Oleh Asyari Usman *
Syarat utama untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) ialah adanya “keadaan genting yang memaksa”. Maksudnya adalah, negara menghadapi ancaman serius. Menghadapi masalah yang harus segera ditangani tetapi terhalang oleh UU yang ada tidak bisa digunakan. Perlu ada revisi cepat, tidak bisa menunggu prosedur normal melalui DPR. Karena perlu cepat dan mendesak, dibuatlah Perppu oleh eksekutif.
Dalam konteks yang terjadi sekarang, Presiden Joko Widodo menandatangani Perppu No. 2 Tahun 2017, diumumkan 12 Jui 2017. Perppu ini dijadikan landasan hukum untuk membubarkan ormas-ormas Islam. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah target pertama.
Dari sisi momen, penerbitan Perppu dilakukan setelah dalam 6-7 bulan belakangan ini berlangsung serangkaian aksi damai umat Islam terkait dengan kasus penistaan agama dan pilkada Jakarta. Ada kesan Perppu ini dikeluarkan untuk memburu dan meberangus ormas-ormas yang dipandang mampu menghimpun dukungan besar terhadap aksi-aksi damai.
Aksi-aksi damai itu, kalau dibiarkan berlanjut, mampu membentuk opini tentang apakah pemerintahan Jokowi layak diteruskan ke periode kedua, atau tidak. Ini yang paling dikhawatirkan para pendukung beliau. Karena itu, aksi-aksi serupa harus dipadamkan ruhnya, harus dibubarkan. Ruh aksi-aksi itu adalah sejumlah ormas yang memiliki efektivitas dalam pengorganisasian massa. HTI adalah satu diantaranya.
Kebetulan saja, HTI bisa dijadikan alasan pembubaran. HTI dikatakan anti-Pancasila, anti-NKRI, berideologi transnasional, mau mendirikan negara Islam (khilafah), dlsb. Dengan “alasan lengkap” inilah diterbitkan Perppu 2/2017. Menkumham, Yasonna Laoly, mengatakan bahwa yang akan dibubarkan bukan HTI saja.
Pernyataan Laoly itu merupakan isyarat jelas untuk FPI. Ormas ini sangat efektif menggerakkan massa. Dan, kebetulan juga, FPI melakukan cara-cara yang tak disukai oleh para pelanggan tempat-tempat maksiat, oleh preman, oleh jaringan narkoba, oleh para penganut dan pendukung ajaran sesat, dlsb.
Dan, ada benarnya juga bahwa cara-cara FPI menumpas kemungkaran cenderung membuat lembaga-lembaga penegak hukum terlihat mandul. Jadi, klop sekali alasan untuk membidik FPI dengan laras Perppu. Ringkasnya, FPI dicap sewenang-wenang dan antikebinekaan. Dianggap anti-Pancasila juga.
Menkopolhukam, Wiranto, mengemukakan alasan bahwa Perppu diterbitkan untuk menjaga keutuhan negara, menjaga Pancasila, menjaga NKRI. Tetapi, apakah logis HTI dan FPI mampu membubarkan Indonesia? Mampu mengganti Pancasila? Apakah mungkin HTI dan FPI mau berhadapan dengan TNI dan komponen masyarakat lainnya yang akan menghadang kedua ormas ini? Bukankah selama ini belum pernah terdengar mereka terlibat aksi-aksi bom panci maupun tindakan-tindakan lain yang menjurus ke penggantian dasar negara?
Sekali lagi, HTI memang “mengimpikan” khilafah. Tetapi, sekuat apa rupanya HTI? Sudah berapa banyak senjata yang mereka miliki? Secanggih apa jaringan yang mereka bangun? Mana lebih kuat badan-badan intelijen Indonesia dibanding mereka?
Lagi pula, HTI bukan gerakan bawah tanah. Sangat mudah untuk menangkapi mereka kalau terbukti sebagai penyebab kegentingan situasi negara.
Jadi, banyak yang “gagal paham” terkait penerbitan Perppu 2/2017. Semua orang berusaha mencari di mana letaknya “kegentingan yang memaksa”. Apa yang sedang genting?
Rakyat tidak melihat itu. Tidak melihat ancaman keamanan negara. Yang barangkali genting adalah posisi Presiden Jokowi dalam menghadapi pilpres 2019. Sebab, kalau ormas-ormas yang efektif itu dibiarkan terus berkiprah membangun opini publik, maka sangat nyata ancaman terhadap periode kedua Jokowi.
Kalau ini yang disebut “kegentingan yang memaksa”, kita setuju seratus persen.
(Penulis adalah wartawan senior)
https://m.eramuslim.com/resensi-buku/konspirasi-penggelapan-sejarah-indonesia-eramuslim-digest-edisi-10.htm