Kasus pedofilia yang sedang disorot media menambah daftar panjang kasus kejahatan seksual pada anak-anak. Kasus ini bahkan terjadi di institusi pendidikan, seperti kasus di Jakarta International School (JIS). Di Medan, 11 orang pelajar mengalami pelecehan seksual oleh gurunya yang berkewarganegaraan Singapura. Di Sukabumi, 110 orang menjadi korban seorang Emon. Angka ini diduga akan terus bertambah. Kasus kejahatan seksual pada anak semakin mengkhawatirkan, angkanya semakin bertambah dari hari ke hari. Ketua Komnas Perlindungan Anak Indonesia, Arist Merdeka Sirait, bahkan mengungkapkan bahwa kejahatan seksual terhadap anak sudah sangat darurat. Berdasarkan laporan yang masuk ke Komnas Perlindungan Anak setiap hari, 60% merupakan kasus kejahatan seksual pada anak.
Kejahatan seksual pada anak memberikan dampak negatif jangka pendek dan panjang, termasuk penyakit psikologis di kemudian hari. Dampak psikologis, emosional, fisik, dan sosial meliputi depresi, gangguan stress pasca trauma, kegelisahan, gangguan makan, rasa rendah diri yang buruk, kekacauan pribadi. Juga menyebabkan gangguan psikologis, gangguan syaraf, sakit kronis, perubahan perilaku seksual, masalah belajar, penyalahgunaan obat terlarang, kriminalitas ketika dewasa, menyakiti diri sendiri, bahkan bunuh diri. Juga dampak mengerikan lainnya, yaitu siklus pedofilia “abused-abuser cycle”. Berawal dari korban (abused) kejahatan seksual di masa kecil, kemudian tumbuh menjadi orang yang memakan korban (abuser).
Kejahatan seksual pada anak di bawah umur banyak dipengaruhi oleh budaya asing yang masuk ke tanah air, dan diperparah oleh hukuman yang tidak memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan seksual. Pelaku tindak pencabulan anak di bawah umur umumnya akan dijerat pasal 81 dan 82 UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dengan hukuman 3 sampai 10 tahun penjara. Dalam KUHP tindak pemerkosaan dihukum maksimal 15 tahun. Namun, sangat jarang pelaku yang dijatuhi hukuman maksimal.
Selain itu, kejahatan seksual ini pun dipengaruhi oleh ide kebebasan, salah satunya adalah kebebasan bertingkah laku yang diemban oleh barat dan sayangnya diikuti oleh Indonesia. Sehingga banyak orang yang berpikiran bebas untuk melakukan apapun, termasuk dalam menyalurkan kebutuhan biologisnya. Tak heran jika banyak penyimpangan yang terjadi.
Islam, hadir tidak hanya sebagai agama yang mengatur hubungan manusia dengan Allah. Tapi, Islam juga mengatur dalam berhubungan antara manusia dengan manusia, sehingga Islam pun memiliki solusi atas permasalahan kejahatan seksual. Namun, solusi ini mengharuskan penerapan Islam oleh negara. Negara yang menerapkan Islam diwajibkan membina keimanan dan ketaqwaan rakyatnya, memahamkan juga menanamkan nilai-nilai norma, moral, budaya dan pemikiran Islam kepada rakyatnya. Sehingga negara tidak akan membiarkan penyebaran pornografi dan pornoaksi di tengah-tengah masyarakat.
Jika setelah pembinaan keimanan dan ketaqwaan masih ada kejahatan seksual, maka sistem uqubat Islam akan menjadi benteng yang melindungi masyarakat dengan dijatuhkan hukuman yang berat yang memberikan efek jera bagi perilaku kriminal, sekaligus mencegah orang lain melakukan kejahatan yang serupa. Pelaku pedofilia dalam bentuk sodomi dan homoseksual akan dijatuhi hukuman mati sehingga perilaku tersebut tidak akan menyebar di masyarakat. Hukuman ini berdasarkan sabda Rasul,” Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku (yang menyodomi) dan pasangannya (yang disodomi).” (HR. abu Daud, At Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, Al Hakim, Al Baihaqi)
Hanya dengan penerapan Islam secara kaffaahlah permasalahan kejahatan seksual seperti ini bisa teratasi, secara preventif dengan pembinaan keimanan dan ketaqwaan juga pengkondisian lingkungan oleh negara. Juga secara kuratif dengan menghukum tegas pelaku yang masih melakukan perbuatan kejahatan seksual.
Wallahu’alam bish shawab
Tati Nurhayati
Bandung