Eramuslim.com – Ahok adalah fenomena terbalik dari “Galileo Gambit”. Bila dahulu, Galileo dihujat Gereja Kristen akibat teori heliosentris, sekarang Ahok dipuja-puja sebagai mesias tanpa alasan jelas oleh kelompok Kristen Protestan di Indonesia. At the end, Galileo dinyatakan benar. Eventually, Ahok akan dinyatakan salah. Keduanya akan berakhir dengan cara serupa. Sama-sama disalah-tafsirkan oleh kaum yang sama; Kristendom.
Sebelum sesat, saya mesti katakan bahwa saya tidak sedang menyama-nyamakan antara “bapak ilmu pengetahuan” sebesar Galileo Galilei dengan politisi kariris macam Ahok.
Ahok, sebagian orang bilang dia koruptor dan politisi kardus, terlalu microscopic bila dibandingkan seorang Galileo. Jadi saya tidak sedang menghina figur pujaan saya; Galileo Galilei. Saya bukan ahoker bayaran yang tidak punya malu menyama-nyamakan Ahok selevel Sadiq Khan, Walikota London yang baru saja terpilih.
“Galileo Gambit” adalah sindrom kesalahan persepsi. Ini yang mau saya katakan kepada kelompok minoritas Kristen di Indonesia. Anda keliru bila mendukung Ahok dan mengidentifikasi sosok Ahok sebagai representatif dari pemimpin Kristen. Sehingga, apa pun kesalahannya, harus tetap didukung. Ini keliru. Apa lagi bila dikatakan bahwa ia adalah “mesias”. Mesias kok barter proyek reklamasi Teluk Jakarta.
Saya gembira saat mengetahui bahwa sebenarnya 80% anggota Perhimpunan INTI (Indonesia-Tionghoa) menarik dukungannya terhadap Ahok. Benar kata Lieus Sungkarisma, Ahok bikin rusak citra etnis Tionghoa di Indonesia. Komunitas etnik Tionghoa mampu rasional dan tidak terperangkap jebakan false perception: “borrowed glory” atau logical fallacy yang disebut “honor by association”.
Bukankah kesuksesan Ahok menunggangi Jokowi sehingga Ahok menjabat Plt Gubernur adalah sukses pribadi si “Mesias dari Belitong Island”. Itu ngga pernah jadi prestasi si Aheng. Aheng tetaplah si Aheng, tukang bakmi di pinggir jalan Petak Sembilan.
Moralitas si Aheng, paralel dengan kemiskinannya, juga tidak dicemari oleh dosa-dosa politik Ahok, lengkap dengan kekasaran dan kekurang-ajarannya. Ahok berani menghina Pa Amien Rais sebagai “orang tua pikun”. Jelas, Aheng ngga bertambah tajir karena Ahok memakai adiknya, Fify Letty, sebagai lobbiest antara Pemprov & Yayasan Sumber Waras. Sedangkan Aheng…tetep dagang bakmi.
Bila Aheng bisa rasional, ternyata tidak bagi si Caroline (etnik Batak, tinggal di Medan-Sumut), temannya si Meiske Debby Warouw. Sekalipun bukan Hoakiao seperti Aheng, Caroline tetap irasional membela Ahok.
Saya kaget saat mendapati banyak sekali warga Medan, Manado dan Papua menjadi die-hard pembela Ahok. Menurut ahli tata kota-cum-arsitek Marco Kusumawijaya, 80% buzzer ahoker di dumay bukan warga DKI-Jakarta. Rupanya mereka beragama protestan, sama kayak Ahok.
Saya merinding menonton video kotbah seorang pendeta di dalam gereja. Glorifikasinya terhadap sosok Ahok kebablasan hingga hanya pantas dicibir.
Namun ternyata, hasutan religi ini adalah pupuk baik bagi dimensi irasional manusia.
Di saat figur sekelas Menteri Kordinator nyatakan Ahok tukang bohong & berbagai bukti valid nan otentik seperti rekaman video aksi verbal abuse Ahok, saking irasionalnya, Caroline tetap menulis komen di wall FB saya: “Ahok ramah”.
Saya pancing dia. Saya reply “ramah nenek luh”. Di bawah komen, saya pasang meme Ahok dengan mulut terbuka seperti mimik seseorang yang sedang memaki. Ada grafiti: “tai lu, bangsat lu, goblok lu, nenek lu”.
Caroline langsung meledak. Dia menghujat saya. Dia bilang, “Kurang ajar kamu. Apa kamu Zeng Wei Jian tidak pernah diajar sopan santun oleh nenek moyangmu?”
Saya bilang saya hanya meniru kata-kata gubernurmu: Ahok.
Caroline speechless. Sampai sekarang dia raib. Bagi saya, Caroline, dan mungkin semua ahokers, mempraktekan “double standard”. Dan biasanya, salah satu ciri kaum amoral adalah double-standard.
Saya berharap semua orang, terutama kelompok Nasrani, bisa rasional dan proporsional dalam melihat fenomena Ahok. Dia cuma politisi biasa. Mendukung Ahok atas landasan irasional akan direspon pula dengan irasionalitas kelompok anti ahok. Situasi ini bisa memicu konflik yang tidak perlu. Karena irasionalitas itu selalu identik dengan “ngeyel”. Dan itu sangat menyebalkan.
(by Zeng Wei Jian)