“SEMAKIN lama semakin jelas terlihat, negara meninggalkan Jemaah Ahmadiyah,” demikian bunyi Tajuk Rencana Majalah Mingguan TEMPO, edisi terbaru, 14-20 Februari 2011. Mungkin, TEMPO hanya ingin menyampaikan pendapat/sikap dan dukungannya pada Ahmadiyah dengan mengatakan, bahwa dilarang sebuah Negara “memusuhi” Ahmadiyah dan/atau haram jika Negara (dalam prinsip demokrasi) terlalu membela mayoritas atau kaum Muslim.
Dalam sikapnya, TEMPO menuduh pemerintah tak berpijak pada konstitusi dan menjamin hak Ahmadiyah. Namun tak satupun tulisan media nasional itu mengatakan juga menjamin hak konstusi mayoritas (kaum Muslim), sungguh tak ada, bahkan satu dua katapun. Bahkan, majalah ini juga agak sinis terhadap Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Sangat disesalkan, pemerintah tidak berpijak pada konstitusi, yang menjadmin hak Ahmadiyah memililih dan menjalankan keyakinannya. Bahkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri –Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Jaksa Agung—tentang Ahmadiyah pada tahun 2008 isinya segendang sepenarian dengan Fatwa MUI, “ tulisnya.
Lebih jauh, TEMPO mengatakan, pemerintah akan terseret terhadap pelanggaran keyakinan orang lain. TEMPO juga mengatakan, pihak manapun tak memiliki otoritas menentukan label Islam atau bukan.
“Pemerintah, MUI, atau lembaga manapun tak memiliki otoritas menentukan label Islam atau bukan Islam bagi Ahmadiyah,” tulisanya.
Dua hal yang bisa saya simpulkan, bahwa, media yang katanya sangat kredibel, dan dianggap media bermutu, rupanya juga bisa tidak adil dan bersikap picik.
Sungguh saya sangat kecewa, mengapa semenjak SMU langganan majalah ini –saya langgakan ketika media ini sempat ditutup ketika menulis kapal bekas dari Jerman—hingga sekarang. Akhir-akhirnya, ini, bahkan saya rasakan, media ini sangat membela paham liberal.
Dengan mengatakan pemerintah bisa terseret pelanggaran (dalam kasus Ahmadiyah) dan mengatakan siapapun tak berhak menentukan label Islam, menunjukkan, bahwa media –sekali lagi, yang katanya sangat sangat sangat kridible ini—telah menyesatkan masyarakat dan menafikkan umat Islam.
Alih-alih melindungi kaum minoritas dan liberal, ia justru mengabaikan hak-hak dan perlindungan kaum mayoritas. Dengan kata lain, TEMPO bahkan menganggap kaum Muslim ini tidak ada sama sekali dan tak perlu ada hak dan pembelaan. Menurut saya, ini media besar macam apa?
Bahkan saya tak melihat kasus seperti ini di negeri-negeri di mana mayoritas Kristen sangat besar, sebagaimana di Amerika atau Eropa, di mana .
Perasaan saya, TEMPO, rupanya ingin semua orang melakukan dan berbuat apa saja, bahkan tak masalah jika seandainya itu “menyakiti” perasaan atau melukai keyakinan mayoritas. Pokoknya, asal jangan minoritas diganggu.
Bahkan dalam kasus penghinaan agama (blasphemy), dalam hukum positif diberlakukan di negeri-negeri Eropa dan Amerika.
Dugaan saya, TEMPO menyarankan kasus-kasus penghinaan agama (blasphemy) seperti ini diselesaikan secara bebas dan langsung oleh masyarakat.
Saya khawatir pendapat TEMPO –yang setengah dipaksakan untuk semua orang ini—meniru cara berfikir orang Barat. Di mana dalam banyak kasus, melarang adanya rasisme tapi di sisi lain ketika yang “dihina” adalah Islam mereka hanya menyebutnya "freedom to speak”. Sangat jelas masalah ini dalam kasus pelecehan Nabi dalam bentuk kartun di Koran Denmark.
Nah, kini sudah jelas bagi semua masyarakat dan kaum Muslim untuk melihat, siapa sesungguhnya TEMPO ini.
Saya juga berpesan kepasa kaum Muslim mulai berfikir-fikir dan menimbang-nimbang, dalam berlangganan media.
Jangan sampai kita keliru, seolah meminum obat kuat setiap saat, tapi lama-lama, yang kita anggap obat itu justru “racun” yang semakin lama jsutru melemahkan organ-organ dalam tubuh kita.
salam
Umiyati
Jakarta