Oleh : Abu Azizah ; [email protected]
Setiap dibuka penerimaan PNS baik lokal maupun nasional, bisa dipastikan pesertanya membludak. Animo masyarakat untuk yg satu ini amat besar. Di samping prospek dan segala kemudahan yg menjanjikan, proses rekrutmennya pun terbilang amat simpel. Pelamar cukup mengirimkan berkas-berkas yg diperlukan sebagai syarat untuk mendapatkan nomor test. Tak perlu harus dengan nilai rata-rata atau indeks prestasi di atas rata-rata. Yang penting ada formasi, ada ijazah dan daftar nilai, serta Kartu Kuning maka bisa dipastikan si pelamar akan lolos seleksi berkas.
Pelamar tak harus bersusah payah test lainnya semacam wawancara dan atau psikotest. Yang penting lolos berkas dan bisa menjawab soal dan mencapai nilai dengan grade tertentu, maka dia akan mendapatkan formasi yang ditawarkan untuk kemudian mendapatkan SK dan NIP yang kelak SK bisa ‘disekolahkan’ di bank-bank tertentu yg bekerja sama dengan pemerintah.
Implikasi dari simpelnya proses rekrutmen ini adalah terjaringnya PNS yg kinerjanya bisa dibilang pas-pasan. Sebab soal yg disuguhkan bukanlah tolak ukur mutlak kualitas kinerja seseorang. Di situ tidak bisa diukur pribadi, mental, dan kinerja seseorang secara mendalam. Soal tertulis hanya bisa mengukur kualitas IQ. Test tertulis tak beda dengan proses penjaringan siswa atau mahasiswa baru.
Sementara PNS adalah penjaringan calon tenaga kerja. Yang tidak hanya IQ yg diperlukan. Lebih dari itu, dibutuhkan pribadi dengan kematangan emosi, pengalaman, ketahanan mental, serta kemampuan managerial sehingga ia mampu bekerja dalam suasana maupun kondisi apapun baik sendiri maupun dalam tim. Dan ini tidak bisa dicover hanya dengan test tertulis. Apalagi saat ini banyak lembaga yg menyediakan layanan kursus atau pelatihan untuk mengerjakansoal-soal test tertulis untuk PNS. Akibatnya jelas, hilangnya esensi dari test tersebut. Belum lagi jika berbicara soal oknum yang melalui jalan pintas.
Setiap tahun bisa dipastikan penerimaan pegawai negeri mencapai 4 digit. Baik untuk daerah lama, daerah baru (hasil pemekaran) maupun nasional. Ini tentu menambah quantitas. Sebab kalau pun dikalkulasi secara akurat, jumlah pegawai yg pensiun ditambah yg meninggal serta yang mengundurkan diri atau pindah ke formasi atau daerah lain tidak akan sama atau paling tidak mendekati dengan formasi yg dibutuhkan saat penerimaan.Ini jelas menimbulkan penumpukan tenaga kerja. Sementara pekerjaan yang ada tak sebanding dengan jumlah personil. Dan tentu saja efektifitas kinerja masing-masing pegawai akan berkurang.
Celakanya lagi, proses simpelnya rekrutmen ini dilanjutkan dengan longgarnya kedisiplinan dikalangan pegawai. Tak ada sangsi tegas bagi mereka yg terlambat atau pulang lebih awal. Bahkan sebagian oknum pegawai berani berkeliaran di pasar-pasar, mal, atau tempat-tempat yang seharusnya mereka tidak di sanasaat jam kerja.
Prilaku buruk indispliner ini jelas amat merugikan tidak saja bagi instansi tempat ia bekerja melainkan juga negara. Di samping mereka melalaikan pekerjaan, mereka secara tidak langsung telah merampok uang negara.
Semua sudah maklum jam kerja PNS tidak benar-benar tepat pukul 08.00 – 16.00 meski aturan tertulis jelas mengatur ini. Hanya ‘oknum’ tertentu saja yang bisa melakukannya. Jika kita kalkulasikan secara matematis, prilaku buruk ini bisa merugikan negara mencapai triliyunan rupiah per bulan.
Anggap para pegawai indisipliner ini bergaji 1,5 juta per bulan apapun kondisinya. Anggap pula rata-rata ia masuk kerja dari pukul 09.00 – 15.00 dipotong istirahat 1 jam. Gaji sebesar itu dibagi jumlah hari kerja selama sebulan. Untuk pegawai non guru dan non tenaga medis, hanya 5 hari kerja.Sehingga hanya 20 hari kerja selama 1 bulan.Itu artinya per hari ia dibayar sebanyak Rp. 75.000. Uang sebesar itu untuk kondisi normal yaitu: masuk setiap hari kerja dari pukul 08.00 – 16.00 di kurangi istirahat 1 jam. Sehingga kalau dihitung per jam, ia mendapat gaji sekitar Rp. 10.700. Sedangkan ia hanya masuk dari pukul 09.00 – 15.00. Artinya ada 2 jam yang hilang yang seharusnya ia juga kehilangan sekitar Rp. 21.000. Ini di luar jam istirahat yang juga tidak tepat 1 jam.
Kalau dalam sebulan ia masuk pada jam yg sama, maka ia seharusnya kehilangan gaji sebesar Rp. 420.000. Jumlah yg besar! Ini baru 1 pegawai. Sementara pegawai dengan prilaku semacam ini di Indonesia mungkin jumlahnya ribuan. Anggap untuk lampung ada 1.000 pegawai yg berprilaku sama. Maka dalam sebulan daerah harus mengeluarkan uang sebesar Rp. 420.000.000! Hanya untuk membayar pegawai indisipliner. Bagaimana jika seluruh indonesia?
Ini belum termasuk para tenaga medis di banyak puskesmas pembantu yang hanya masuk dari 08.30-12.30. Lalu para dosen yang harus meninggalkan mahasiswanya untuk mencari proyek di luar. Tenaga pangajar yang harus ‘kabur’ setelah absensi untuk berbisnis di luar guna menutupi kebutuhan akibat gaji tinggal hitungan ratusan ribu karena dipotong bank. Atau coba datang ke kecamatan menjelang pukul 14.00. Kalau pun ada personil di sana, tak lebih dari tukang kebun atau sekedar petugas biasa atau honorer. Dan mereka semua digaji dengan GAJI YANG SAMA tiap bulan.
Bisa dibayangkan jumlah itu jika dikalkulasi dalam waktu satu tahun. Belum lagi jika hitungan itu dijumlahkan dengan tunjangan, gaji ke-13 maupun uang-uang lainnya. Jumlah yang sangat besar untuk ukuran Indonesia yang masih berhutang jutaan dolar dengan bank dunia maupun negara lain. Bahkan untuk gaji ke-13 saja, negara harus merogoh kocek hingga trilyunan rupiah. Sertifikasi guru yang katanya untuk meningkatkan kualitas pengajaran. Atau penataran para PNS, prajabatan, dan pelatihan sejenis yang semuanya membutuhkan biasa besar yang hasilnya pun mungkin hanya bisa dirasakan 1:100 dari peserta.
Sementara itu kinerja para pegawai di berbagai daerah masih juga kurang memuaskan. Memang pemerintah sudah meracik aturan soal disiplin pegawai. Namun sayang sangsi tegas belum juga diberlakukan atau bahkan tidak diberlakukan terhadap pegawai indisipliner yang bandel tersebut. Hingga terkesan PNS adalah tenaga kerja yang paling sulit diberhentikan.
Dengan perhitungan matematis sederhana dan dalam margin yang kecil saja negara sudah dirugikan hingga ratusan juta rupiah per bulan oleh setidaknya 1000 orang Pegawai Negeri Sipil. Ini masih hitungan kasar. Belum menyentuh mereka yang bermain game saat jam kantor, ibu-ibu yang ngerumpi, mereka yang berkeliaran shoping, keluar jam makan hingga pukul 2 lebih atau mungkin oknum PNS yang hanya masuk dari senin sampai rabu saja seperti yang terjadi di salah satu kabupaten di lampung.
Perhitungan di atas juga belum mencakup etos kerja, kredibilitas, kompetensi, maupun faktor-faktor penunjang kinerja lain. Angkanya mungkin akan lebih mencengangkan lagi.
Dan mungkin ini merupakan salah satu faktor penghambat pertumbuhan bangsa ini menjadi lebih baik lagi. Karena secara tidak langsung uang-uang ‘haram’ dalam gaji yang diterima tiap bulan akan ikut mempengaruhi pola prilaku. Mirip seperti teko. Ia akan mengeluarkan apa yang dimasukan padanya. ‘Uang Haram’ ini juga akan muncul pada pola prilakunya sehari-hari dan anak keturunannya.
Dan ini akan terus berlangsung sampai ada tangan keras yang berani merubahnya. Karena harus diakui, fenomena ini sebenarnya sudah menjadi lingkaran setan yang sudah terlanjur mengakar dengan kuat. Sudah berdiri dengan gagah sebagai sebuah sistem.
Namun masih ada harapan. Masih banyak pribadi-pribadi yang peduli pada bangsa ini. Mereka yang belum tersentuh oleh uang haram manapun sejati adalah calon-calon kuat yang harus diajukan menjadi pemimpin bangsa ini. Sehingga bisa, mau, mampu, dan sanggup memotong mata rantai lingkaran setan ini. Semoga.