Innalillahi wa inna ilayhi rojiun, ungakapan seperti itulah yang hendak diluapkan saat jenazah Aisyah Fatimah, sang anak berusia 2,5 tahun terbujur kaku karena nyawanya dihabisi oleh ibu kandungnya sendiri. Sungguh, sebuah kejadian yang tak dinyana. Seorang ibu yang semestinya menjaga dan mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang, justru jauh panggang dari api. Ibu DUF, tega melakukan tindak kriminal terhadap buah hatinya.
Yang menambah kemirisan lagi, DUF tidak merasa menyesal terhadap hal keji yang telah dilakukannya. Bahkan Ia malah kecewa karena hanya bisa mengirim satu anaknya saja ke surga (baca: dengan membunuhnya). Nauzubillah. DUF juga memberikan alasan bahwa Ia berbuat hal demikian agar anak-anaknya tidak merasakan beban yang berat di kemudian hari. Sungguh, alasan yang jauh dari keyakinan yang sahih.
Sekularisasi Biang Depresi
Jika ditinjau lebih cermat, kasus pembunuhan terhadap anggota keluarga yang dilakukan DUF menambah panjang rentetan daftar kriminalitas di Indonesia, terutama kasus pembunuhan. Ada banyak alasan yang menghantarkan DUF bisa nekat berupaya terus-terusan menghabisi nyawa kedua anaknya.
Yang pertama, DUF disinyalir tega berbuat hal keji itu karena terkait dengan utang-piutang berupa leasing (kredit sewa). Sistem leasing ini merupakan sistem jual beli kredit dengan dual akad. Hal tersebut mengingat, jika si pembeli tidak mampu membayar cicilan berapa kali, maka barang yang dibeli akan disita oleh pihak penjual. Selain itu, uang cicilan yang telah masuk akan dianggap hangus karena terlambat dalam pembayaran, padahal di dalam Islam tidak dibenarkan melakukan dua akad di dalam satu transaksi.
Yang kedua, diduga bahwa DUF menganut aliran sesat. Aliran yang mengajarkan dengan membunuh anak akan menjadikannya masuk surga dan bahagia di sana. Aliran yang demikian merupakan aliran yang ada untuk mengotori ajaran Islam yang mulia. Sementara Islam mengharuskan kepada penganutnya untuk memahami Islam secara keseluruhan seperti yang terdapat dalam Q.S. Al-Baqoroh:208,, “Hai orang-orang yang beriman masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah. Janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Oleh sebab itu, optimalkanlah proses berpikir saat hendak mengkaji Islam. Apakah ajarannya sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasululloh atau tidak.
Yang ketiga, DUF disangka mengalami depresi karena beban hidup keluarganya yang semakin berat dari hari ke hari. Ia khawatir jika anak-anaknya tetap hidup sementara kondisi keluarganya masih pada taraf ekonomi yang pas-pasan. Hal tersebut juga merupakan dampak buruk dari sekularisasi atau pemisahan agama dari kehidupan. Di mana agama hanya diporsikan pada ibadah ritual saja. Kesenjangan sosial semakin terasa saat sekularisasi diberlakukan dalam semua bidang kehidupan. Pendidikan dan kesehatan mahal, nyawa manusia menjadi terobral, semuanya dibuat seperti barang dagangan bagi masyarakat. Tak heran jika masyarakat yang rapuh iman akan mengalami depresi karena jeratan-jeratan paham ini dalam kehidupannya.
Kembali ke Solusi Islam
Kasus tragis DUF ini adalah kasus yang menguatkan kebobrokan pandangan hidup kapitalisme dengan asas sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Pandangan hidup yang membuat masyarakat semakin rapuh dari segi akidah Islam juga aturan-Nya. Walhasil, tindak kriminal akan semakin meningkat jumlahnya jika ini terus dipertahankan. Oleh sebab itu, kembalilah kepada Islam yang kaffah. Ini karena Islam hadir bukan sebagai agama, tetapi juga sebagai pandangan hidup (way of life). Islam yang mencakup aturan hablu minalloh, hablu minannas, wa hablu minafsi. Islam yang dianut oleh masyarakat dan diterapkan aturannya oleh negara yang satu. Insyaallah memaslahatkan umat dan menjauhkan dari kasus maksiat. Wallohu’alam bi showab.