Seni Memelihara Api
Ketiga, perang membutuhkan keteguhan untuk menuntaskannya. Memulai memantik api perang memang terlihat gampang, tetapi menuntaskannya menjadi sebuah kemenangan memerlukan pemeliharaan momentum. Dalam kasus Surabaya momentum muncul, bahkan diciptakan dengan pembunuhan terhadap Mallaby, namun ketika pasukan Inggris terjepit, kemenangan tak dituntaskan.
Seni memantik dan memelihara api ini kerap diabaikan oleh mereka yang bersemangat untuk berjihad. Api dikobarkan dengan korek gas yang menyala, disiram dengan bensin yang cepat membakar, tetapi kayu kering terlalu sedikit. Kebanyakan umat ibarat kayu basah yang tak mempan disulut api jihad. Akibatnya api segera padam dan nasi di panci tak bisa matang. Panas yang sesaat hanya membuatnya menjadi ngelethis, mentah tidak matang pun bukan.
Di sinilah seni bersabar dalam persiapan diperlukan. Sabar mengeringkan kayu sampai siap untuk dibakar hingga tuntas memasak. Sabar menyiapkan umat agar mampu memikul beban jihad yang berat dalam waktu yang panjang. Sabar dan berhitung untuk menghadapi musuh di saat yang tepat dengan niat menuntaskannya.
Inilah yang ditempuh oleh Rasulullah pada fase awal dakwah. Tigabelas tahun di Makkah dijalani dengan sabar, tak buru-buru melawan kezhaliman dengan potensi yang belum terkonsolidasi. Kesadaran ini juga dimiliki oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum.
Simaklah kejeniusan Umar r.a. ketika beliau mengancam kepada Quraisy, “Tunggulah sampai jumlah kami 300 orang, niscaya kalian kami kalahkan.” Meski berani dan garang, Umar tahu berhitung. Muslim di Makkah terlalu sedikit dan tak memiliki basis militer memadai untuk menghadapi Quraisy secara frontal. Umar memahami sepenuhnya seni memantik dan memelihara api. Wallahu a’lam