Oleh Hartono Ahmad Jaiz – Wartawan dan Penulis Buku-buku Islam
KATANYA bangsa Indonesia sudah merdeka 61 tahun, dan biasanya di bulan Agustus ada perayaan kemerdekaan dengan hingar bingar di sana-sini. Perwakilan Indonesia di luar negeri pun merayakannya.
Di balik perayaan dan hingar bingar itu, apakah sebenarnya bangsa Indonesia ini sudah merdeka? Merdeka yang mana? Penjajahan secara serempak justru berlangsung dengan biaya yang sangat besar. Biaya penjajahan itupun dipikul oleh rakyat yang dijajah itu sendiri. Ini yang berlangsung. Aneh.
Untuk dijajah saja harus mengeluarkan dana kepada penjajahnya. Apakah di dunia ini sudah tidak ada penjajah yang “tulus ikhlas” menjajah dengan dana dari penjajah itu sendiri, kok harus didanai oleh manusia-manusia yang dijajah?
Dan kalau sebenarnya masih ada penjajah yang “tulus ikhlas” dengan modalnya sendiri, tapi yang menjajah bangsa Indonesia itu justru mendapat dana dari orang yang dijajah, itu berarti penjajahnya sangat canggih. Penjajah di atas penjajah. Menang dalam bersaing.
Belum tentu juga. Belum tentu, karena menang bersaing atau karena sangat canggih. Mungkin karena pihak yang dijajah sudah terlalu lelah, atau terlalu lengah, atau bahkan tidak merasa kalau dijajah. Bahkan penjajahnya pun mungkin tidak merasa kalau menjajah. Karena terlalu asyiknya dalam menikmati hasil jajahannya.
Atau terlalu asyik dalam berebut jajahan.Kok bisa begitu? Ya. Karena, sebagaimana dijelaskan Allah swt, ada orang-orang yang kerjanya merusak, namun ngakunya membangun, dan tidak sadar kalau mereka sebenarnya merusak. Ayatnya:
011 وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
012 أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ
013 وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ أَلا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَكِنْ لا يَعْلَمُونَ
014 وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
015 اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.”Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.
Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman”, mereka menjawab: “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu.Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman.”
Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok”.
Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. (QS Al-baqarah/ 2: 11, 12, 13, 14, 15).
Orang-orang jenis itu senantiasa berkelit. Kerjanya merusak, baik secara fisik maupun secara rohani. Lebih canggih dari itu, ketika sikap munafik yang sudah sangat dibenci oleh Alloh swt ini justru menjadi sistem disuatu komunitas besar yang disebut negara, dan dioperasikan secara nasional oleh pemerintahan.
Berarti merupakan pemerintahan munafik. Pada hakekatnya merusak secara fisik dan secara rohani, namun alasannya adalah membangun. Aset-aset negara dijual, hutan-hutan digunduli, pajak ditinggikan, tetapi bagaimana caranya kalau untuk pabrik kelompoknya maka agar tidak terkena pajak, misalnya.
Malah pernah ada menteri Orde Baru yang memasyarakatkan kondom (alat kontrasepsi) dari pabrik anak pejabat, upacaranya di departemen dan tenaga-tenaganya adalah pegawai negeri tetapi urusannya adalah kepentingan pabrik perorangan.
Lalu menteri itu saya desak, kenapa dilakukan begini; lalu dia jawab, karena saya disuruh Pak Harto! Pasar-pasar yang untuk masyarakat kecil dikikis agar diganti oleh pemodal-pemodal besar hingga pedagang kecil meringis; perkampungan-perkampungan yang masyarakatnya muslim taat lalu digusur dengan aneka cara, diganti dengan perkantoran-perkantoran pemodal besar yang di sana tidak ada lagi peribadahan.
Kalau masih ada tempat sholatnya, maka ditaruh di ruang sempit dekat kakus di ujung tempat parkir. Ini penggusuran secara fisik sekaligus menghabisi Islam.Dengan aneka cara, madrasah-madrasah yang mengajari anak bangsa agar kenal Islam dibunuhi.
Digalakkan lah SD-SD Inpres, dan punggawa desa lalu menakut-nakuti rakyat, supaya masuk ke SD-SD Inpres itu, maksudnya agar madrasah-madrasah mati. Ketika madrasah-madrasah masih bisa berlangsung di sore hari, maka diadakanlah aturan untuk mematikan madrasah sore, dengan cara jam pelajaran diperpanjang sampai agak sore, atau diadakan les-les sore; agar murid-murid tidak bisa lagi sekolah madrasah sore.
Masih ada yang sekolah madrasah sore lagi, maka dipepetkan lagi, dengan cara tidak diadakan lagi guru-guru madrasah, dengan alasan, sekolah swasta harus mandiri. Jadi guru negeri hanya untuk sekolah negeri.
Maka akhirnya sekian ribu madrasah swasta tidak ada gurunya, matilah madrasah-madrasah swasta se-Indonesia, kecuali yang hidup segan mati tak hendak. Sempurnalah perusakan bangsa secara fisik dan rohani dengan sistematis.
Dan itu dengan biaya dari rakyat atau bangsa itu sendiri. Itulah penyelenggaraan sistem munafik yang slogannya seakan agamis, dengan dasar sila pertamanya, Ketuhanan Yang Maha Esa, namun pada dasarnya membunuhi Islam.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqoroh ayat 11-15 itu digambarkan lakon orang, tetapi di bumi ini diujudkan melalui sistem. Itulah penjajahan yang sangat canggih: secara fisik dan rohani, masih pula atas biaya pihak yang djajah.
Merdeka yang mana?
Anak-anak yang sudah dikekang agar tidak bisa masuk madrasah itu dengan serempak secara nasional dimusyrikkan, dan memakai biaya dari para orang tuanya, lewat pendidikan nasional. Anggaran pendidikan nasional itu paling besar di antara anggaran APBN.
Dan itu untuk pemusyrikan umum secara nasional. Padahal musyrik saja, secara perorangan, itu sudah merupakan dosa tertinggi, tidak diampuni oleh Allah, apabila mati dalam keadaan musyrik dan belum bertobat.
Tetapi di negeri yang telah merdeka 61 tahun ini justru dilangsungkan pemusyrikan umum, lewat pendidikan nasional, di samping lewat pemerintahan daerah yang kini dengan otonomi daerah, mereka secara resmi mengadakan pemusyrikan umum.
Bahkan digalakkan pemusyrikan umum, seperti sedekah bumi, pesta laut, larung laut; dengan aneka sesaji untuk syetan. Alasannya adalah bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di sini lafal Tuhan Yang Maha Esa (dari sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa) telah menjadi simbol syetan, karena yang dimintai berkah adalah apa yang mereka anggap sebagai penjaga laut, misalanya kepercayaan legende/ mitos, Nyai Roro Kidul, yaitu kepercayaan terhadap syetan.
Bukan hanya Pemerintah-pemerintah daerah yang menggalakkan kemusyrikan dengan aneka upacara model animisme primitif yang sudah diberantas oleh para ulama. Bahkan DPRD yakni wakil-wakil rakyat di daerah, bahkan dari partai Islam sekalipun, seperti PKS, PAN, PPP (walau tidak mengaku partai Islam tetapi dari basis umat Islam), mereka mengadakan upacara kemusyrikan pula.
Contohnya, DPRD Bantul (selatan Jogjakarta), begitu mereka diresmikan sebagai DPRD hasil pemilu 2004, maka mereka mengadakan upacara kemusyrikan yang dinamakan Larung Buto ke laut selatan.
Dengan demikian, tatkala kemudian Allah swt menimpakan gempa di Bantul bulan Mei tahun 2006, seharusnya manusia-manusia yang telah mengadakan upacara resmi kemusyrikan yang menentang Allah swt ini mestinya sadar dan bertobat.
Tetapi justru bertambah-tambah lagi meratanya kemusyrikan. Bukannya sadar dan kembali kepada Allah swt, namun justru lebih kental kemusyrikannya secara lebih merata. Kabarnya ada yang pasang janur (pucuk daun kelapa yang masih muda), ada yang menanam duit krincing 100 rupiah bergambar gunung, dipendam sebagai tumbal.
Astaghfirulloh… kemusyrikan dilanjutkan dengan kemusyrikan lagi secara memasyarakat.
Anak-anak Sekolah Dididik Musyrik
Bagaimana mereka bisa sembuh dari kemusyrikan, karena justru sistemnya ini sendiri yang membentuk ke arah itu. Bahkan lebih dari itu, lewat jalur pendidikan nasional, anak-anak kita dibentuk untuk jadi orang-orang musyrik secara nasional, dan dibiayai oleh bangsa ini sendiri, dengan biaya tinggi.
Buktinya, coba kita baca sejenak, buku pelajaran berjudul Buku PPKN 6a, karangan Drs Enco Sartono dan Drs R Suharsanto, diterbitkan oleh Yudhistira, Jakarta, untuk kelas 6 SD semester pertama:
“Masih banyak seni dan budaya tradisional yang berkembang di Indonesia.
Misalnya, para petani mempunyai kebiasaan untuk melakukan upacara panen padi. Upacara tersebut sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hasil panennya baik.
Pesta adat lainnya yang berkembang di pesisir, misalnya pesta laut yang diselenggarakan oleh para nelayan. Dalam melaksanakan upacara tersebut pelaku upacara mengenakan pakaian adat. Begitu pula berbagai sesaji khas yang ada dalam upacara tersebut.
Keragaman pakaian adat dan pesta tradisional juga merupakan kekayaan budaya bangsa Indonesia. .Kita mempunyai kewajiban untuk memupuk dan melestarikan budaya daerah.“
Itulah bukti nyata pemusyrikan umum secara nasional.
Upacara-upacara adat pakai sesaji itu jelas kemusyrikan. Para ulama telah memberantasnya, karena upacara-upacara adat dengan sesaji itu adalah ritual penyembahan syetan, ya itulah kemusyrikan yang nyata.
Tetapi di Indonesia ini, sejak anak-anak duduk di bangku sekolah dasar sudah diajari bahkan diwajibkan untuk menjadi orang musyrik, dengan cara diberi pelajaran tentang kemusyrikan itu, lalu diwajibkan untuk memupuk dan melestarikannya.
Pencopotan Tauhid secara nasional ini, lebih dahsyat dibanding sekadar penjajahan fisik oleh Belanda dan lainnya selama 350 tahun. Ini penjajahan yang sangat memporak-porandakan masyarakat, baik di dunia maupun apalagi di akherat.
Di dunia, mereka menjajah dengan mengadakan sistem yang sifatnya seperti dikecam dalam surat Al-Baqoroh ayat 11-15 tersebut, dan itu atas biaya masyarakat atau rakyat. Sedang biaya tinggi itu hanya untuk memasukkan anak-anak kita ke neraka di akherat.
Betapa mengerikannya ini.Anak-anak sekolah digarap untuk menjadi generasi musyrik yang sangat dimurkai Allah swt seperti itu.
Di masyarakat, para punggawa daerah, bahkan DPRD juga, mereka menggalakkan upacara-upacara adat kemusyrikan. Lewat dinas pariwisata dan atas nama otonomi daerah, dengan alasan untuk menggalakkan wisata, maka upacara-upacara adat yang jelas-jelas syirik (menyekutukan Allah swt dengan lainnya) digalakkan dan diada-adakan.
Bahkan kemungkinan sampai menekan masyarakat. Misalnya, konon sebagian daerah ada yang mengancam, bila ada nelayan yang tidak mau ikut upacara laut (yang tentu saja penuh kemusyrikan) maka dikenai ancaman.
Mungkin bisa-bisa dikucilkan, dipersulit, atau bahkan kapalnya diancam untuk dibakar, misalnya. Ini berarti kemusyrikan bukan sekadar tumbuh, tetapi disemarakkan, bahkan dipaksakan.
Padahal, seharusnya kemusyrikan itu harus diberantas sampai tuntas, agar murka Alloh swt tidak ditimpakan, dan kelak tidak masuk neraka selama-lamanya di akherat.
Kalau anak sekolahnya sudah dimusyrikkan dan itu pakai biaya dari para orang tua itu sendiri, sedang masyarakat juga dimusyrikkan bahkan kadang dipaksa untuk ikut upacara kemusyrikan, maka penjajahan model ini nilai jahatnya lebih jauh tinggi dibanding penjajahan fisik.
Kalimat ini sama sekali bukan menyanjung adanya penjajahan fisik. Tetapi kejahatan penjajahan yang amat tinggi ini kenapa diatas-namakan sebagai mengisi kemerdekaan, dan atas nama membangun masyarakat.
Itu masalahnya. Sadarlah wahai para penjajah, dan sadarlah para orang yang dijajah. Hidup ini, manusia hanyalah ditugaskan untuk menghamba, mengabdi, beribadah kepada Allah swt.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
(QS Adz-dzariyat/51 :56).
Bila kita punya kuasa, maka arahkanlah manusia agar penyembahannya kepada Allah swt itu benar.
Sehingga kita mendapat pahala dari apa yang kita perbuat, dan mendapatkan pahala pula dari orang yang berbuat baik lantaran petunjuk kita, tanpa mengurangi pahala mereka. Itu terdapat dalam hadits yang shohih. Sebaliknya, sadarlah.
Bila kita menjerumuskan manusia ini ke penyembahan syetan, atau kemusyrikan, atau kejahatan lainnya, maka kita sendiri sudah mendapatkan dosa, masih pula mendapatkan tambahan dosa dari orang-orang yang kita jerumuskan itu, tanpa mengurangi dosa mereka. Betapa beratnya.
Maka ma’qul alias masuk akal lah kalau penghuni-penghuni neraka itu tidak sedikit yang kekal di dalamnya. Karena memang tingkat kejahatannya tidak bisa kita hitung lagi. Bayangkan kalau memusyrikkan jutaan orang secara sistematis.
Nanti yang dimusyrikkan itu kemudian beranak pinak lagi, mereka musyrik lagi dan seterusnya, dan itu atas upaya dari kita asalnya, betapa dahsyatnya. Tidak bisa dihitung lagi kejahatannya secara bersambung-sambung.
Sadarlah. Enaknya di dunia ini hanya seberapa, tetapi siksanya di akherat kelak tidak ada habis-habisnya. Menyesal dahulu pendapatan, menyesal kemudian tak berguna, kata pepatah. Inilah ungkapan yang bisa diungkapkan secara sederhana, yaitu: Merdeka yang mana?
Orang sampai berlindung didalam kamar-kamar terkunci pun masih diburu dan dijajah, untuk dicopot imannya dan dilepas akhlaq, moral, dan etikanya.
Dari dada yang berisi keimanan Tauhid, digerayangi untuk diganti menjadi syirik. Dari akhlaq yang fitri insani, berakhlaq mulia dan terpuji, digerayangi di kamar-kamar dengan aneka tayangan yang mencopotnya dengan menggantinya pakai moral binatang yang tak tahu malu.
Imannya sudah dicopoti, akhlaqnya sudah dilucuti, tinggallah manusia-manusia yang dijajah ini sebagai sosok-sosok yang jauh dari iman, dan bermoral binatang.
Terkutuknya orang Yahudi Bani Israel karena penentangannya terhadap aturan Allah swt hingga diubah menjadi babi dan kera, masih tersurat nyata dalam Kitab Suci Al-Qur’an sebagai peringatan.
Namun kini upaya untuk menjadikan manusia ini jadi babi dan kera justru digalakkan secara seksama, atas biaya kita semua. Majalah atau bacaan porno pun terbit di sini dan beredar di mana-mana.
Akankah pencopotan iman dan pelucutan akhlaq ini kita lanjutkan bersama? Hingga para orangtua yang masih ada imannya di dada sangat sesak nafas, karena keluarga, anak-anak dan cucunya walau berada di dalam rumah pun digarap secara sistematis oleh tayangan-tayangan yang mencopot iman dan akhlaq setiap saat.
Lantas, merdeka yang mana, bila hanya untuk bernafas lega saja sudah tidak ada tempatnya lagi, wahai saudara-saudaraku?
Jakarta, Rabu 15 Rajab 1427H/ 9 Agustus 2006.
Hartono Ahmad Jaiz