oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
Kisah dari Negeri Tao Ming Se
Siapa tak kenal Tao Ming Se? Ya, ia adalah salah satu tokoh utama di serial Meteor Garden ini sangat populer di awal tahun 2000-an. Dengan profilnya yang eksentrik di antara anggota F4 lainnya, membuat Tao Ming Se mudah dikenal, meski karakternya agak mengesalkan.
Beralih dari kisah dongeng kehidupan Tao Ming Se, pada faktanya, Taiwan, negeri asalnya juga merupakan negeri impian. Memang yang dimaksud bukanlah impian untuk hidup sebagaimana gelimang harta dalam kehidupan Tao Ming Se. Bukan pula negeri impian untuk dapat menjadi pesohor berparas elok layaknya F4. Melainkan, impian bagi para pencari kerja dari Indonesia agar dapat meningkatkan taraf kesejahteraan hidup. Karena memang telah sejak lama, Taiwan (dan Hongkong) menjadi negeri yang terkenal dengan keamanan dan kesejahteraannya bagi para tenaga kerja Indonesia, khususnya para perempuan.
Tersebutlah Nasiroh, ibu dari seorang anak dan merupakan salah satu TKW (tenaga kerja wanita) asal Lumajang, Jawa Timur. Di Taiwan, ia bekerja mengurus rumah tangga, seperti mengantar anak sekolah, belanja, memasak serta pekerjaan rumah lainnya. Tahun 2005, ia diminta oleh majikannya untuk menggunakan mobil demi memperlancar aktivitasnya. Majikannya pun memintanya kursus setir mobil hingga ia memiliki SIM Taiwan. Bahkan, majikannya mempercayakan satu unit mobil Mazda6 atas namanya sendiri.
Rajutan asa Nasiroh pun tak percuma. Ia bahkan berencana mendirikan rumah kost dan warung makan di daerah Sidoarjo. Ia juga telah merangkai sejumlah rencana hari tua. Termasuk cita-citanya menyekolahkan anak semata wayangnya di sebuah sekolah angkatan udara, pun terlaksana (http://www.lowongankerja-keluarnegeri.com/2013/08/Nasiroh-TKW-Asal-Lumajang-Yang-Sukses-di-Taiwan.html).
Lain di Taiwan, Lain di Arab
Lain di Taiwan, lain pula di Arab. Mari kita simak kisah Nurhayati. Nurhayati yang bernama lengkap Nurhayati Solapatri ini berprofesi sebagai motivator calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Ia termasuk orang yang cerdik. Perempuan yang juga dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa ini, pernah memberikan tips kepada para 100 calon TKI yang akan berangkat ke Taiwan dan Hongkong di Pusat Pendidikan dan Latihan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Jakarta Selatan, Sabtu (11/6/2011).
Nurhayati menceritakan ketika dirinya menjadi seorang TKI ke negeri Arab diawali keputusasaan sulitnya mendapatkan uang untuk biaya kuliah, ia memutuskan untuk mendaftarkan diri ke Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di Banten dengan tujuan untuk bisa berkuliah. Namun, pengalamannya tidak terlalu manis, PJTKI yang merekrut dirinya tidak memberikan pelatihan apa pun, sehingga Nurhayati harus belajar secara otodidak. “Saya waktu itu diberi sertifikat keahlian, tetapi sebenarnya saya tidak diberikan pelatihan,” ucapnya.
Sadar bahwa budaya di Arab Saudi pasti berbeda dengan budaya di Indonesia, ia pun akhirnya banyak menggali informasi tentang budaya dari TKI-TKI yang pernah bekerja di Arab Saudi. Misalnya, suatu ketika ia akan memandikan anak majikannya, tiba-tiba majikannya memarahinya. Yang mana dari kesalahan tersebut ia baru tahu, kalau orang Arab ternyata mandinya tidak setiap hari.
Selain itu, ia menceritakan kepada para calon TKI kalau di Arab wanita itu harus bersifat sinis kepada kaum pria. “Kalau wanita itu menjawab pertanyaan sambil senyum-senyum, itu akan diartikan wanita tersebut suka pada laki-laki yang menanyainya,” cerita Nurhayati. Terkait gaji, Nurhayati menceritakan bahwa gaji dari majikan harus selalu diambil tiap bulan. Jangan ditunda-tunda, karena hal tersebut yang mengakibatkan majikan tidak membayar gaji TKI.
Dari cerita Nurhayati, mungkin kita bisa belajar sebuah arti kehidupan. Seorang TKI bisa menjadi orang yang sukses dan mewujudkan impian kita. “Pokoknya kalau jadi TKI jangan pernah berniat untuk jadi TKI yang kedua kali, cukup satu kali. Sehingga saat menjadi TKI kita harus mempunyai tujuan,” ucapnya.
Atas kiprah dan perjuangannya, Pemerintah Arab Saudi pun memberikan penghargaan kepada Nurhayati, yang diberikan langsung oleh Wakil Duta Besar Arab Saudi di Jakarta, Majed Abdulaziz Al-Dayel. Acara pemberian penghargaan berlangsung di Kantor Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta. Dalam sambutannya, Al-Dayel mengatakan di tengah cerita sukses yang dialami ribuan TKI di negaranya, terdapat pula kasus khusus yang dialami sebagian TKI akibat tindakan yang dilakukan segelintir majikan mereka (tribunnews.com, 12/06/2011).
Gaji Tinggi, Magnet Kuat Jadi TKI
Malaysia mungkin tak lagi menggiurkan sebagai negara tujuan kerja para TKW rumah tangga. Sudah menjadi rahasia umum bahwa TKW Indonesia di Malaysia sering mengalami siksaan dari majikannya, bahkan tak jarang pulang tak bernyawa. Akibatnya, terjadi kelangkaan pembantu yang terhitung sangat parah hingga menyebabkan penderitaan para keluarga yang bergantung pada pembantu. Di Malaysia, PRT (pembantu rumah tangga) dianggap penting untuk mengasuh anak-anak, orang tua, dan membantu pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lainnya. Oleh karenanya, para keluarga majikan didorong untuk membayar RM 8.000 (Rp 25,2 juta) hingga RM 10 ribu (Rp 31,5 juta) guna memberikan rasa aman bagi para PRT Indonesia (bisnis.liputan6.com, 02/07/2013).
Setali tiga uang dengan indahnya harapan Nasiroh, wajar jika akhirnya Taiwan menjadi negeri impian. Bayangkan, para pekerja TKI rumah tangga di Taiwan selama ini digaji 15.840 New Taiwan (NT) Dolar atau sekitar Rp 6,4 juta per bulan. Ini cukup menggiurkan. Bahkan, menurut Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) melaporkan jumlah seluruh TKI di Taiwan saat ini berkisar 210 ribu orang. “Pekerja ini menempati urutan pertama dari total tenaga kerja asing di wilayah itu, yang disusul oleh terbesar berikutnya dari Vietnam, Thailand, dan Filipina,” ungkap laporan tertulis BNP2TKI.
Belum lagi dengan sektor manufaktur, konstruksi dan anak buah kapal. Penghasilan TKI di ketiga sektor tersebut bisa jauh lebih besar, yaitu 19.047 NT Dolar atau Rp 7,73 juta per bulan. Melihat pada persentasenya, warga Indonesia yang merantau ke Taiwan umunnya berprofesi sebagai TKI rumah tangga sebesar 80% dari total TKI. Diikuti TKI di sektor manufaktur dan konstruksi dengan porsi 15%, dan TKI ABK 3-4%.
Dan rasanya, besarnya penerimaan yang diperoleh para tenaga kerja tersebut masih bernilai signifikan meski harus terpangkas oleh sejumlah pungutan yang dikenakan oleh agensi penyalur TKI Taiwan. BNP2TKI mencatat agensi biasanya memungut iuran 60 ribu NT yang wajib dicicil saat TKI menempuh kontrak kerja pertama kali untuk tiga tahun lamanya. Dan memang tak hanya itu. Tenaga kerja yang bekerja sebagai ABK juga dikenakan beban tambahan dengan pengutan 2.500 NT per bulan untuk biaya akomodasi, padahal TKI tersebut harus memperoleh kondisi tempat tidur di kapal yang tidak layak. Namun, menindaklanjuti temuan tersebut, BNP2TKI dan otoritas dari Taiwan merekomendasikan pembentukan gugus tugas gabungan untuk meningkatan pelayanan TKI yang bermartabat. Gugus tugas ini juga berperan untuk menyusun kerangka program teknis bersama ke arah terciptanya perbaikan dan kesejahteraan TKI yang bekerja di Taiwan (bisnis.liputan6.com, 05/12/2013). Bagaimana, cukup sejahtera dan menggiurkan bukan?
Pelayanan menuju perbaikan dan kesejahteraan TKI inilah yang barangkali juga menjadi iming-iming untuk lebih memilih Taiwan dibanding Malaysia atau Timur Tengah sebagai negara tujuan bekerja, khususnya bagi TKW.
TKW, “Sang Pahlawan Devisa”
Pasalnya, saat ini tak ada yang mau sadar bahwa sistem kapitalisme justru telah menjadikan TKW sebagai ladang eksploitasi. Istilah “pahlawan devisa” kini terlabel dengan konotasi positif, sehingga bekerja di luar negeri memiliki prestige tinggi. Padahal makna istilah tersebut sejatinya telah dimanipulasi. Rasanya, tak hanya sekali-dua kali kasus TKW pulang kampung tinggal nama.
Tak hanya nasib Erwiana (TKW di Hongkong) yang sejak akhir 2013 hingga awal 2014 ini meramaikan media massa dalam kondisi tersiksa. Yang ironisnya, koran lokal South China Morning Post memberitakan, polisi Hong Kong menolak menyelidiki kasus Erwiana. Meski, juru bicara polisi mengatakan mereka sedang melakukan penyelidikan atas kasus tersebut. Ada sekitar 300.000 pembantu rumah tangga asal Asia Tenggara (terutama dari Indonesia dan Filipina) yang saat ini bekerja di Hongkong. Banyak pekerja Indonesia di Hongkong menjadi korban penipuan agen tenaga kerja yang membebani mereka dengan biaya tinggi serta menyita dokumen-dokumen mereka. Para pekerja ini dijanjikan akan mendapat gaji besar dan pekerjaan yang baik. Pada November tahun lalu, Amnesty Internasional mengutuk ‘pembudakan’ atas ribuan pekerja wanita asal Indonesia di negara itu. (tempo.co, 16/01/2014). Tapi cukupkah sebuah lembaga internasional hanya ‘mengutuk’?
Juga kisah Sihatul Alfiah (24 tahun) warga Desa Plampangrejo, Kecamatan Cluring, Banyuwangi, Jawa Timur, bekerja sebagai buruh di peternakan sapi perah di Tainan City, Taiwan. Sejak 22 September 2013 lalu, ibu satu anak itu terbaring koma karena disiksa majikannya. Sihatul pergi ke Taiwan melalui PT Sinergi Bina Karya di Malang, Jawa Timur. Dia memilih Taiwan karena kakak kandungnya, Siti Emilatun, 34 tahun, sudah dua tahun bekerja di sana. Sebelum ke Taiwan, Sihatul pernah bekerja di Arab Saudi.
Sihatul diberangkatkan ke Taiwan pada 27 Mei 2012. Memang, Sihatul menyetujui tawaran bekerja di peternakan sapi perah meskipun dengan membayar Rp 3 juta. Maksud awalnya, sambil menunggu kesempatan yang lain. Namun, bayangan bekerja di tempat enak pupus. Sebab, di peternakan itu Sihatul harus mengurus 300 ekor sapi perah seorang diri, mulai dari memberi pakan, membersihkan kandang dan memerah susu. Dia harus memulai pekerjaan berat itu sejak pukul 3 pagi hingga pukul 10 malam, hanya istirahat sebentar di siang hari, bahkan tanpa hari libur. Bahkan, ia pernah pingsan karena kelelahan. Derita Sihatul tak berhenti di situ. Dia harus rela tidur di kamar sempit berdekatan dengan kandang sapi. Bila pekerjaannya lamban, majikannya akan langsung menendang atau menampar. Kesempatan berobat ke rumah sakit pun tak ada.
Suatu ketika, kakak Sihatul menerima kabar bahwa adiknya dilarikan ke rumah sakit karena tak sadarkan diri. Awalnya dokter memvonis Sihatul terkena gagal jantung. Vonis dokter dirasa janggal karena seluruh wajah Sihatul bengkak. Empat bulan Sihatul dirawat di rumah sakit, kondisinya tak kunjung membaik. Dia juga belum sadarkan diri. Bingung dengan kondisi istrinya, Suhandi memutuskan berhenti kerja di Malaysia dan pulang ke Banyuwangi pada akhir Desember lalu. Ia lalu melapor ke LSM Migrant Care dan BNP2TKI di Jakarta. Namun, dia kecewa karena tindak lanjut laporan tersebut sangat lambat. “Saya tidak tahu harus mengadu kemana lagi,” keluh Suhandi. Suhandi bersama LSM Migrant Care berencana akan ke Jakarta lagi untuk mengadukan nasib istrinya ke DPR RI dan Kementerian Tenaga Kerja. Dia berharap Sihatul dipulangkan ke Banyuwangi (tempo.co, 24/01/2014).
Masih dari Taiwan, adalah Susi (bukan nama sebenarnya). Kisahnya 10 tahun yang lalu memperlihatkan betapa tertekan hidupnya dalam upaya memburu dolar NT di Taiwan. Dia mengaku baru 15 bulan bekerja di salah satu keluarga kaya di Taiwan. Tugasnya hanya mengasuh kakek Ah Liang yang nyaris lumpuh. Ia berkisah, “Tiga bulan pertama, sungguh dimanja.” Ia mengaku dibelikan perhiasan, gelang, kalung, giwang, diberi fasilitas handphone, bahkan diperlakukan seperti anak sendiri. Enam bulan berlalu dalam glamor dan kegembiraan. Tiba-tiba saja suasana berubah, ketika Ah Liang mulai berulah. Dia merayu Susi agar mau dijadikan istri, sampai akhirnya malam kelabu itu terjadi.
Cerita pelik para TKI dan TKW di negeri seberang ternyata masih juga berlanjut sampai di bandara. Di Bandara Internasional Chiang Kai Sek, Taiwan, sejumlah TKI dan TKW masih juga diperlakukan diskriminatif. Mereka dilayani di tempat terpisah dari penumpang umum. Bahkan ketika tempat pelayanan boarding pass yang khusus melayani mereka penuh, sedangkan tempat pelayanan umum masih kosong, tetap saja mereka dibiarkan antre panjang. Untuk membedakan antara TKI/TKW dan penumpang umum, biasanya para TKI dan TKW itu diberi kode khusus berupa ID card yang ditempelkan di dada sebelah kiri atau kanan. Celakanya justru dengan ID card itulah, kerapkali mereka menjadi bulan-bulanan para calo atau oknum penipu setibanya di Bandara Cengkareng Jakarta. Masalahnya, akankah nasib pelik para pencari dolar di negeri seberang ini dibiarkan suram? (suaramerdeka.com, 05/09/2003).
Liberalisasi Ekonomi, Akar Permasalahan
Sejak Indonesia diterpa krisis ekonomi tahun 1997, aroma kebebasan atau liberalisasi di bidang ekonomi makin tajam. Karena kesulitan ekonomi, Indonesia harus bergantung pada pinjaman asing, khususnya IMF. Salah satu program unggulan IMF, yaitu privatisasi sektor ekonomi publik, telah membuahkan pil pahit yang harus ditelan Indonesia. Disamping itu, muncul pula kebijakan penghapusan subsidi pemerintah terhadap kebutuhan pokok rakyat, mulai dari BBM, TDL, pupuk, minyak tanah, hingga adanya keharusan impor sumberdaya pertanian dan pangan. Dampak langsung dari semua ini, jelas pemiskinan dan kemiskinan rakyat.
Tingginya angka kemiskinan berakibat pada perubahan paradigma berpikir tentang ekonomi, yang akhirnya berpengaruh pada perubahan perilaku masyarakat. Artinya, orang akan berlomba memenuhi kebutuhan ekonomi demi bertahan hidup. Bahkan seringkali tanpa memandang standar halal-haram.
Alhasil, kemiskinan inilah yang menggerakkan perempuan, termasuk para ibu, untuk bekerja mencari nafkah. Hingga tak sedikit yang memilih menjadi TKW di luar negeri. Hal ini seyogyanya dibaca sebagai bentuk keterpaksaan perempuan, yang harus bekerja keluar rumah. Namun, bukannya menghentikan dengan mengoptimalkan peran para suami dan wali (dari para perempuan ini) untuk mencari nafkah, sejumlah regulasi justru dikeluarkan oleh Pemerintah untuk mendukung perempuan bekerja. Gelar “pahlawan devisa“ telah salah kaprah dimaknai sebagai pahlawan penolong perekonomian bangsa karena para TKW ini bisa menghasilkan uang sendiri dan imbasnya akan mendongkrak pendapatan per kapita negara.
Sementara itu, di tengah masyarakat dikembangkan opini tentang sosok perempuan yang sukses. Yaitu mereka yang memiliki pekerjaan dan tidak bergantung kepada suami. Bukan opini tentang sosok perempuan sebagai ibu yang mampu mencetak anak-anaknya menjadi generasi cemerlang dan berakhlak mulia. Dengan kata lain, hal ini telah menghilangkan fitrah seorang ibu yang seharusnya berada di rumah untuk mendidik anak-anaknya dan menjadi pengatur rumah tangganya.
Celakanya lagi, jerat kapitalisme telah membuat sebagian ibu yang mendapat ‘sukses‘ dengan imbalan hasil kerja yang besar, tidak merasa sedih dan bersalah dengan pengabaian fungsi keibuannya. Rasa sedihnya tertutupi oleh hitungan sejumlah nominal mata uang. Maka, seperti inikah setitik asa yang dapat diandalkan saat mencari nafkah harus dengan ribuan kilometer ke negeri seberang?
Padahal sejatinya, perasaan bangga dan bahagia menjadi ibu itu tidak bisa dibayar dengan harta dunia. Melainkan hanya layak diganti dengan surga. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: “Apabila seorang anak Adam mati putuslah amalnya kecuali tiga perkara, sedekah jariyah, atau ilmu yang memberi manfaat kepada orang lain atau anak yang soleh yang berdoa untuknya.” (HR Muslim).
Aturan Islam tentang Nafkah dan Bekerja
Andai seluruh ibu dan calon ibu memahami bagaimana pandangan Islam yang sebenarnya terhadap posisi dan peran mereka, dan bagaimana Khilafah menjamin pemenuhan hak-hak mereka, niscaya tak ada satu pun yang menolak Khilafah. Melainkan, mereka akan berlomba-lomba turut dan usaha menegakkan Khilafah. Karena sungguh, sistem demokrasi-kapitalisme buatan manusia ini telah menjadi sumber dari segala kesulitan.
Visi utama keberlangsungan Khilafah adalah penerapan aturan Allah Swt dalam kehidupan sebagai wujud pengabdian manusia sebagai hamba-Nya. Sebagaimana firman Allah Swt: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (TQS Adz-Dzariyat [51]: 56). Dalam bidang ekonomi, Khilafah bicara tentang distribusi kekayaan dan jaminan kebutuhan hidup. Firman Allah Swt: “…supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (TQS Al-Hasyr [59]: 07). Ayat ini menjelaskan bahwa harta tidak boleh beredar di antara orang kaya saja. Allah Swt memberikan kewenangan kepada Rasul saw, sebagai kepala negara, untuk mengatur dan mengelola pendistribusiannya. Harta kekayaan harus tersebar merata agar kebutuhan setiap individu terpenuhi.
Islam menghormati ibu dengan tidak mewajibkannya mencari nafkah. Suami atau walinyalah yang berkewajiban memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara, jika keadaannya miskin, maka seorang ibu bisa dan boleh (mubah) untuk bekerja demi membantu suami atau keluarganya mencari nafkah. Namun, kewajiban dan tanggung jawab mencari nafkah tetap berada di tangan suami/walinya.
Di dalam Islam, bekerjanya seorang laki-laki adalah aktivitas yang mulia karena sebagai sarana beribadah kepada Allah. Allah Swt berfirman: ”Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjuru bumi serta makanlah sebagian dari rezeki-Nya.” (TQS al-Mulk [67] 15). Demikian halnya, Rasulullaah saw pun mengutamakan masalah bekerja. Rasul saw pernah menyalami tangan Saad bin Muadz ra. Ketika itu kedua tangan Saad tampak kasar. Nabi saw lalu bertanya kepada Saad mengenai hal itu. Saad menjawab, “Saya selalu mengayunkan skrop dan kapak untuk mencarikan nafkah keluargaku.” Kemudian Rasulullah menciumi tangan Saad seraya bersabda, “Inilah dua telapak tangan yang disukai Allah Swt.” (Hadis ini disebutkan oleh as-Sarkhasi dalam al-Mabsuth). Kemudian dari hadis riwayat Bukhari-Muslim, “Sungguh sekiranya salah seorang di antara kamu sekalian mencari kayu bakar dan dipikulnya ikatan kayu bakar itu, maka yang demikian itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada seseorang baik orang itu memberi ataupun tidak memberinya.”
Serta dalam hadits yang lain: ”Siapa saja yang mencari dunia demi mendapatkan dari yang halal, seraya menjaga dari kehinaan, untuk memenuhi nafkah keluarganya atau karena empati dengan tetangganya maka dia akan menemui Allah Swt dan wajahnya bagaikan sinar bulan purnama. Siapa saja yang mencari dunia untuk mendapatkan yang halal, namun demi suatu kebanggaan, memperbanyak harta dan pamer kekayaan maka dia akan menemui Allah dan Allah murka kepadanya.” (Hadist ini tercantum dalam al-Mushannaf karya Ibn Abi Syaibah dari jalur Abu Hurairah).
Oleh karenanya, bentuk penghormatan Islam kepada kaum perempuan, adalah dengan menjaminnya untuk berhak memiliki, menggunakan dan mengembangkan harta kekayaan halal sebagaimana laki-laki. Khilafah menjamin kebutuhan pokok setiap perempuan, mengentaskan kemiskinan dan menciptakan kesejahteraannya melalui mekanisme berikut ini:
- Khilafah memerintahkan para laki-laki (ayah) untuk bekerja menafkahi keluarganya; firman Allah Swt: ”…Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf...” (TQS Al-Baqarah [02]: 233)
- Jika ada laki-laki (suami) yang tetap tidak mampu bekerja menanggung nafkah diri, istri dan anak-anaknya (misalnya karena sakit, sudah tua-renta, dll), maka beban tersebut dialihkan kepada ahli warisnya; firman Allah Swt: ”…Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian...” (TQS Al-Baqarah [02]: 233)
- Jika suami dan kerabat dekat tidak ada, atau ada tapi tidak mampu menafkahi, maka Negara Khilafah yang langsung menafkahi keluarga miskin ini melalui Baitul Maal, sehingga perempuan dalam keluarga tersebut tetap tidak dipaksa bekerja; sabda Rasul saw: ”Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya dan siapa saja yang meninggalkan ‘kalla’ (orang lemah, tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai orang tua), maka ia menjadi kewajiban kami.” (HR Muslim)
- Jika Baitul Maal tidak ada harta sama sekali, maka kewajiban menafkahi orang miskin beralih kepada kaum muslimin secara kolektif; firman Allah Swt: ”Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (TQS Adz-Dzariyat [51]: 19).
Kewajiban mencari nafkah yang dibebankan kepada kaum laki-laki, bukan dimaksudkan untuk menunjukkan kekuatan laki-laki dan kelemahan perempuan. Tapi peran ini diberikan sesuai dengan kemampuan dan tanggung jawab yang diberikan oleh Allah Swt kepada laki-laki. Dan ketika masing-masing pihak saling membantu dalam kehidupan bermasyarakat sambil tetap fokus dengan peran yang sudah ditetapkan, maka ketentraman dalam sebuah masyarakat akan terwujud. Insya Allah.
Khatimah
Dengan sebenar-benarnya, harus disadari bahwa kaum perempuan, para ibu dan calon ibu, memerlukan jaminan pemenuhan kebutuhan hidup. Mereka pastinya ingin merasakan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. Termasuk, tentunya ingin dan memang berhak merasakan kenikmatan dunia.
Dengan demikian, andaikan perempuan memang harus bekerja, maka ia harus tetap memperhatikan batasan Islam. Artinya, ketika keluar rumah ia harus atas izin suami/wali, tetap menutup aurat, menjaga diri dari pergaulan yang tidak syar’iy dengan lawan jenis, serta adanya jenis-jenis pekerjaan yang dibolehkan dan yang dilarang syara’ bagi perempuan. Disamping itu, ia juga tidak boleh meninggalkan kewajiban utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Jika tugas utama ini telah ditunaikan, maka tidak ada larangan bagi kaum perempuan untuk berkecimpung dalam ranah publik.
Namun, ketika perempuan bekerja full time sebagaimana para laki-laki, jelas akan membuat keseimbangan dalam keluarga terganggu. Perempuan memiliki peran dan tanggung jawab sebagai ibu dan pendidik generasi. Peran sebagai ibu dan pendidik generasi tidak akan dapat tertunaikan dengan optimal, bahkan bisa jadi akan terabaikan. Ingatlah, Islam telah memuliakan perempuan dengan menjadikan ia seorang ibu yang di bawah telapak kakinyalah surga diletakkan. Wallaahu a’lam bish showab []