Baru kemarin rasanya masyarakat Indonesia dibuat haru biru dengan film-film berbau pendidikan. Sebut saja Laskar Pelangi, Negeri 5 Menara, dan yang lainnya. Cerita tentang semangat menuntut ilmu meski dihadapkan dengan kondisi yang berat, begitu menyentuh, rasanya bangga jadi orang Indonesia, “Ini dia generasi negeriku, generasi yang tak kan patah arang mengejar impian”. Tapi ada yang kurang jika tak membahas sosok satu ini. Tokoh pahlawan tanpa tanda jasa dalam dunia pendidikan, ya, dialah guru. Terkadang, bahkan sebagian besar, nyatanya impian yang tergantung setinggi langit itu berasal dari guru. Bapak dan ibu guru.
Tapi mungkin kita harus menyalahkan film. Karena realita justru menampar institusi pencetak generasi ini. Kelakuan bejat beberapa orang yang berprofesi sebagai guru telah menjadi nila yang merusak sucinya tugas mulia. Bayangkan, betapa miris menyaksikan pemberitaan guru yang memperkosa muridnya sendiri. Tega menodai kesucian anak didiknya. Pertanyaannya, kenapa? Kenapa sosok panutan justru sanggup melakukan perbuatan serendah itu?
Demokrasi menuntut pemeluknya untuk menanggalkan agama dari kehidupan bermasyarakat. Agama adalah baju individu, kenakan saat kau di rumah, di masjid, tapi haram jika kau pakai di sekolah, di jalan, di kampus, di kantor, di pasar, atau di gedung DPRD. Maka siapa yang imannya kurang, tak akan takut melakukan maksiat. Termasuk memperkosa. Demokrasi meniscayakan kebebasan sekaligus menjamin kebebasan itu. Tak ada batasan yang jelas antara satu kebebasan dan yang lain, semua sesuai persepsi. Dengan alasan suka sama suka, perzinahan di negeri ini adalah hak.
Di satu sisi, pemerkosaan terhadap anak di bawah umur, adalah sesuatu yang tentu tak bisa dimaafkan. Namun, kita tak bisa menutup mata dari fakta lain, yaitu kemungkinan adanya motif saling suka. Tidak bermaksud justifikasi, tapi yang namanya kemungkinan, tentu selalu ada. Khususnya untuk kasus perkosaan yang dilakukan berulang dengan tempat-tempat yang, bisa dibilang, memang tempat nongkrong. Kejanggalan terasa karena tidak adanya penolakan saat dipanggil, padahal dari segi usia, mereka telah baligh.
Namun, tentulah Allah yang lebih mengetahui. Hanya saja, sepatutnya kondisi ini menyadarkan kita bahwa ada yang salah dengan sistem pergaulan selama ini (ini hanya salah satu saja). Bagaimana tatacara berpakaian yang tak lagi sesuai syariat, justru semakin mengumbar aurat. Bagaimana tayangan-tayangan di tivi pun seringnya mengobral kecantikan fisik, seksualitas, dan lain sebagainya. Dengan lingkaran sistem seperti ini, siapa yang bisa tahan godaan?
Dan akhirnya, kasus guru tadi, mungkin hanya permukaan dari gunung es kejahatan dan pelecehan seksual yang terjadi. Fakta-fakta lain jelas belum terungkap dan jumlahnya lebih besar lagi. Hari ini dengan demokrasi, siapa yang bisa menyangkal? []
Arini, Mahasiswi Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Semester 8.
Hp. 0852 1094 2539. Email: [email protected]