Bagaimana kita membaca dan menafsirkan reuni atau temu kangen para alumni 212 di Monas, Sabtu (2/12).
*Pertama,* besarnya massa yang hadir di Monas menunjukkan soliditas muslim di perkotaan ternyata tetap terjaga. Dinamika politik yang terjadi dalam kurun waktu setahun terakhir, termasuk perpecahan koalisi PKS-Gerindra di Pilkada Jawa Barat, ternyata tidak berpengaruh. Mereka masih tetap kompak.
Ketika seruan tiba, mereka berbondong-bondong memenuhi panggilan dan kembali membuat lapangan Monas menjadi lautan putih. Suasananya seperti jemaah haji yang bergerak menuju Ka’bah sambil menyeru Labaik, Allohuma Labaik…..Bikin merinding, kata mereka yang hadir.
Banyak diantara yang hadir ternyata sudah lama menanti-nantikan pertemuan semacam itu. Kata orang Jawa ngangeni.
Bagaimana tidak kangen? Aksi 212 menunjukkan bahwa umat Islam Indonesia bisa bersatu, tanpa memandang perbedaan-perbedaan kecil yang sering disebut sebagai khilafiyah. Perbedaan pilihan partai politik juga dikesampingkan untuk sebuah tujuan yang lebih besar.
*Kedua,* umat Islam bukanlah buih seperti banyak digambarkan oleh beberapa pihak yang sinis, termasuk dari kalangan internal sendiri. Terbukti ketika mereka bersatu figur sekelas Ahok yang ditopang oleh pendanaan besar, kekuatan politik besar, bisa dikalahkan.