Geliat Islam di Amerika
Secara historis, Islam telah menjadi bagian dari masyarakat Amerika setidaknya sejak awal tahun 1619-1800-an ketika sekitar 10 juta orang Afrika dibawa sebagai budak ke Amerika utara, 30% diantara mereka adalah Muslim. Dari data-data yang berhasil penulis kumpulkan, jumlah muslim Amerika tumbuh pesat pada 1970-an dan 1980-an. Lebih dari separuh muslim Amerika 56 persennya adalah perantauan dan sisanya lahir disana. Populasi umat Islam diperkirakan lebih dari 6 juta jiwa dan termasuk agama terbesar kedua setelah agama Kristen. Baik di seluruh dunia maupun di AS. Islam juga termasuk salah satu agama yang perkembangannya paling cepat di Amerika. Menurut Pew research center, sebanyak 65% muslim di Amerika terindentifikasi bermazhab Sunni dan hanya 11% yang bermazhab Syiah. Sedangkan 15% mengaku tidak berafiliasi terhadap mazhab apapun. Mereka mengaku hanya sebagai Muslim. Secara politik, sebanyak 70% Muslim di AS berafiliasi kepada partai Demokrat. Hanya 11% yang memilih partai Republik. Barangkali, dalam pandangan mereka Demokrat lebih “bersahabat” dengan Islam daripada Republik. Saat ini, Muslim di Amerika telah berperan dalam berbagai bidang, mulai dari dokter, dosen, ahli teknologi informatika, insinyur, pakar keuangan, militer, politisi, pegawai pemerintah, pengacara, wartawan, hingga sopir taksi.
Meski posisinya minoritas, Umat Islam disana sudah mendirikan lebih dari 2100-an masjid dan tempat ibadah di Amerika. Berdasarkan laporan terbaru dari pemerintah Amerika, sekitar 550 masjid baru didirikan antara tahun 2000 hinnga 2011. Berarti jumlah masjid di Amerika Serikat melonjak 45 persen. Di satu sisi, lonjakan jumlah masjid merupakan kabar yang menggembirakan, namun di balik itu semua, ternyata muslim di Amerika memiliki tantangan yakni kurang mencukupinya jumlah Imam sholat disana. Imam masjid Nouman Ali Khan mengatakan bahwa banyak masjid di AS yang kekurangan Imam. Mereka bahkan minta didatangkan Imam oleh lembaga Syariah yang membawahi keberadaan masjid di AS. Dikatakan Ali, di negara-negara Islam, masjid dan imam yang didukung oleh negara. Di sini (AS), mereka mengelola seperti miliki “pribadi”. Misalnya, sebuah masjid terkelola dengan baik jika disitu banyak tinggal mayoritas muslim pendatang. Perlu diketahui, Masjid di AS punya tiga sistem penggajian bagi para Imam berdasarkan durasi bekerjanya. Jadi, imam di sana ada yang mendapat gaji secara full time, paruh waktu dan sisanya adalah para sukarelawan. Selain masjid, lebih dari 200 sekolah Islam telah didirikan untuk menampung ribuan siswa, dan belasan pelayanan sosial yang telah diselenggarakan untuk memberikan bantuan kepada perempuan, anak-anak, dan orang yang miskin baik di dalam rumah dan di luar rumah.
Persepsi Warga Amerika tentang Islam dan Muslim Amerika
Walaupun Umat Islam sudah menjadi bagian dari bangsa Amerika sejak awal dan hampir tidak ada museum terkemuka di negerinya Obama ini yang tidak memiliki koleksi barang seni Islam, tetap saja masyarakat umum tidak tahu banyak tentang Islam atau Muslim Amerika. Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Dewan Hubungan Islam-Amerika (CAIR), didapati bahwa Warga Amerika cenderung memiliki pengetahuan yang minim tentang topik keislaman. Meskipun hampir 60% mereka tahu nama kitab suci umat Islam, hanya sepertiga responden yang sadar bahwa umat Islam juga menyembah Tuhan seperti halnya orang Kristen dan Yahudi lakukan. Hampir 10% mengatakan umat Islam menyembah “Dewa bulan”. Kebanyakan orang Amerika juga kurang informasi tentang tatangganya yang muslim dan peran mereka dalam masyarakat. Hampir dua pertiga responden mengatakan mereka tidak mendengar, melihat atau membaca tentang beberapa pemimpin muslim yang mengutuk aksi terorisme. Dan hampir 80% mengatakan sumber pengetahuan soal Islam berasal dari televisi. Survei ini memberikan kita bukti statistik bahwa satu dari lima warga Amerika memelihara sikap anti-Islam yang kuat. Meskipun 27% toleran tehadap umat Islam, hanya 6% yang memiliki kesan awal yang positif terhadap Islam.
Pandangan mereka tentang Islam dan muslim Amerika sebenarnya sudah lebih baik pasca tragedi 11 September, kebanyakan orang Amerika tidak lagi menganggap Muslim Amerika sebagai pihak yang memusuhi kepentingan AS. Para kaula mudanya yang berumur di bawah 30 tahun punya pandangan positif soal muslim Amerika, umat Islam dan Islam. Adapun kalangan tua pada umumnya memiliki opini yang baik tentang muslim Amerika, tapi mereka menyatakan rasa skeptisisme terhadap umat Islam dan Islam. Namun perlu di ketahui bahwa walau jumlah penganut Islam bertambah dan organisasinya eksis di berbagai wilayah, tidak berarti pandangan publik terhadap Islam telah berubah. Menurut Alwi shihab, persepsi orang Amerika itu kebanyakan dipengaruhi 2 faktor yaitu, situasi politik internasional dan pemberitaan media massa yang tidak obyektif.
Kebijakan Pemerintah Amerika terhadap Islam
Berbicara soal bagaimana kebijakan pemerintah AS terhadap Islam, sebaiknya penulis bedakan antara pasca perang dingin, pasca tragedi WTC dan di era kepemimpinan Obama. Pertama, pasca perang dingin. Begitu komunisme dianggap runtuh, dengan tempo cepat diskusi-diskusi tentang ancaman Islam atau bahaya Islam bermunculan di media massa. Padahal ketika Komunisme masih ada, presiden-presiden AS seperti Reagan dan para pendahulunya tidak terlalu peduli terhadap Islam. Dengan pengecualian untuk kasus Iran termasuk pendukung Syiah-nya di Lebanon. Hal ini dikarenakan yang dilihat Reagan sebagai musuh-musuh sejatinya bukanlah Islam, tapi Komunisme. Reagan membariskan AS bersama negara Afghanistan, Saudi dan Pakistan untuk memerangi apa yang ia sebut “Kerajaan setan”. Hanya saja pada awal dekade 1990-an Ilmuwan politik berdarah yahudi, Samuel P. Huntington mendadak terkenal karena wacana “the clash of civilization” (benturan antar peradaban). Melalui bukunya Huntington mengarahkan Barat untuk memberikan perhatian khusus kepada Islam. Ia juga mengidentifikasi sembilan peradaban kontemporer, namun hanya dua peradaban yang menjadi favorit pembahasannya yakni Barat dan Islam. Tujuh peradaban dunia lain adalah peradaban Cina, Jepang, Amerika Latin, Afrika, Hindu, Budha, dan Kristen Ortodoks. Anehnya, Huntington bahkan tidak memasukkan Yahudi sebagai peradaban. Bagi Huntington, kebangkitan Islam adalah produk dari kemerosotan kekuatan dan citra barat. Jika hal ini dibiarkan terjadi, maka, cita-cita dan institusi barat pun akan segera sirna dan digantikan peradaban baru Islam. Fawwas Gergez berpendapat meski pemimpin-pemimpin AS secara resmi menolak hipotesis clash of civilizations, tapi kebijakan Amerika pasca perang dingin banyak dipengaruhi oleh ketakutan adanya “ancaman kaum Islamis”. Kebijakan Pemerintah AS yang paranoid terhadap kaum Islamis ini setidaknya dipengaruhi oleh 4 faktor, diantaranya: pandangan warga negaranya, para senator di kongres, media massa dan lobi-lobi Israel melalui AIPAC.
Pasca runtuhnya Komunis, AS dihadapkan pada kemenangan partai FIS di Aljazair. Terhadap FIS, Amerika yang saat itu dipimpin Bush senior menunjukkan sikap pasifnya, menutup mata terhadap pembelokan proses demokrasi oleh militer Aljazair. Mereka menyetujui kudeta militer Aljazair dikarenakan AS lebih mementingkan stabilitas daripada bereksperimen dengan Demokrasi. Kenapa AS bersikap seperti itu? Hal ini dikarenakan pendekatan Bush senior kepada kaum Islamis yang terus diwarnai dengan ketakutan-ketakutan masa silam. Dicampurnya Islam dengan politik membuat para pembuat kebijakan di AS khawatir kalau sampai Islam politis menggunakan Islam sebagai ideologi yang bisa mengancam stabilitas keamanan kawasan yang dikuasai AS. Sekarang kita beralih ke eranya Clinton, Pemerintahan Bill Clinton yang dimulai pada awal tahun 1993 ditandai oleh semakin kerasnya kebijakan politik AS atas musuh-musuh politiknya di Timur Tengah. Menlu Warren Christoper, Dubes AS untuk PBB, Madeleine Albright (kemudian menjadi menlu pada periode kedua Presiden Clinton), dan Menlu pertahanan William cohen yang berdarah Yahudi, merupakan tiga pejabat tinggi AS yang sangat berpengaruh dalam meletakkan dasar kebijakan politik luar negeri AS saat itu. Tidak heran jika para pejabat berdarah yahudi berada dibalik pemerintahan Clinton dalam sanksi ekonomi terhadap Iran tahun 1995. Selain itu, pemerintah AS senantiasa menentang keras upaya negara-negara Islam untuk memperoleh senjata non-konvensional. Amerika juga menerapkan standar ganda dalam kasus Sudan misalnya, Amerika menjatuhkan sangsi ekonomi kepada pemerintah Omar Hassan al-Bashir di Sudan. Hal yang sama tidak dilakukan AS ketika Musharaf mengkudeta presiden Nawaz sharif.
Lanjut kita membahas kebijakan George W Bush. Setelah tragedi WTC 2001, dihadapan kongres Amerika Serikat tanggal 20 September 2001, Bush mengeluarkan ancaman kepada dunia internasional, “Either you with us or you are with the terrorist”. Bush juga mengatakan, “If you are not with us, you are against us”. Pernyataan yang lebih dikenal dengan Doktrin Bush ini jelas-jelas memaksa negara-negara lain di dunia menentukan sikap dan seolah telah membagi bumi menjadi dua belahan, yakni teroris dan bukan teroris. Tragedi WTC ini juga dipakai sebagai salah satu pembenaran untuk menginvasi Afghanistan. Atas nama pemberantasan terorisme dan menyebarkan demokrasi, AS tak cuma melancarkan invasi ke Afghanistan, melainkan juga ke Irak. Sayangnya, AS tidak jujur soal demokrasi dan kerap menerapkan standar ganda. Untuk mengantisipasi kemungkinan serangan-serangan teroris di masa depan, AS juga mengadopsi sebuah doktrin baru, yakni doktrin preemption. Dengan doktrin ini, AS secara sepihak memberikan hak kepada dirinya sendiri untuk mengambil tindakan terlebih dahulu, khususnya melalui tindakan militer unilateral, untuk menghancurkan apa yang dipersepsikannya sebagai kemungkinan ancaman teror terhadap kepentingan AS di mana saja. Boleh jadi, doktrin inilah yang memicu invasi Amerika ke Irak tahun 2003. Tragedi WTC akhirnya membuahkan kebijakan-kebijakan pemerintah AS yang memojokkan umat Islam. Para pendatang dari dunia Islam harus menunggu cukup lama untuk memproleh visa. Para mahasiswa dari dunia Islam yang kembali berlibur juga harus menunggu hasil pemeriksaan identitas oleh Departemen Luar Negeri AS sebelum mereka dapat melanjutkan kembali studinya disana. Bush melalui RAND Corporation juga meluncurkan kebijakan klasifikasi terhadap umat Islam berdasarkan kecendrungan dan sikap politik mereka terhadap Barat dan nilai-nilai Demokrasi (Fundamentalis, Moderat, Tradisional dan Liberal). Setelah membagi-bagi umat Islam atas 4 kelompok itu, langkah berikutnya yang direkomendasi RAND Corporation adalah politik belah bambu. Mendukung satu pihak dan menjatuhkan pihak lain, berikutnya membentrokkan antar kelompok tersebut. Tak hanya itu saja, Sekurangnya di 24 negara muslim, AS secara diam-diam telah mendanai radio Islam, acara-acara TV, kursus-kursus di sekolah Islam, pusat-pusat kajian, workshop politik, dan program-program lain yang mempromosikan Islam moderat ala Amerika. Dari eranya George W. Bush, kita paham bahwa AS punya Kebijakan Hard power dan Soft power.
Terakhir kita bahas bagaimana Obama memperlakukan Islam. Dalam wawancara dengan jaringan televisi satelit Al-Arabiya yang berbasis di Dubai, Uni Emirat Arab 26 Januari 2009, wawancara pertamanya sejak dilantik menjadi Presiden AS, Barack Obama mengatakan bahwa Amerika Serikat bukan musuh Islam. Dikatakan bahwa tugas Obama kepada negara-negara muslim adalah mengomunikasikan bahwa AS bukan musuh negara Islam. Hal ini ditegaskan kembali oleh Obama ketika mengunjungi Indonesia, bahwa pemerintah AS telah berusaha melakukan kerja sama dengan dunia muslim termasuk Indonesia melalui berbagai pendekatan yang dilakukan dengan tulus. Pendekatan seperti ini boleh disebut pendekatan soft power/non-militeristik. Pemikiran Obama hampir mirip dengan pemikiran Joseph Nye. Di mana soft power digambarkan sebagai kekuatan berdasarkan pengaruh-pengaruh yang tidak langsung, dan tidak kasat mata. Seperti budaya, nilai-nilai sosial, ideologi dan juga gagasan. Tapi perlu diingat, Se-soft power apapun Obama kepada umat Islam tetap saja dia tidak berdaya menghadapi polah tingkah Israel yang jelas-jelas mendzalimi saudara-saudara kita di Palestina. Sikap Obama terhadap Israel, tentu saja tidak berbeda dengan presiden-presiden AS pada periode sebelumnya. Jadi intinya, siapapun Presiden AS, akan selalu mendukung eksistensi Israel. Sebagian menduga Obama cuma cari muka dengan pendekatan soft power-nya ini, dan masih menerapkan politik standar ganda sebagaimana Presiden-presiden AS terdahulu. Wallahu’allam Bishowab.