Dari uraian di atas, maka, secara hukum, dilihat dari aspek hukum perdata dan hukum acara perdata PTPN VIII keliru dan tidak memiliki alasan hukum untuk meminta pihak HRS Mengosongkan lahan tersebut. Kecuali ada putusan pengadilan Yang berkekuatan tetap yang memutuskan bahwa kedudukan Pihak Pesantren/HRS sebagai pembeli beritikad baik dibatalkan. Dengan kata lain, Somasi tersebut prematur serta salah pihak.
Dari aspek hukum pidana, pihak PTPN VIII harus menyadari bahwa posisi hukumnya saat ini adalah ada sengketa kepemilikan antara PTPN VIII dengan HRS.
Sengketa itu berdiri di atas klaim Yang sah. PTPN mengaku itu tanah merupakan bagian dari HGU miliknya, dan Pihak Pesantren/HRS mengaku itu juga miliknya yang diperoleh secara sah dan halal dari pihak Yang mengaku sbg pemilik tanah tersebut.
Berdasarkan ketentuan pasal 81 Kitab Undang undang Hukum Pidana, penyidik tidak dapat melakukan proses pidana dengan tuduhan menguasai hak orang lain, sebelum ada keputusan hukum yang menyatakan tanah itu milik siapa.
Dan harus diingat, pihak PTPN VIII juga bisa menjadi pihak yang potensial tertuduh bila terbukti telah lalai menjalankan kewajibannya menjaga serta memelihara aset negara sehingga dikuasai pihak lain bahkan mengalihkannya kepada pihak lainnya, dalam hal ini pihak pesantren/HRS.
Begitulah saya memandang kasusnya menurut hukum perdata, hukum acara perdata dan hukum pidana khususnya pasal 81 KUHP.
Ini bila kita sepakat bahwa ini masalah hukum dan akan diselesaikan menurut hukum.
Selain kita juga tahu siapa pihak yang mestinya dikejar oleh PTPN VIII secara hukum, ternyata bukan Pesantren/HRS.
Bila bukan lewat mekanisme hukum, tentu itu jadi aneh dan luar biasa. (FNN)
Penulis adalah praktisi hukum.