Apa yang disampaikan oleh Busyro Muqoddas (Wakil Ketua KPK) bahwa, “akar korupsi adalah kehidupan rumah tangga yang bermasalah” dinilai oleh beberapa kalangan adalah sebuah kesimpulan dangkal atau salah arah atas virus korupsi yang menjangkiti hampir semua lini negara ini. Kesimpulan ini merupakan buah dari hasil penelitian yang dilakukan oleh KPK terkait akar masalah korupsi. Dimulai dari keluarga yang tidak menanamkan nilai-nilai keikhlasan dalam bekerja dan tidak mendasarkan niat bekerja pada pencarian uang yang halal, tayyiban. Namun faktanya, tidak semua pelaku korupsi mempunyai keluarga bermasalah yang terus mendorong sang suami atau istri melakukan tindak korupsi. Terlebih banyak juga yang telah menanamkan nilai-nilai keikhlasan dalam bekerja namun tetap saja korupsi.
Ambil contoh skandal kolusi beberapa tahun terakhir , kita tentu semua tahu bagaimana keluarga mereka, beberapa diantaranya berlatar belakang mantan aktivis ormas dan partai Islam. Apakah benar tidak ada penanaman keikhlasan dalam bekerja pada mereka ? Ataukah keluarga mereka termasuk bermasalah? Tentu hal ini menjadi sebuah paradoks bukan? Bagaimana bisa dalam keluarga yang notabene Islam dan termasuk orang yang paham, ternyata juga korupsi? Benarkah keluarga menjadi cikal bakal tumbuh dan merebaknya korupsi di negeri kita ini?
Konsep rizki yang sesungguhnya
Keluarga dalam Islam sebenarnya dinilai sebagai bagian penting dalam proses terbentuknya sebuah perubahan di masyarakat. Karena dari keluaga inilah, generasi-generasi pilihan akan lahir. Selain itu. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menentukan visi dan misi dalam pembentukan keluarga. Tidak hanya sekedar berstatus suami dan istri tanpa mempunyai ruh dan tujuan perjalanan pernikahan. Namun lebih dari itu, keluarga muslim harusnya mempunyai idealisme mengakar sebagai prinsip mengatur langkahnya, termasuk dalam hal ini konsep rizki.
Dalam Islam, rizki merupakan sesuatu yang ada dalam kekuasaan Alloh Subhanahu Wata’ala. Manusia hanya diberi kewenangan untuk berusaha dan berdoa. Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an : Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki. [QS.Al-Jumuah :10-11].
Di ayat yang lain “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” [QS.Al-Baqarah:188]
Jadi dalam hal ini, sudah jelas bahwa Alloh Subhanahu Wata’ala hanya ridho dengan rizki yang halal baik cara perolehannya sekaligus benar niatnya. Dan keluarga yang memahami konsep ini hnyanyalah keluarga yang menanamkan prinsip-prinsip Islam melalui proses edukasi dan penerapannya.
Terjebak sistem
Jika kita menilik lebih jauh, keluarga yang mendorong tumbuh sumburnya keinginan korupsi hanyalah satu dari banyak akibat yang ditimbulkan sebagai dampak dari sistem Demokrasi-Kapitalisme. Sistem Demokrasi yang memang sangatlah mahal membuat para calon pejabat harus membayar mahal untuk dapat duduk pada tahta jabatan. Berbagai macam cara dari yang biasa sampai tidak biasa pun acapkali di lakukan. Semata-mata mengejar keinginan. Termasuk dalam hal ini menghamburkan uang sebanyak-banyaknya guna meraih suara terbanyak. Nyatanya, hidup bergelimang harta jauh lebih menggiurkan walau harus melalui korupsi setelah jadi pejabat.
Maka sudah menjadi barang yang “lumrah” apabila setelah berhasil menduduki jabatan, mereka pun berlomba-lomba pula untuk mengambil keuntungan dan pemulihan atas pengeluaran sebanyak-banyaknya dan bahkan membuang jauh-jauh konsep rizki yang notabene “mungkin” sebenarnya sudah mereka ketahui.
Solusinya
Tidak ada penawaran lain dalam solusi masalah ini. Karena sebaik apapun keluarga yang terbentuk. Namun bila masih dalam kubangan Demokrasi, dan ketika mereka ingin menjadi pejabat yang otomatis masuk lebih dalam pada sistem, mau tidak mau mereka juga akhirnya terjebak sistem dan mengikuti arus. Jadi solusi dalam masalah ini, tidak lain dan tidak bukan. Upayakan sekuat mungkin mengganti sistemnya dengan Sistem Islam secara penuh yang akan insyaAllah membawa rahmat terhadap negeri ini . Wallohu’alam.
Khalifa Al-Akhrasy
Anggota “Belajar Nulis”