama 10 tahun menjadi muslim. Mereka adalah orang-orang yang paling memenuhi syarat. Sampai hari ini kita mengatakan bahwa merekalah yang paling mulia dan tinggi statusnya. Tetap saja bukan mereka yang memberikan bai’atnya dalam bai’at aqobah yang kedua. Tapi malah orang-orang Anshar, Kabilah ‘Aus dan Khazraj. Karena merekalah yang memiliki kendali kekuasaan di Yatsrib, mereka mengendalikan kekuatan di Yatsrib. Itulah yang disebut sebagai Ahlul halli wal aqdi meskipun bukan ulama. Ketika khilafah sudah ditegakkan, tentu saja pasukan daulah Islam akan mengikuti para ulama. Dan ulama yang mereka ikuti, bukan Syaikh Adnani atau Syaikh al Baghdadi, tapi para Ahlul halli wal aqdi. Anda tidak bisa menentukannya sendiri, anda tidak bisa bilang “kita harus mengikuti syaikh kami, jika bukan syaikh kami, maka saya tidak akan mengikutinya”. Tidak, kalian tidak bisa bilang seperti itu.”
Oleh sebab itulah Syaikh Abdullah al Faishal, seorang ahli ilmu dari Jamaica menyatakan bahwa mereka yang awalnya memberikan bai’at kepada Khalifah Ibrahim mereka adalah mujahidin yang sama yang memerangi salibis di Provinsi Anbar. Dan mereka adalah bibit terbaik, muslim yang terbaik. Jadi jika mereka memilih Khalifah Ibrahim sebagai khalifah mereka, mereka dianggap sebagai orang-orang yang memberi keputusan (ahlu tsugur).
Syaikh Abu Muhammad al Maqdisi, Syaikh Abu Qatadah, Syaikh Sulaiman al Ulwan, Syaikh Aiman adz Dzawahiri, hafidzahumullah bukanlah Ahlul halli wal aqdi bagi daulah yang ada di Iraq dan Syam (ISIS). Jadi mereka tidak memiliki otoritas di daerah tersebut. Adalah sebuah kesalahan jika seseorang berkata, “saya dapat memilih siapa yang menjadi ahlul halli wal aqdi, siapapun yang saya rekomendasikan maka merekalah ahlul halli wal aqdi.”
Ahlul halli wal aqdi adalah mereka yang memiliki otoritas dalam kekuasaan mereka terhadap seluruh masyarakat di wilayah itu. Merekalah yang mengontrol otoritas dalam sebuah provinsi, di dalam perbatasan, yang mana masyarakat patuh kepadanya. Bagi mereka yang tidak memiliki kekuasaan di manapun, bahkan mereka menjadi buronan di setiap tempat (semisal Syaikh Aiman Hafidzahullah), pihak yang memiliki otoritas di tempat mereka tinggal, malah memenjarakan mereka (seperti Syaikh Al Maqdisi fakallahu asrah), memburu mereka atau mencari-cari mereka. Mereka tidak memiliki otoritas. Tetapi daulah dan Syura-nya, mereka memiliki otoritas di dalam wilayah daulah. Dan ini sudah jelas dan nyata bahwa masyarakat mematuhi mereka. Yang berarti bahwa daulah-lah yang merupakan ahlul halli wal aqdi yang sah untuknya.
Imam Nawawi rahimahullah berkata : “merupakan ijma’ para ulama bahwa demi sah-nya bai’at tidak diperlukan bai’at dari semua orang atau semua ahlul halli wal aqdi. untuk membai’atnya. Sebenarnya, jika bai’at diberikan kepada ulama dan orang yang berkedudukan yang hadir saja, itu sudah cukup. Bukanlah suatu kewajiban bagi setiap orang untuk datang kepada khalifah dan menjabat tangan untuk memberi bai’at kepadanya. Sebaliknya, apa yang diperlukan dari setiap individu hanyalah untuk tunduk kepadanya.” (sharah sahih muslim (12/77)).
Jadi kebanyakan orang mengira bahwa untuk sahnya khalifah diperlukan jutaan orang yang harus memberikan bai’at guna mengangkat seorang khalifah. Beberapa ulama dari umat yang memiliki kedudukan misalnya 7 atau 9 orang saja, lalu memberikan bai’atnya maka orang-orang lain tidak boleh memberontak kepadanya karena dia merupakan seorang khalifah yang resmi.
b. Argumen : Khilafah hanya untuk Quraisy dan Abu Bakr al Baghdadi adalah orang Quraisy
“Urusan ini (kekuasaan) akan tetap menjadi milik Quraisy, dan jika ada yang memberontak kepada mereka, maka Allah akan menghempaskan wajahnya ke tanah, selama Quraisy itu menjaga agama ini.” (shahih bukhari 9/62: 7139).
Syaikh Ibn Hazm berkata, “Khalifah tidak diperbolehkan kecuali dari laki-laki Quraisy”. Sedangkan Imam Ahmad berkata: “Tidak ada khalifah dari selain Quraisy”.
Sementara itu jika terdapat anggapan yang menyatakan bahwa Abu Bakr al Baghdady sebagai Imam al Mutaghalib (imam yang merebut kekuasaan secara paksa), maka ini juga tidak bisa menggugurkan khilafahnya. Imam al Mutaghalib adalah seseorang yang merebut khilafah dengan paksa, tidak melalui syura. (contoh: Khilafah Abbasiyyah merebut kekuasaan dengan paksa dari Khalifah Umayyah).
Imam al Nawawi berkata, “opini mengeani imamah sehubungan dengan imam yang berkuasa secara pakas (dengan pedang) adalah sah, selama dia menerapkan syari’at bahkan walaupun dirinya itu fasiq ataupun jahil.”
Syaikh Muhammad ibn Shalih al Utsaimin berkata, “jika seseorang memberontak dan mengambil alih kekuasaan, maka masyarakat harus tunduk dan patuh kepadanya, meskipun dia mengambil kekuasaan itu dengan pedang dan tanpa persetujuan mereka, karena dia telah berkuasa. Alasannya adalah jika kekuasaannya digugat, maka akan mengarahkan kepada kerusakan yang lebih besar dan inilah yang terjadi ketika periode bani umayah ketika beberapa dari mereka mengambil alih kekuasaan dengan pedang dan memperoleh kursi khalifah dan masyarakat tunduk kepada mereka sebagai ketundukan pada perintah Allah. (Syarah Aqidah al safariniyyah hal. 688)
c. Argumen : tuduhan terhadap kedzoliman atau pelanggaran yang dilakukan daulah tidaklah dapat menggugurkan deklarasi khilafah
Respon bantahan kepada para ulama yang menolak khilafah, oleh Yahya Al Bahrumi
“Kedzoliman yang terjadi pada masa kepemimpinan Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali tidaklah membatalkan khilafahnya. Saya secara pribadi menyaksikan kedzoliman yang dilakukan oleh anggota-anggota ISIS dan saya sudah mempersiapkan beberapa kasus terhadap para pelaku. Tetapi saya menyadari bahwa saya tidak dapat menyatakan bahwa masalah ini dapat menggugurkan kepemimpinan khalifah Ibrahim. Dengan perkataan diatas maka menjadi jelas sekali lagi, dengan saksi semata dan bukti-bukti bahwa banyak tuduhan-tuduhan yang diarahkan ke ISIS terbukti bahwa itu palsu”.
Sementara itu Abu Barra mengatakan, “Dari beberapa individu yang melakukan bid’ah, lalu kita melihat dari kenyataannya dan dari video tentang mahkamah syari’ah, mereka dihukum oleh daulah. Menunjukkan bahwa amirnya tidak hanya diam saja melihat kesalahan bawahannya. Khalid ibn walid, dia membunuh beberapa tawanan (yang seharusnya tidak dibunuh) dan Nabi Muhammad saw mengkritiknya karena itu dan mengatakan bahwa tindakan itu salah, tetapi beliau tetap mengirimnya sebagai komandan perang. Lalu apakah karena kesalahan tadi berarti bahwa pasukan, jihad dan daulah milik rasulullah menjadi bathil? Jawabannya tidak.
Siapa yang dapat memberikan bukti untuk mengatakan jika beberapa pasukan tertuduh, bahkan terbukti bersalah karena membunuh muslim pada masa fitnah ini? Lalu khilafahnya menjadi bathil, apa dalilnya?
Tanyakan dalilnya. Kalian akan mencarinya. Masalahnya adalah bagaimana kalian mengeluarkan fatwa, lalu baru mencari dalilnya setelah fatwa itu keluar.”
d. Argumen : Daulah telah berhasil mengontrol sebuah wilayah dimana mereka menerapkan syari’at Allah, dan memenuhi syarat utama dari sebuah khilafah.
Syaikh Al Adnani, “kita mengumumkannya, dikarenakan kita ini dengan karunia Allah telah memiliki pilar-pilarnya, dan dengan izin Allah kita mampu terhadapnya. Maka kitapun merealisasikan perintah Allah tabaraka wa ta’ala dan kita diudzur in syaa Allah, dan setelah itu kita tidak peduli apapun yang terjadi walaupun ia (khilafah) itu hanya bertahan satu hari atau satu jam, dan hanya milik Allah saja segala urusan itu sebelum dan sesudahnya.”
Luas wilayah kekuasaan Daulah Islam yang dikuasainya di Suriah saja yang mencakup Raqqah, al-Khoyr (Deir Zour), dan reef Aleppo Timur itu saja mencapai 62.000 km². Itu belum terhitung dengan wilayah kekuasaanya di Irak yang mencakup Nineveh, beberapa bagian dari Sholahuddin, Anbar, Diyala, selatan Baghdad dan Kirkuk.
Sedang khusus untuk wilayah Aleppo, Daulah Islam menjaga keamanan 60% di dalam wilayah Aleppo, dalam melawan Rezim Nushairiyah lengkap dengan atribut pemerintahan seperti berikut :
Divisi Kerja Daulah Islam Wilayah Aleppo:
- 5 buah Pengadilan, 2 diantaranya Pengadilan Pusat dan sisanya cabang. Di dalamnya ditegakkan hukum Syari’at Allah, ditegakkan hukum Had, dikembalikannya hak-hak orang yang terdzolimi, menegakkan keadilan, per hari=nya puluhan orang mengadukan peristiwa yang di alami kepada Kantor Administrasi Syar’i.
- 10 Markas Hisbah, menegakkan kewajiban Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, mencegah kejahatan, kemaksiatan dan kemunkaran, memfokuskan Dakwah kepada kaum muslimin mengajak kepada kebaikan.
- 11 Kantor Dakwah, menjalankan program Dakwah Ilallah lewat penyebaran Booklet Dakwah, menggelar even Tenda Dakwah dll.
- 10 Pos Kepolisian, menjaga keamanan dalam wilayah, memudahkan kontrol operasi, menjaga jiwa, kehormatan dan harta.
- 5 Kantor Pelayanan, melayani manusia di berbagai bidang kehidupan, semisal air, listrik, pabrik roti atau gandum, perkotaan dan kantor pengaduan.
- 22 Ma’had (Sekolah) Syar’i, mengajari kaum muslimin di dalam Ma’had-ma’had yang ada dalam hal urusan Dien mereka, baik Aqidah,Fiqh dan al Qur’an.
- Bendungan Sungai Eufrat, bekerja menghidupkan listrik di tiap wilayah dan membangkitkan 2 stasiun Pembangkit Tenaga Listrik. Wilayah ini juga meliputi Gudang Air, dari sungai Eufrat untuk kebutuhan minum dan hidup kaum muslimin
e. Argumen : tidak ada dalil syar’i yang dapat menggugurkan deklarasi khilafah yang mana adalah “seruan persatuan”. Argumen-argumen yang menentang khilafah lebih kearah “emosional” daripada ke arah syar’i
Syaikh Al Adnani mengatakan, “mereka itu (kelompok islam, militer, dll) tidak pernah sepakat terhadap suatu urusan pun pada suatu hari pun. Dan mereka tidak akan sepakat terhadap suatu urusan selamanya. Kecuali orang yang dirahmati Allah, kemudian sesungguhnya Daulah itu mengumpulkan orang-orang yang mau berkumpul. (Untuk merumuskan kekhilafahan)”
“Lihatlah bagaimana Abu Muhammad Al Maqdisi mengatakan bahwa seruan untuk bersatu dibawah satu kepemimpinan adalah seruan perpecahan, konspirasi, memecah barisan kaum muslimin.” Padahal seruan dari daulah ini pada nyatanya bermakna untuk menyelamatkan dari perpecahan dan menyatukan barisan dalam satu shaf”. (Syaikh Abu Umar al Hanbali).
“Kendati kecintaan saya terhadap Al Qaidah, para petingginya tetap tidak bisa membantah fakta di lapangan. ISIS telah berhasil membela diri mereka dan waktu telah tiba untuk menghimpun persatuan dan kerjasama. Apa yang telah menghalangi kalian untuk mendukung daulah bukanlah karena maslahat jihad, ini hanyalah karena kalian tidak ingin kehilangan posisi kepemimpinan.” Syaikh abdul majid al hatari, yaman.
Abu Baraa berkata, “Pada masalah ini, masalahnya adalah, argumen-argumen orang-orang yang mengikuti al maqdisi hukum mereka melindungi dirinya dan menghilangkan tekanan dari para tiran, pada nyatanya mereka tidak mengeluarkan argumen yang realistis dengan bukti-bukti yang ada. Pada diskusi mengenai persoalan khilafah hari ini, saya tidak melihat orang-orang itu membawa dalil yang sesuai dengan waqi’ yang terjadi untuk menggugurkan khilafah ini. Kalian tidak bisa mengatakan, “ulama ini berkata begini…dan begini” kalian harus mendatangkan bukti, dalil, bukan emosi semata.”
f. Argumen : Persoalan khilafah sudah mendesak karena khilafah absen selama 90 tahun lebih, oleh karena itu harus segera di deklarasikan ketika syarat-syarat sudah terpenuhi
Syaikh Al Adnani, “Dan bila mereka mengatakan kepada kalian: kalian telah lancang terhadap mereka! Kenapa kalian tidak meminta pendapat mereka sehingga kalian memberika alasan kepada mereka dan kalian menarik hati mereka ? maka katakanlah kepada mereka: sesungguhnya urusan ini lebih mendesak daripada itu. Dan katakanlah kepada mereka: karenanya kami telah menumpahkan sungai-sungai dari darah-darah kami, kami menyirami tanamannya, kami rintis pindasi-pondasinya dengan tengkorak-tengkorak kami, kami bangun pilar-pilarnya dia atas serpihan-serpihan badan kami. Dan kami bersabar terhadap pembunuhan, pemenjaraan, penyiksaan, pemotongan anggota badan selama bertahun-tahun, dan kami juga mengecap rasa pahit dalam memimpikan hari ini, maka apakah kamiaharus menangguhkannya sejenak padahal kami sudah sampai kepadanya?
***
Demikian sebagian kecil berbagai argumen yang diangkat oleh kedua belah pihak. Perbedaan tidak lantas harus dihadapi dengan perpecahan karena sejatinya Umat Islam adalah sebuah kesatuan. Perpecahan tidaklah membawa kepada suatu masalah selain keterpurukan. Saatnya umat ini melihat masalah secara proporsional, adil, mendahulukan hak husnudzan terhadap saudara seagama dan bersikap tabayyun terhadap segala informasi yang dibawa oleh pihak manapun. Semoga mimpi persatuan dan perdamaian ummat di negeri ini segera terkabul.
Allahu A’lam Bi Showwab.