Demokrasi mengajarkan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat. Itu artinya, rakyatlah yang memiliki kekuasaan, rakyat pula yang berhak menentukan aturan kehidupan. Demokrasi juga mengajarkan kepada manusia untuk menjadikan suara terbanyak sebagai jalan mengambil keputusan. Tidak melihat apakah keputusan itu berkaitan dengan penetapan kebijakan ataukah hanya menyangkut urusan teknis belaka. Demokrasi pula yang memberikan empat kebebasan bagi manusia, meliputi: kebebasan beragama, kebebasan kepemilikan, kebebasan berpendapat dan kebebasan berperilaku.
Untuk mendapatkan kekuasaan dari rakyat maka diselenggarakanlah pemilu. Melalui pemilu diharapkan terpilih penguasa pilihan rakyat. Aksi kampanye untuk menarik suara rakyat dilakukan oleh pihak-pihak yang mencalonkan diri sebagai penguasa. Berbagai janji diobral, uang dibagi-bagikan, kaos partai digratiskan, stiker disebarkan, konser musikpun digelar, bahkan mobil mewah tak jarang diberikan cuma-cuma, semuanya demi mendapatkan dukungan rakyat. Tidak sampai disitu, aksi melalui media elektronik dan cetak pun gencar dilakukan.
Akhirnya, demokrasi menelan trilyunan rupiah dari kocek para calon penguasa. Seorang capres perlu menyiapkan dana 3 trilyunan. Misalkan ada 5 capres berarti terkumpul 15 trilyunan. Angka yang besar, bila dikurs kan dengan domba seharga Rp. 1.000.000 per ekor maka akan ada 15 juta penduduk miskin yang bisa menerimnya. Sedangkan Penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) mengungkapkan, uang yang berputar dalam Pemilu 2014 mencapai Rp 115 triliun. Hem, bila uang ini dibagikan kepada 250 juta penduduk Indonesia sebagai modal usaha masing-masing bisa menerima Rp.460.000. Anehnya Uang trilyunan rupiah itu begitu mudah keluar dimusim pemilu. Namun dimasa untuk mengeluarkan zakatnya tidak semudah itu. Uang berlembar-lembar terbang untuk meraih kursi kekuasaan. Inilah buah demokrasi yang sangat pahit namun dipaksakan manis.
Pengambilan keputusan melalui jalur suara terbanyak juga dipertontonkan dalam pemilu. Bukankah pemenang pemilu adalah mereka yang memperoleh lidi terbanyak dari rakyat? Tanpa mempertimbangkan apakah rakyat yang memilih itu tahu visi, misi, tujuan, target dan lain-lainya dari yang dipilih?. Yang penting dipilih rakyat, itulah suara demokrasi. Sebenarnya yang diketahui kebanyakan rakyat hanyalah gambar orangnya, nama partainya, uang yang dibagikannya. Jadi memilih penguasa tanpa mengetahui kepribadian calon penguasa, itulah sebenarnya yang terjadi. Pertanyaanya, apakah pemilihan yang seperti ini bisa dikatakan pemilihan yang produktif dan berkwalitas? Silahkan pembaca menjawabnya. Akibat dari pemilihan yang demikian terasa dikemudian hari. Terlontarlah dari bibir rakyat ungkapan penyesalan mengapa dulu memilih si itu dan si ini. Tapi apa boleh buat nasi udah jadi bubur dan demokrasi sudah menjadi pancinya.
Empat kebebasan yang diajarkan demokrasipun nampak dalam kegiatan pemilu bahkan menjadi opini yang diusung partai. Kebebasan beragama menjadikan beberapa kalangan Muslim terjebak untuk memilih calon penguasa dari non Muslim. Kebebasan berperilaku juga telah mengelabuhi para kader partai untuk melakukan money politik demi memenangkan jagonya. Kebebasan berperilaku juga mendorong para caleg atau bahkan juga capres melakukan ritual yang berbau mistik. Kebebasan berpendapat menjadikan para caleg dan juga capres mengumbar janji tanpa memikirkan konsekuensi dari perkataanya. Kebebasan kepemilikan mendorong para kandidat legislatif dan eksekutif ini rela menjanjikan kepemilikan umum untuk dikelola asing. Pil pahit siap-siap ditelan rakyat selepas pemilu ala demokrasi.
Demokrasi sepertinya sudah menjadi otot di negeri ini. Sehingga sakit yang ditimbulkan oleh demokrasi tidak menjadikan umat ini tergerak untuk membuangnya. Malah mereka yang dikelabuhi demokrasi menyatakan bahwa negeri ini akan hancur bila tidak ada demokrasi. Pernyataan ini benar, sebab bila negeri ini tidak menerapkan demokrasi akan dipukul oleh Negara-negara pengusung demokrasi (Amerika dkk). Jadi ketakutan mereka membuang demokrasi itu hakikatnya adalah ketakutan bila dipukul oleh Negara-negara pengusung demokrasi bukan demokrasinya itu sendiri.
Sungguh demokrasi menjadikan sebagian kalangan Muslim kehilangan imannya. Lebih takut pada manusia daripada kepada Tuhannya. Lebih percaya kepada manusia daripada kepada janji Tuhannya. Lebih taat pada aturan manusia daripada aturan Rabbnya. Bila demokrasi dibiarkan terlalu lama di dunia ini maka akan semakin banyak kerusakan pemikiran juga perbuatan. Sudah seharusnya bagi umat Islam mencintai, mengamalkan syariah Allah SWT. Inilah aturan kehidupan yang layak diterapkan di bumi yang Allah SWT ciptakan ini. Wallahua’lam bi ash showwab.
Puji Astutik, M.Pd.I