Bagi seorang muslim, setelah melaksanakan kewajiban puasa ramadhan sekitar satu bulan, maka akan berjumpa dengan Idul Fitri. Hari yang biasanya dinantikan, inilah hari kemenangan… Di hari Idul Fitri atau yang sering kita sebut dengan lebaran tersebut kental sekali dengan suasana silaturahmi, antara anak kepada orang tuanya, kepada saudara, tetangga, bahkan kepada teman atau sahabat. Tradisi berkumpul, berjumpa, dan saling memaafkan (halal bihalal). Itulah yang terjadi di sebagian besar masyarakat kita. Lebaran yang indah, yang hanya beberapa hari itu akan dimaknai lebih oleh pegawai/karyawan yang berada jauh dari keluarganya. Setelah satu tahun bekerja dan jauh dari keluarga, maka inilah saat yang paling tepat untuk berkumpul dan melepas kerinduan dengan keluarga, sehingga ketika lebaran datang dan tidak pulang/berkumpul bersama keluarga maka akan terasa ada yang kurang. Dan inilah yang biasa terjadi, pegawai/karyawan mencoba mensolusikan antara kerja dan lebaran dengan sebuah kata : CUTI… karena biasanya libur lebaran tidak lama, apalagi di tahun ini yang liburnya justru dimulai sebelum lebaran.
Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), salah satu haknya adalah memperoleh cuti (Pasal 8 UU No. 8 Tahun 1974). Cuti PNS sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah N0. 24 Tahun 1976 terdiri dari cuti tahunan, cuti besar, cuti sakit, cuti bersalin, cuti karena alasan penting, dan cuti di luar tanggungan negara. Dan dalam menyambut lebaran, bagi PNS yang melaksanakan mudik, yang jauh dari keluarga, yang ingin berkumpul dengan keluarga biasanya akan mengambil cuti tahunan. Sebagaimana kita ketahui, cuti tahunan bagi PNS adalah selama 12 hari kerja (sudah termasuk cuti bersama dalam tahun tersebut), atau maksimal 14 hari kerja apabila pegawai yang bersangkutan tinggal atau cuti tersebut dijalankan di tempat yang sulit transportasinya.
Ada fenomena yang menarik tentang cuti karena lebaran ini. Di satu sisi itu adalah hak PNS seperti sudah dijelaskan di atas, namun kadang ada pimpinan yang tidak mengijinkan staf/bawahannya untuk mengambil cuti lebaran ini. Ini kata pimpinan, “Jika sebagian besar PNS mengambil cuti lebaran, maka siapa saja yang akan bekerja di kantor, yang akan memberikan pelayanan?” kemudian ini jawaban staf/bawahan , “Itu kan hak kami, untuk cuti.” Masuk akal memang sudut pandang mereka, baik sudut pandang sang pimpinan ataupun staf/bawahan. Mari kita lihat…
Dalam hal tersebut di atas yang dibutuhkan adalah kebijaksanaan, baik dari pemberi izin ataupun pengambil cuti. Sebagai pimpinan tentu harus menyadari bahwa lebaran adalan sebuah moment yang hanya terjadi setahun sekali, tentu saja moment yang sangat berarti, terutama bagi PNS muslim yang ingin merayakan lebaran dengan berkumpul bersama keluarga. Untuk mengatasi kekosongan pegawai saat lebaran, maka sebaiknya pimpinan mengambil beberapa kebijakan antara lain : memberlakukan batasan jumlah pengambil cuti di tiap unit kerja serta memberlakukan “cuti giliran”, sehingga akan terasa adil bagi PNS yang mungkin tahun ini tidak dapat cuti, cuti akan diberikan tahun depan. Selain itu juga dibutuhkan kebijaksanaan dan lapang dada dari tiap PNS yang mengajukan cuti dan tidak mendapat ijin cuti. Cuti memang adalah hak, namun ada yang terlupa : bahwa salah satu kewajiban PNS adalah mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan golongan atau diri sendiri (termasuk keluarga). Subhanallah. Maka anggap ini bagian dari jihad atau ibadah kita kepada Allah, bukankah kita sering memaknai bahwa kerja kita adalah bagian dari ibadah kepada Allah? Inilah perjuangan dan pengorbanan kita sebagai PNS. Tentu kita ingat bagaimana kisah hijrah Rasulullah dan sahabat ke Madinah dulu, meninggalkan harta, kedudukan, keluarga, demi melaksanakan perintah hijrah dari Allah SWT. Dan inilah semangat yang sebaiknya mewabah dalam diri kita, mulai dari sekarang, Insya Allah…..
Ramadhan 1434 H,
Merenung, di saat terjadi “fenomena” tentang cuti