Jokowi berhasil merangkul Kyai Ma’ruf Amin sebagai cawapres. Ma’ruf adalah pentolan GNPF MUI. Sebagai Ketua Umum MUI, Ma’ruf mengeluarkan fatwa Ahok telah menista agama. Fatwa itulah yang mendorong serangkaian Aksi Bela Islam (ABI) dan puncaknya adalah Aksi 212.
Ma’ruf dipilih karena latar belakangnya sebagai pengurus puncak Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, Jokowi berharap mendapat dukungan dari warga nadliyin.
Melihat suasana pada reuni 212 terlihat jelas mayoritas warga yang hadir berlatar belakang nahdliyin. Warga berbondong-bondong memadati Monas sambil melantunkan salawat nabi yang menjadi salah satu tradisi penting kaum nahdliyin. Sejumlah anak cucu pendiri NU yang dikenal sebagai kubu kultural diketahui juga hadir dalam reuni tersebut.
Jokowi juga merangkul sejumlah ulama berpengaruh yang sebelumnya menjadi pendukung Aksi 212 seperti TGB Zainul Majdi, dan Yusuf Mansur. Terakhir Jokowi juga berhasil merangkul Yusril Ihza Mahendra. Semua tokoh tidak berhasil menggoyahkan konsolidasi umat. Yang terjadi mereka malah ditinggalkan umat.
Figur seperti TGB, Yusuf Mansur, dan Yusril menjadi bulan-bulanan caci maki, dan bullyan di media sosial. Secara politik mereka sudah tidak ada gunanya bagi Jokowi. Baik sebagai endorser, apalagi menjadi penarik suara (vote getter). Yusril bahkan terancam dikudeta dari posisi Ketua Umum PBB. Mereka menjadi kartu mati.
Jokowi juga tidak berhasil melumpuhkan perlawanan para ulama. Rezim Jokowi berhasil membuat Habib Rizieq tokoh sentral gerakan 212 hijrah ke Arab Saudi, karena berbagai kriminalisasi. Posisi Habib Rizieq bahkan semakin penting. Posisinya kira-kira mulai mirip dengan pemimpin spiritual Iran Ayatulloh Khomenei ketika mengasingkan diri ke Paris.