Beginilah apesnya kalau punya presiden yang juga sekaligus ketua umum parpol. Adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden Republik Indonesia yang juga menjadi Ketua Umum Partai Demokrat (PD). Kadang (sering?) sang presiden tidak bisa (tidak mau?) berperan sebagaimana seharusnya.
Contoh paling anyar adalah ketika nyaris seantero rakyat Indonesia diterjang bencana, lha kok SBY tidak kunjung tampil sebagai Presiden yang memimpin negara besar dengan penduduk sekitar 240 juta jiwa. Untuk sekadar bicara, apalagi mengunjungi korban bencana, sang presiden sepertinya emoh. Bahkan khusus korban bencana letusan gunung Sinabung, Sumatera Utara, mereka harus menunggu sekitar enam bulan untuk dikunjungi kepala negaranya. Harapan itu bukanlah harapan bisu. Pasalnya, media cetak dan online, juga televisi, sudah memberitakan betapa rindunya korban Sinabung dengan presidennya. Namun, hingga artikel ini ditulis, sang presiden yang memperoleh suara hampir 60% pemilih belum juga menampakkan batang hidungnya di hadapan rakyat yang amat mencintainya. Hemm…
Akhir pekan silam publik justru disuguhi berita SBY terbang ke Bali. Kali ini jenderal purnawirawan lulusan AKABRI terbaik 1973 itu berperan sebagai Ketua Umum PD. Dia ternyata lebih memilih ngelencer ke Bali untuk membuka konsolidasi akbar Partai Demokrat di Pulau Bali, Ahad, 19 Januari 2014. Menurut politikus Partai Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin, dalam konsolidasi di Bali SBY memberikan pencerahan bagi kader Demokrat soal strategi menang pemilu 2014.
Eh, ada info seru juga dari Bali, lho. Para wartawan ternyata memboikot meliput pertemuan konsolidasi Partai Demokrat yang dibuka Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono pada Ahad malam 19 Januari 2014. Aksi itu dilatarbelakangi pengusiran terhadap wartawan yang hendak meliput oleh oknum pengamanan Partai Demokrat. Tidak diketahui secara pasti alasan pelarangan tersebut. Atau, mungkin, khawatir media akan mengabarkan mewahnya suasana konsolidasi di tengah bencana bertubi-tubi yang melanda seantero negeri kah?
Sampai di sini publik jadi terperangah. Apa SBY tidak punya skala prioritas dalam membagi waktunya yang amat berharga. Bukankah rakyat memberinya mandat sebagai Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Dan untuk itu, rakyat dengan sangat rela memberinya gaji dan segala fasilitas yang menyertainya dengan setiap sen yang dirogoh dari pajak. Rakyat (mungkin) tidak peduli pada peran lain SBY, sebagai Ketum Partai Demokrat, misalnya.
Dibiayai negara
Bicara soal fasilitas, banyak yang merasa haqqul yaqin, bahwa ketika SBY pelesiran ke Bali sebagai Ketum Demokrat, pasti dibiayai oleh negara. Pesawat yang digunakan dibayar oleh negara. Aftur yang digunakan menerbangkan pesawat pasti dibayar dengan uang rakyat. Paspampres dan ‘rombongan sirkus’ yang menyertainya juga dibayar oleh negara. Sisir, minyak rambut, minyak wangi, baju, kaus dalam, celana panjang, celana pendek, celana dalam, sepatu, semir sepatu, kaus kaki, pulsa untuk berkomunikasi, dan lain-lainnya (maaf kalau masih ada yang terlewat dan belum disebut di sini), semua dibayar oleh rakyat.
Kalau semuanya dibiayai rakyat, bukankah tindakannya ke Bali patut diduga sebagai penyelewengan anggaran negara? Memangnya kita bisa memisahkan SBY sebagai Presiden dan Kepala Negara pada saat yang sama dan SBY sebagai ketua Partai Demokrat? Bukankah ketika dia menjadi Presiden, maka 24 jam sehari SBY adalah seorang presiden? Apa dia atau para pengikutnya akan berkilah, bahwa ketika ke Bali SBY bukanlah Presiden, tapi Ketum Demokrat? Lalu dengan begitu seluruh pengeluarannya dibiayai oleh partai? Hayo, berani klaim seperti itu?
Dulu, Khalifah Umar bin Abdul Azis pernah memadamkan lampu ruang kerjanya saat menerima putra tercintanya. “Kenapa lampunya dipadamkan, ayah?” tanya putranya.
“Begini, nak, tadi kamu katakan yang akan kita bicarakan adalah urusan keluarga. Tidak pantas kita membicarakan urusan keluarga dengan lampu yang minyaknya dibeli dengan uang rakyat,” tukas sang Khalifah. Dahsyat!
Lalu, kenapa kita punya presiden yang abai kepada rakyatnya yang tengah diterpa bencana? Kenapa SBY lebih memilih mengurus partainya daripada mengunjungi rakyat saat ditimpa musibah? Lalu, kenapa kepergiannya ke Bali untuk keperluan partainya, yang sama sekali tidak ada urusan dan manfaatnya bagi rakyat, itu memakai fasilitas yang dibiayai rakyatnya?
Masih soal skala prioritas, sebagai presiden SBY ternyata juga bisa disebut nirempati. Bagaimana mungkin seorang presiden bisa tega membiarkan korban letusan gunung berapi hingga berbulan-bulan, tanpa sedikit pun nuraninya tergerak untuk sekadar menyambangi? Bagaimana mungkin justru pada saat yang sama dia justru melakukan konsolidasi partai untuk melanggengkan syahwat kekuasaan?
Lha mbok pura-pura dulu
Harusnya, mbok dia setidaknya punya sedikit empati lah. Atau, kalau SBY cukup pintar, pura-pura berempatilah. Caranya gampang, kok. Datanglah sebentar ke lokasi musibah barang beberapa jam. Setelah itu, silakan penuhi syahwat kekuasaan partainya untuk kembali berkuasa, sambil menyiapkan sang putra mahkota.
“Emangnya dia pintar?” timpal rekan saya dengan enteng, ketika saya sibuk nyerocos tentang saran pura-pura empati tadi.
Walah, sampai sebegitu kah? Mosok kita punya presiden tidak cukup pintar untuk sekadar pura-pura empati terhadap derita rakyatnya? Musibah apa lagi ini?
Masih soal empati bagi korban bencana, menarik apa yang ditulis Vita Sinaga-Hutagalung. Korban letusan gunung berapi Sinabung ini sempat menggegerkan dunia maya lewat surat terbukanya di Kompasiana yang berjudul Instagram untuk Ani Yudhoyono dari Vita Sinaga-Hutagalung Korban Sinabung. Di situ antara lain Vita menulis, “Ibu Ani, dengan aktivitas Ibu Ani di Istagram, maka kami sebagai korban Gunung Berapi Sinabung telah tertolong. Dengan melihat kebahagiaan Ibu Ani, Anissa Pohan – yang menjuluki Ibu Ani sebagai mertua terbaik di dunia dan akhirat, cucu-cucu yang cantik dan gagah menarik, Ibas yang berenang dengan baju mau menyelam padahal di kolam renang dangkal, lalu ke pantai dengan memakai batik resmi, itu pertunjukan yang mampu memberikan kebahagiaan buat kami.”
Di bagian lain, Vita menulis, “Ibu Ani, kami para pengungsi tak membutuhkan apapun selain gambar-gambar di Instagram. Kami tak butuh tanah pertanian yang telah rusak untuk direhabilitasi. Kami tak butuh makanan. Kami tak butuh obat-obatan. Kami tak butuh selimut. Kami tak butuh pembalut wanita. Kami tak butuh pakaian. Kami tak butuh tempat tinggal karena tempat tinggal kami ya di 59 tempat pengungsian selama enam bulan ini. Kami pun tak butuh apa-apa selain melihat dan menonton foto-foto kebahagiaan Ibu Ani sekeluarga melalui Instagram. Instagram Ibu Ani adalah kebahagiaan kami.”
Sungguh rangkaian kalimat sederhan yang mampu menohok nurani siapa pun manusia yang masih memilikinya. Sayangnya link surat ini sudah dihapus. Tapi jangan khawatir, anda masih bisa menemukannya lewat mbah google. Klik saja judul artikel tersebut sebagai key word. Lalu bacalah. Seru, deh.
Dari pencitraan ke pencitraan
Akhirnya setelah berbulan-bulan, SBY memang dijadwalkan akan lokasi bencana korban letusan gunung Sinabung. Untuk itu, Komisi VIII DR sudah menyetujui anggran pembelian tenda untuk presiden sebesar Rp15 miliar. Ulangi, anggaran untuk tenda presiden sebesar Rp15 miliar!
Entah akrobat logika apa yang ada di pikiran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) waktu mengusulkan anggaran tenda di lokasi bencana sebesar Rp15 miliar. Entah jungkir balik nalar apa pula yang ada di benak anggota Komisi VIII DPR ketika mereka menyetujui anggaran itu. Satu hal yang pasti, akal waras kita tidak akan pernah bisa menelan logika yang mereka gunakan.
Mudah-mudahan sang Presiden pun masih cukup waras untuk menolak anggaran tenda supermahal dan supertidak masuk akal yang sudah disetujui DPR tersebut. “Menurut saya, itu berlebihan. Presiden tentu tidak menginginkan perlakuan khusus dengan tenda super mahal seperti itu,” kata Wakil Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN), Teguh Juwarno, seperti dikutip sebuah media online. Sekadar mengingatkan saja, Ketua Umum PAN adalah Hatta Radjasa, Menko Perekonomian yang juga besan SBY. Ohoi…
Tapi pada titik ini, bisa jadi Teguh benar. Biar bagaimana pun, SBY tentu masih punya akal sehat untuk menolak tenda seharga Rp15 miliar di lokasi bencana.
Namun di mata Koordinator Petisi 28 Haris Rusly heboh tenda Rp15 miliar ini merupakan bagian dari strategi pencitraan SBY lagi, setelah sebelumnya adanya dugaan pencitraan dengan menurunkan harga gas elpiji yang telah dinaikkan terlebih dahulu. Loh, kok?
Kali ini SBY diperkirakan akan pura-pura menolak anggaran yang disetujui Komisi VIII DPR RI untuk biaya tenda VIP Preisden SBY di lokasi bencana gunung Sinabung seharga Rp15 miliar. “Kita tunggu saja, demi pencitraan, Presiden SBY akan konferensi pers untuk menolak keputusan DPR tersebut,” tebak Haris Rusli. Anda bisa membaca cerita ini di (http://www.pesatnews.com/read/2014/01/21/38927/aktivis-duga-sby-akan-bikin-pencitraan-di-lokasi-bencana-).
Ah, memang repot jadi presiden. Begini salah. Begitu juga salah. Tapi salahnya sendiri, kenapa pula mau jadi presiden? Lebih salah lagi, kalau upaya untuk jadi presiden itu dilakukan dengan menghalalkan segala cara. (*)
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economy and Democracy Studies (CEDeS)