Eramuslim.com – Di hari lebaran Jumat, 1 September lalu, adalah hari yang cukup padat bagi saya. Jam 5:30 mengisi pengajian singkat tentang adab-adab Idul Adha. Pukul 8 pagi memberikan ceramah umum di hadapan jamaah Idul Adha Jamaica Muslim Center, yang dihadiri tidak kurang dari 10.000 jamaah. Lalu jam 9 menyampaikan khutbah Idul Adha di masjid Al-Hikmah, masjid milik warga Indonesia di kota New York. Lalu segera setelah melaksanakan Idul Adha, saya melanjutkan kegiatan di daerah WTC, yang saat ini lebih dikenal dengan 9/11 Memorial museum, di kawasan Downtown New York.
Acara di gedung WTC ini sesungguhnya sudah merupakan rangkaian dari peringatan terjadinya serangan terror ke kota New York sekitar 16 tahun silam. Di sinilah kehebatan Amerika dalam membangun imej dan mempromosikan apa yang dianggap memberikan keuntungan bagi negara dan bangsa ini. Kehebatan Amerika ini menjadikan peristiwa 9/11 tidak saja menjadi seolah ritual tahunan, bahkan tempat kejadiannya (daerah WTC) menjadi destinasi turis yang dikunjungi oleh puluhan juta manusia salam setahunnya. Menurut perugas musium WTC kemarin, ada 36 juta pengunjung hanya dalam tahun 2016 lalu. Dengan harga tiket masuknya sebesar $30, silahkan dikalikan. Tapi yang terpenting dari semua itu adalah peristiwa 9/11 telah dijadikan sebagai “justifikasi” awal peperangan kepada terorisme internasional (war against international terrorism). Dan karena Islam yang tertuduh di saat peristiwa itu terjadi maka peperangan kepada teror dunia juga tidak terlepas dari peperangan kepada apa yang disebut “radical Islam”.
Kembali ke acara yang disebutkan di atas, dihadiri oleh para calon pendeta Katolik (seminarian), dengan tiga pembicara; saya sendiri mewakili komunitas Muslim, Rabbi Joseph Potasnik (Ketua Dewa Rabbi Yahudi New York) dan Kepala Pemadam Kebakaran kota New York di saat peristiwa 9/11 itu terjadi. Yang bertindak sebagai moderator adalah Bishop Massa, yang menjadi koordinator kedatangan Pope Francis ke kota Bew York tahun lalu.
Acara diskusi yang dimoderatori (moderated discussion) ini dimulai dengan pertanyaan kepada semua narasumber tentang pengalaman pribadi di saat tragedi 9/11 terjadi. Kepala pemadam kebakaran NY Cassano bercerita panjang lebar bagaimana para anggota pemadam kebarakan berjuang menyelamat nyawa manusia ketika itu. Mendengarkan itu saya kembali membayangkan di saat kejadian hari itu. Bagaimana kepanikan yang terjadi di kota New York saat itu, ditopang oleh kemajuan media dan informasi menjadikan peristiwa itu tidak saja menggoncang Amerika. Tapi sekaligus menggoncang dunia, bahkan menjadi pewarna hubungan antar manusia (human relations) dunia.
Saya lalu terpikir kalau saja peristiwa yang menimpa Amerika di tahun 2001 dan menelan hampir 3000 nyawa manusia itu terjadi di sebuah negara Islam, entah apakah akan seheboh dengan tragedi 9/11 itu?
Saya diingatkan oleh puluhan ribu, bahkan barangkali ratusan ribu jiwa rakyat sipil yang terbantai di Irak, afghanistan, dan negara-negara Muslim lainnya. Tapi tragedi yang menimpa mereka tidak seheboh seperti apa yang terjadi di bulan September 2001 lalu. Bahkan saat ini pembataian yang terjadi di salah satu negara mayoritas agama yang dicap sebagai agama “non violent” (tanpa kekerasan), agama yang mengajarkan kesejukan dan penghormatan kepada kehidupan. Agama yang menghormati nyawa makhkuk, bahkan nyawa hewan sekalipun. Yaitu agama Buddha di Myanmar. Tapi pembantaian dan kekerasan yang dialami oleh masyarakat Rohingyah itu tidak menjadikan dunia heboh. Bahkan cenderung dunia yang kerap mengaku sebagai pahlawan HAM dan kemanusiaan itu semua diam membisu.
Saya sendiri mendapat pertanyaan yang cukup mengejutkan dan menyudutkan, sekaligus menggambarkan kekurang jujuran. Pertanyaan itu adalah kenapa dalam tahun-tahun terakhir umat Islam semakin banyak yang menjadi radikal (radicalized)? Dan bagaimana sesungguhnya Islam memandang radikalisme? Menentangkah? Atau apakah memang ada justifikasi (pembenaran) radikalisme dari teks-teks agama (religious texts)?
Terus terang pertanyaan seperti ini bukan baru bagi saya. Seringkali di berbagai acara saya mendapatkan pertanyaan yang sama, entah memang untuk tujuan mendapatkan klarifikasi. Atau sebuah pertanyaan dengan tujuan menyudutkan, seolah Islam itu memang demikian.
Oleh karenanya sambil menarik nafas panjang saya memberikan jawaban singkat sebagai berikut:
Satu, mengajak semua pihak untuk sadar sejarah. Bahwa dalam sejarah perjalanan dunia ini, tidak satu pun kelompok manusia yang bisa melepaskan diri dari fase-fase kelam dalam sejarahnya. Tidaklah saya ingkari jika saat ini banyak kejadian-kejadian kekerasan melibatkan orang-orang yang beragama Islam. Tapi apakah dengan itu kelompok lain melupakan sejarah bahwa komunitas mereka pernah juga menjadi pelaku, bahkan lebih buruk dari apa yang melibatkan komunitas Muslim saat ini. Bahkan hingga detik ini, kekerasan-kekerasan di dunia, bahkan di Amerika sendiri, dilakukan mayoritasnya oleh non Muslim. Saya kemudian memberikan contoh-contoh konkrit, termasuk sekali lagi peristiwa pembantaian komunitas Muslim di Myanmar dan Bosnia, bahkan apa yang dialami minoritas di Amerika saat ini. Saya juga sempat menggelitik memori mereka dengan penjajahan dunia barat di Asia dan Afrika.
Dua, pertanyaan ini seolah menuduh jika kekerasan-kekerasan atau teror itu mendapat justifikasi agama dalam Islam. Seolah sumber-sumber keagamaan (religious texts) Islam membenarkan semua itu. Saya mengingatkan bahwa di semua agama-agama ada teks-teks suci (holy texts) yang cenderung membenarkan pertumpahan darah. Saya mengistilahkah ayat-ayat itu dengan “bloody verses”. Dan oleh karenanya diperlukan pemahaman yang komprehensif, tidak sepotong-sepotong, apalagi dipahami di luar konteks yang benar. Yang pasti dalam Islam, bahkan ayat-ayat perang sekalipun tidak dimaksudkan untuk tujuan teror dan pembunuhan kaum sipil. Perang dalam Islam bersifat defensif, sekaligus diikat oleh etika yang tinggi. Singkatnya dalam perang sekalipun, rakyat sipil harus mendapat perlindungan. Oleh karenanya pertanyaan tentang justifikasi Islam terhadap teror adalah “out of context” (tidak pada tempatnya).
Tiga, dalam peristiwa 9/11 di tahun 2001 lalu, komunitas Muslim justeru kelompok yang paling menderita (korban). Untuk Muslim Amerika, selain karena kita adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa ini dan karenanya merasakan apa yang dirasakan oleh semua orang. Tapi yang lebih berat karena kita cenderung dituduh atau dicurigai sebagai pelaku. Akibatnya kita mengalami berbagai bentuk kekerasan dan diskrikiminasi pasca 9/11 itu. Baik di lapangan maupun di level kebijakan pemerintahan saat itu. Oleh karenanya jangan kiranya kami dipandang pengecualian ketika kita mengingat hitam kelamnya peristiwa 9/11 itu.
Banyak poin-poin lainnya yang saya sampaikan di acara dialog tersebut. Tapi pada intinya menyampaikan bahwa masanya kita semua move on dan merubah cara pandang (mindset) kita dalam melihat komunitas lain di sekitar kita. Apa yang kita simpulkan kemarin tentang orang lain belum tentu sesuai jika kita berani melakukan “klarifikasi” dan berani keluar dari zona nyaman (confort zone) kita.
Saya menutup jawaban saya dengan ayat Al-Quran: “wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki dan seorang wanita. Lalu menjadian kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Sesungguhnya yang terbaik di antara kamu di mata Tuhan adalah yang paling bertakwa”.
Maka tanggung jawab kita masing-masing adalah meyakinkan diri untuk membangun ketakwaan itu, baik pada tataran individu maupun pada tataran kehidupan kolektif kita. Pada tataran individu in tentu masing-masing agama punya jalannya, dan itu adalah pilihan masing-masing. Dalam bahasa Al-Qur’an disebutkan: bagimu agamamu dan bagiku agamaku.
Tapi pada tataran kolektif, seringkali kita memiliki komonalitas (common platform) yang kuat. Semua kita ingin keadilan, kedamaian, kemakmuran dan kebahagiaan.
Mari kita berfastabiqul khaerat (berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan).
New York, 1 September 2017
* Penulis: Shamsi Ali (Presiden Nusantara Foundation di New York)