Mereka bangga putra kesayangannya sudah menjadi anak baik. Nggak neko-neko seperti dulu. Sangat penurut.
Meski mulanya keberatan, kedua orang tuanya akhirnya pasrah. Itu pilihan. Anaknya bukan lagi anak kemarin sore. Dia lebih tahu pilihannya sendiri. Tiap orang punya pilihan masing-masing. Dia, Felix, telah menentukan pilihannya.
Hari ini dia menjadi inspirasi. Nggak nyana ilmu agamanya juga tinggi. Keberuntungannya karena dia aslinya cerdas.
Mudah mencerna, mudah belajar. Ngomong berisi, selalu ada dasar dan data. Ini ciri intelektualitas. Bukan menebar karangan sesukanya. Asal njeblak. Yang penting nekad. Berani malu. Itu bukan dia banget.
Felix bukan ustadz sinetron. Dia menguasai agama untuk dakwah. Bukan lain-lain. Apalagi untuk cari uang dan popularitas. Kedua orang tuanya mendukung penuh putranya. Fasilitas dilengkapi. Mobil bergengsi dan dukungan lainnya pun cukup.
Felix bermain lepas. Ibarat pemain bola ia selalu tampil lugas. Dakwah karena kewajiban. Ada bonus pahala bila tulus. Sesekali dia menyelia perusahaan. Itu bagian dari sejarah keluarga besarnya.
Kebusukan sering mengusik langkahnya. Tapi dia tenang. Tidak ada reaksi. Niat saja sudah bonus. Apalagi mengerjakannya. Simpati terus mengalir padanya.