eramuslim.com
PTPN VIII vs Pesantren Agrokultural Markas Syariah (HRS) sebuah pendekatan Normatif.
by Maiyasyak Johan
Somasi PTPN VIII kepada pihak Pesantren Agrokultural markas Syariah (HRS), telah membuat masyarakat luas tersentak – dan setuju atau tidak, pendekatan politik pun tak terhindarkan.
Terlepas dari itu semua, secara formal hingga saat ini Indonesia masih merupakan negara hukum, karena itu kita harus melihat sengketa antara PTPN VIII dengan Pihak Pesantren ic HRS dari sisi hukum.
Dari aspek hukum perdata, kedudukan dari Pihak Pesantren/HRS bisa disebut sebagai “Pihak pembeli yang beritikad baik”. Dikatakan sebagai pihak pembeli yang beritikad baik karena peralihan hak dari pihak yang mengaku sebagai pemilik. Dan itu sudah berlangsung lama, setidaknya sejak transaksi peralihan hak dari yang mengaku sebagai pemilik dengan pihak Pesantren/HRS. – sementara pihak PTPN VIII menjelaskan sejak tahun 2013. Yang membuat publik bertanya adalah dari tahun 2013 hingga saat ini, terutama ketika bangunan fisik pesantren dilakukan pihak PTPN di mana?
Pertanyaan ini mengajak kita mundur ke belakang, sejak tahun berapa pihak-pihak yang menjual tanah tersebut kepada pihak pesantren/HRS menguasai tanah tersebut?
Bisa jadi tanah itu merupakan HGU dari PTPN – tetapi telah ditelantarkan dan dikuasai oleh masyarakat termasuk beberapa pejabat. Dan pihak pesantren/HRS membeli dari mereka. Secara teoritis dan normatif di sini ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama bahwa komplain pihak PTPN VIII telah lewat waktu (kadaluwarsa); kemungkinan kedua, menurut hukum acara seharusnya pihak PTPN VIII mengajukan komplain baik pidana atau perdata kepada pihak yang menjual tanah tersebut kepada pihak pesantren/HRS. Karena pihak pesantren/dengan diketahui semua aparat dari mulai kepala desa hingga gubernur membeli tanah tersebut dari pihak lain, yang mengaku dan menerangkan tanah tersebut miliknya. Pengakuan itu dibenarkan oleh pejabat-pejabat yang terkait yang mengetahui dan memproses administrasi peralihan hak atas tanah tersebut.