Akun medsos miliknya banjir follower. Jumlahnya fantastis. Tapi dia tak mengaku-aku sebagai penggiat sosial. Bukan itu yang substansi. Rasanya ingin berterima kasih kepada sekelompok orang yang sering mengusirnya.
Nabi pun pernah merasakan perbuatan keji manusia dengki. Jauh lebih berat ketimbang yang dihadapinya. Makanya dia tenang. Karena dia bukan sapa-siapa. Ulama bukan; Nabi juga apalagi. Jauh….
ILC edisi Reuni 212 jadi ajang orang menyaksikan kapasitasnya. Bukan keinginan Felix, dia hanya diundang.
Kebanyakan bersimpulan sama: dia berkualitas. Beda dengan yang ecek-ecek.
Ada yang suka nulis di medsos, sulit bernafas waktu bicara di tv. Itu grogi. Tak memenuhi hasrat. Bukan kelasnya. Bukan habitatnya. Beda kasta. Pak Karni keliru mengundangnya. Dia terkecoh.
Tak puas di tv, muncul klaim soal “kebenaran” di twitter, bukan oleh nitizen, dan bukan jumlah follower. Ukuran kebenaran sumir baginya. Banyak nitizen yang terkekeh-kekeh. Jika satu ngaku nulis paling benar; yang lainnya pastilah gudang kesalahan. Begitukah…?
Mudah-mudahan tempat kuliahnya dulu prestisius. Tambah IPK moncreng. Jika tidak, kurangi ngarang. Banyakin belajar. Belajar komunikasi agar lancar tanpa ngos-ngosan. Kasian, orang muda bicara dengan nafas tersengal-sengal. Di teve lagi. Disaksikan orang banyak.
Beruntung bagi yang pernah melihat Felix berceramah secara langsung. Setiap ucapannya berisi. Ungkapan dan tamsil juga ilustratif, gamblang. Pakai bahasa sederhana. Jadi gampang diterima. Tidak ada karang mengarang. Semua pakai dalil.
Itulah Felix… Dia ibarat fajar. Terbit dan berharap akan terus menyinari. Dia Indonesia, dia NKRI. Bahasanya yang mengalir, pertanda, itulah bahasa ibunya sehari-hari. Tanpa celat. Bebas dari kata-kata tak sedap. Karena dia manusia berbudaya. Karena dia benar-benar Indonesia.(kl/pi)