Oleh : Abu Nisa (Aktivis Gerakan Kontemporer Indonesia)
Di tengah proses perhitungan akhir hasil pileg 9 April masih tersisa banyak persoalan. Mulai dari kecurangan di seputar penyelenggaraan seperti politik uang, penggelembungan suara hingga dengan minimnya partisipasi pemilih alias golput. Namun wajah ada dan tidak adanya persoalan itu akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh opini media terbentuk. Dan sebagaimana diketahui bersama bahwa opini masyarakat terbentuk karena peran besar media mainstream. Media mainstream yang mempengaruhi pola pikir dan pola perasaan masyarakat di atas kepentingan politik tertentu. Harus diakui bahwa sebagian besar media mainstream ikut terlibat memainkan peranan penting dalam conflict of interest antar berbagai kekuatan politik kontestan pemilu. Yakni conflict of interest di atas kerangka arahan para pemilik modal media serta para kapitalis yang membayarnya. Media mainstream bergerak membuat rekayasa politik secara massif untuk kepentingan politik tertentu. Sehingga sulit mengurai mana yang fakta dan mana yang interpretasi. Sebaliknya, di sisi lain media-media Islam bergerak mempertahankan diri agar survive. Tidak terjebak ke dalam kampanye kepentingan politik tertentu. Hanya bergerak menawarkan Islam sebagai solusi sistem alternatif atas problem kompleks yang mendera negeri ini. Atau mengungkap serta membongkar makar musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya yang hendak menghancurkan Islam beserta umatnya.
Salah satu contoh rekayasa opini media yang menonjol saat ini adalah tentang kontestasi capres cawapres menjelang pilpres Juli mendatang. Di antara pemberitaan yang porsinya paling banyak adalah tentang Jokowi. Yang paling baru soal Jokowi tentang info diumumkannya siapa calon pendamping Jokowi sebagai cawapres. Sebagian media mainstream bahkan menyebutnya seperti Idol. Berkembang berbagai wacana tentang kualifikasi cawapres Jokowi. Termasuk sudah muncul beberapa nama. Mulai dari militer hingga sipil. Jawa dan luar Jawa. Mulai dari birokrat hingga ekonom. Dengan peta perolehan suara yang berimbang dan merata segala kemungkinan bisa saja terjadi. Wacana koalisipun bergulir di antara parpol untuk mengusung capres cawapresnya. Karena memang tidak ada satupun parpol yang bisa mengusung capres cawapresnya sendirian. PDI-P adalah parpol yang memperoleh suara paling banyak. Sementara ini PDI-P menjadi poros kekuatan politik utama. Begitu yakinnya sebagai poros kekuatan politik utama, Jokowi bahkan sampai berani mengatakan bahwa kabinet yang dibangunnya nanti bukanlah kabinet koalisi. Sesuatu yang akan berpotensi benturan dengan kekuatan parlemen. Kecuali melakukan sesuatu sebagaimana yang dilakukan oleh Ahok di DKI Jakarta yang diback up oleh massa melalui jejaring sosial media. Dengan kata lain menghadapkan kekuatan parlemen dengan masyarakat melalui media sosial. Statement Jokowi seolah menjawab kejenuhan psikologi masyarakat yang sudah apatis dengan politik bagi-bagi kekuasaan. Meski sebenarnya jejak rekam Jokowi sendiri menyisakan banyak persoalan. Tetapi yang menarik menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana media mainstream melakukan rekayasa politik sosok Jokowi sehingga menjadi sosok yang banyak mendapatkan perhatian media ? Tidak ada suatu rekayasa masif dan sistematis opini media pun yang tidak ada kompensasinya ? Apalagi tidak ada maksud terselubung yang lebih besar sekedar apa yang dilihat di permukaan ? Tulisan ini sengaja mencoba memberikan porsi khusus pada Jokowi di antara capres-capres yang lain seperti Prabowo dll berdasarkan pertimbangan melihat peta kontelasi opini media.
Manuver media mainstream menjelang pilpres Juli mendatang membranding Jokowi di tengah berbagai peristiwa politik di antaranya : konflik internal PPP di tengah dukungannya terhadap Prabowo, sewotnya PKB melalui ketumnya Muhaimin yang tidak diajak Jokowi membahas cawapresnya termasuk ancaman loyalis Rhoma agar menarik dukungannya terhadap PKB, statement Fahri Hamzah dari PKS yang menyebut Jokowi tidak paham kabinet koalisi, SBY yang merasa dilecehkan karena diusung menjadi cawapres, dan berbagai parpol lain yang tengah mengkalkulasi kemungkinan koalisi mengusung capres cawapresnya. Sikap dan perilaku politik yang dipertontonkan para elit politik parpol seolah memberikan pemahaman pada masyarakat bahwa tawar menawar kekuasaan adalah sesuatu yang lumrah. Melenakan masyarakat tentang begitu pentingnya urgensi kepemimpinan nasional di negeri ini. Dengan menafikkan kenyataan kebobrokan sistemik akibat penerapan berbagai kebijakan-kebijakan dalam bentuk undang-undang produk legislatif bersama penguasa. Yakni beragam kebijakan ibarat mata uang dengan dua sisi. Sisi yang pertama merugikan, menikam dan menyengsarakan rakyat. Sisi yang lain berpihak pada kepentingan asing. Selama kurun waktu masa pemilu yang terjadi di negeri ini menunjukkan bahwa pergantian rezim kabinet dan parlemen belum cukup menuntaskan berbagai persoalan yang mendera di negeri ini. Bahkan eskalasi persoalan yang dihadapi negeri ini semakin menunjukkan tensi persoalan yang sedemikian sistemik dan komprehensif. Seperti yang disampaikan oleh Prabowo dalam pidato kampanyenya. Tetapi anehnya justru masih banyak kalangan pengambil kebijakan berpikir utopis bahwa ini adalah sebuah keniscayaan proses pendewasaan dari sistem demokrasi. Seperti terhipnotis oleh paham menyesatkan yang namanya demokrasi. Tanpa upaya kritik sistemik dan mendasar. Dengan selalu mengulang-ulang statement bahwa demokrasi paling cocok dan harga mati. Sesuai dengan keberagaman dan pluralitas. Bahkan berani melupakan jadi dirinya sebagai seorang muslim yang mayoritas di negeri ini. Menempatkan islam dalam bingkai yang disesuaikan dengan demokrasi atas nama bahwa hukum islam berubah atas jaman dan tempat. Melihat demokrasi dari sisi kesesuaiannya dengan islam dengan mencoba menutupi hal mendasar perbedaan demokrasi dengan islam. Membohongi dirinya sendiri sebagai seorang muslim yang berkeyakinan bahwa yang berwenang membuat undang-undang hanyalah Musyarri’ –Allah Azza Wa Jalla- semata. Dan tidak berani mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem thogut karena takut terancam kepentingan, eksistensi kekuasaan dan jabatannya. Meski kadang-kadang juga diakui kebobrokannya seperti statement Mahfudz MD bahwa “Malaikat sekalipun jika masuk pada sistem ini akan menjadi Iblis”. Dan secara faktual demokrasi adalah sistem yang menjadi payung bagi para elit penguasa dan elit politik dari berbagai kalangan untuk mengamankan kepentingan politiknya. Sebuah kepentingan politik hasil elaborasi dan sindikasi antara penguasa dan pengusaha. Baik pengusaha lokal nasional maupun pengusaha internasional. Dalam konteks pertarungan politik kekinian, kita bisa melihat begitu kuat tercium aroma intervensi asing dalam proses suksesi kepemimpinan pilpres mendatang.
Ada masa-masa dimana penguasa dan calon penguasa di negeri ini bermesraan dengan media mainstream seperti SBY pada menjelang berkuasa dan awal-awal kekuasaan. Dan pasca reformasi dengan kran keterbukaan pers begitu terbuka lebar, media memiliki peran strategis untuk mempengaruhi pusat-pusat kekuasaan sekaligus menentukan pergantian kekuasaan. Di masa-masa akhir kekuasaan SBY, media begitu efektif mereduksi kekuatan SBY bersama partai Demokratnya. Terbukti pileg kemarin perolehan suaranya turun secara drastis. Jika SBY tidak tumbang secara tragis pada masa akhir jabatannya itu sudah lumayan dan barangkali karena kondisi bargaining of powernya berimbang. Di antara elit politik dan elit penguasa saat ini sama-sama memegang kartu turf masing-masing. Kondisi ini yang menyulitkan satu sama lain untuk saling menjatuhkan. Selain hal ini menunjukkan SBY sebagai kekuatan politik yang relatif stabil dari goncangan. Meski harus dibayar dengan jatuhnya orang-orang yang ada di bawahnya. Dan sebagaimana sudah menjadi rahasia umum bahwa SBY memiliki guru yang sama dengan Obama yang memberikan bekal bagaimana SBY membangun dan mendisain politik pencitraannya. Kedekatan RI dengan AS melalui SBY meski sedikit dicederai oleh terbongkarnya kasus penyadapan Australia tidak bisa dipungkiri sangat begitu terlihat dari garis kebijakannya selama ini. Yang paling menonjol dan sangat terlihat adalah kebijakan “war on terrorism” yang sangat pro AS.
Berbeda dengan SBY, bagaimana sosok Jokowi sebenarnya di tengah gencar dan masifnya media memberitakannya menjelang pilpres mendatang. Benarkah keberpihakan media terhadap Jokowi merepresentasikan keberpihakan rakyat. Atau keberpihakan rakyat terhadap Jokowi secara efektif sedang-akan dibentuk secara masif dan sistemik oleh media-media mainstream. Semuanya ini menjadi jalan yang akan menentukan sukses atau tidaknya Jokowi menjadi RI 1. Di tengah dinamika perlawanan rivalitas politiknya seperti dari Gerindra melalui wakil ketuanya Fadli Zon dengan senjata serangan puisi politiknya. Dan rivalitas politik dalam konteks politik demokrasi sesungguhnya adalah rivalitas dalam kerangka bargaining of power (tawar menawar kekuasaan). Dimana para aktor politik dan aktor penguasa harus memiliki minimal 3 keahlian. Ahli hukum, ahli ekonomi, dan ahli politik. Ahli hukum diperlukan sebagai modal kemampuan untuk memahami produk perundang-undangan agar bisa menghindar atau bahkan menggunakannya sebagai alat legitimasi kekuasaaan. Ahli ekonomi diperlukan sebagai modal kemampuan untuk mengelabuhi masyarakat dengan angka-angka ekonomi sekaligus sebagai alat untuk mengeruk kepentingan ekonomi. Ahli politik diperlukan untuk modal tawar menawar kekuasaan. Dan ketiga keahlian itu harus ditopang oleh keahlian membangun kekuatan opini media mainstream. Kepemimpinan Jokowi ke depan nampaknya akan dibangun di atas pilar-pilar keahlian di atas. Karena pilar-pilar di atas sesungguhnya akan menjadi jembatan yang sangat efektif bagi jalannya penjajahan asing ke depan. Dengan kata lain, Jokowi hanyalah menjadi sub sistem di antara kerangka sistem penjajahan asing yang semakin menggurita di negeri ini. Apa indikatornya ?. Secara kasat mata perilaku politik Jokowi menyisakan pertanyaan besar. Diantaranya apresiasi terhadap pencapresan Jokowi oleh pemerintah Israel. Kunjungan beberapa dubes asing kepada Jokowi. Dan semua perilaku-perilaku Jokowi yang terkesan tidak lepas sedetikpun dengan publikasi media. Apa yang dilakukan oleh Jokowi mungkin sebagian orang berpendapat bahwa merupakan keniscayaan dari kesederhanaan dan kebersahajaan perilaku politik yang dibangunnya selama ini. Tetapi siapa sangka ternyata Jokowi berdasarkan analisis intelijen tertentu sebagaimana diungkap oleh VOA Islam (http://www.voa-islam.com/read/intelligent/2014/02/09/28782/mafiawar-18-stanley-greenberg-konsultan-yahudi-jokowitainment) diback up oleh konspirasi James Riady cs. Rekayasa pencitraan Jokowi dilakukan melalui cara – cara sebagai berikut :
1) Ratusan media nasional dan lokal (koran, majalah, TV, radio, media online dll) dikontrak dan dibayar untuk setiap hari memuat berita positif tentang Jokowi. Pada media cetak yang dikontrak dan dibayar tersebut, disediakan halaman atau kolom khusus yang memuat berita positif tentang Jokowi. Pada media online, ditargetkan pemuatan berita Jokowi sampai sebanyak – banyaknya. Detik online misalnya, memuat berita tentang Jokowi bisa sampai 50 kali atau 50 judul per hari dan selalu ditayangkan setiap saat. Begitu tingginya target frekwensi menaikan berita tentang Jokowi, sampai – sampai semua aktifitas Jokowi dimuat dan diberitakan media. Diantaranya : Jokowi akan naik sepeda ke kantor, jokowi lari maraton, jokowi akan mudik ke Solo, Jokowi akan ke Pluit, Jokowi nonton film, Jokowi nonton wayang, jokowi makan banyak sebelum nonton, Jokowi antar makanan ke Megawati, Jokowi bertemu si anu, Jokowi hebat, Jokowi luar biasa, Jokowi berniat, Jokowi tertawa, jokowi dikawal, Jokowi bersedih, Jokowi disambut warga, Jokowi bagi – bagi uang, Jokowi blusukan, Jokowi bermimpi, dan seterusnya…
2) Sejumlah pengamat dan akademisi kampus disewa oleh sutradara dibalik pencitraan Jokowi untuk memberikan pendapat, penilaian dan kesan baik tentang Jokowi. Sesuai informasi yang diterima banyak staf pengajar dari FISIP UI Depok yang dibayar untuk mendukung pencitraan Jokowi.
3) Ratusan orang baik tenaga honor maupun karyawan organik yang dipekerjakan di perusahaan – perusahaan Lippo Grup dan perusahaan para konglomerat tionghoa yang menjadi pendukung pencitraan Jokowi, dikerahkan untuk membentuk citra palsu Jokowi melalui sosial media (socmed). Ribuan akun di berbagai socmed (twitter, facebook, dll) dikerahkan untuk mendongkrak popularitas dan kesan positif tentang sosok Jokowi. Mereka juga bertugas melindungi Jokowi dari segala bentuk kritik, termasuk pengungkapan kebenaran tentang siapa sebenarnya Jokowi.
Rekayasa pencitraan Jokowi tidak hanya didukung oleh James Riady, Stangreeberg dan Arkansas Connection, melainkan juga oleh mayoritas konglomerat tionghoa Indonesia, jaringan etnis China dunia/internasional, segelintir tokoh dan konglomerat pribumi serta dari berbagai kalangan /lembaga / insititusi non muslim, gereja, mayoritas komunitas tionghoa Indonesia dan seterusnya. Benar – benar sebuah konspirasi tingkat tinggi yang dibentuk dan dijalankan dalam rangka mensukseskan Jokowi sebagai presiden di Indonesia.
Pencitraan Jokowi yang luar biasa, menghabiskan sumber daya uang, waktu dan tenaga yang sangat besar itu, juga berhasil menutupi fakta – fakta yang sebenarnya tentang karakter, kinerja dan track record Jokowi. Masyarakat tidak lagi berfikir logis dan tidak skeptis dalam menilai sosok Jokowi. Begitu banyak catatan buruk tentang Jokowi yang diabaikan atau terlindas oleh tsunami informasi dan opini yang dijejalkan konspirasi tingkat tinggi ini. Fakta bahwa Jokowi sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) atau penilaian kinerja Kemendagri yang membuktikan prestasi Jokowi biasa – biasa saja, malah lebih buruk dibanding kinerja rata – rata kepala daerah se – Indonesia, tidak menjadi perhatian rakyat. Fakta bahwa Jokowi patut diduga terlibat korupsi pelepasan aset pemda Solo (Hotel Maliyawan), korupsi dana KONI Solo sebesar Rp. 5 miliar, korupsi hibah dana rehabilitasi pasar dari Pemda Jawa Tengah Rp. 1 miliar, korupsi dana bantuan siswa miskin Solo, korupsi proyek pengadaan videotron Manahan Solo, korupsi renovasi THR Sriwedari Solo, dan lain – lain, diabaikan begitu saja oleh rakyat Indonesia. Belum lagi dugaan korupsi Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Program KJS dan KJP, KKN pada penunjukan pemenang dan pelaksana proyek MRT/Monorail Jakarta, korupsi pengadaan sumur resapan dan lain – lain.
Jika benar Jokowi yang menjadi RI 1 maka sesungguhnya Pilpres 2014 Juli mendatang akan menjadi ujung tombak penjajahan asing. Atau selain Jokowi yang menjadi RI 1, itu semua pada hakekatnya merupakan manifestasi dari bargaining of power yang tidak bisa dipisahkan dengan investasi politik yang telah dikeluarkan oleh kepentingan asing. Yakni kepentingan asing yang senantiasa mencengkeram dan mengerat-erat negeri ini melalui rezim penguasa yang dilahirkan dari setiap pesta demokrasi –pemilu-. Karena sesungguhnya pilihan sistem politik demokrasi yang sarat dengan nuansa tawar menawar kekuasaan yang diterapkan di negeri ini menjadi jalan mudah bagi dominasi dan imperialisasi asing (kafir muharibban fi’lan) di negeri ini. Ingatlah Firman Allah Subhanahu Wa Taalla : “Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin.” [TQS An Nisaa’ (4):141]. Jalan yang paling mudah dan penting untuk menguasai kaum Muslim adalah kepemimpinan dalam urusan negara dan pemerintahan.[Lihat Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2/233]. Wallahu a’lam bis shawab.