Israel menghentikan serangannya di Jalur Gaza Palestina (Minggu, 18/1) lalu. Gencatan senjata sepihak dilakukan Israel saat mendekati hari pelantikan Presiden AS Barack Obama (Selasa, 20/1). Apa yang dilakukan Israel dengan mengumumkan gencatan senjata sepihak jelas wajar sebagai bentuk penghormatan terhadap sekutunya.
Sekitar 12 jam sejak pengumuman gencatan senjata sepihak oleh Israel, Hamas yang membaca situasi turut juga mengumumkan gencatan senjata. Lebih tegas lagi, Hamas mengajukan syarat agar pasukan militer Israel hengkang dari wilayah Jalur Gaza Palestina dengan batas waktu sepekan sejak gencatan senjata diumumkan. Apa yang dilakukan Hamas itu merupakan kecerdasan sekaligus menunjukkan kewibawaan dalam peperangan.
Dilihat sepintas, gencatan senjata yang diumumkan kedua belah pihak belum menandakan peperangan akan berakhir. Dengan kata lain, Israel masih dimungkinkan menyerang Jalur Gaza Palestina dan Hamas akan berjuang menjaga Jalur Gaza dari ancaman perang Israel. Asumsi peperangan belum akan berakhir tentu saja bisa dipahami karena gencatan senjata dalam perang tidak identik dengan penghentian perang secara permanen. Gencatan senjata hanyalah penghentian perang secara sementara dan sewaktu-waktu bisa timbul lagi akibat ”letupan” berbagai faktor penyebab perang.
Pun, pengalaman telah menjelaskan fakta tak usainya nafsu perang Israel. Siapa pun boleh saja mengapresiasi positif gencatan senjata di Jalur Gaza Palestina, namun Israel tetaplah Israel yang memiliki tujuan ”menghabisi” Palestina. Jika saat ini digelar pertemuan-pertemuan untuk menciptakan perdamaian, itupun hanya agenda yang cenderung memboroskan biaya. Tak ada hasil positif dari pertemuan-pertemuan selama ini yang katanya ingin menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Tabiat Israel pun tampak benderang sebagai negeri palsu yang suka melakukan pengkhianatan dan pelanggaran tidak hanya pada perjanjian-perjanjian, tapi juga norma-norma internasional.
Dalam hal ini, kita patut menyayangkan pertemuan-pertemuan yang biasa digelar untuk menyelesaikan permasalahan Palestina. Tak ada solusi yang benar-benar ingin menuntaskan permasalahan Palestina. Sebagaimana dikatakan di atas, pertemuan-pertemuan selama ini cenderung sekadar menghabiskan biaya tanpa hasil signifikan. Padahal jelas, solusi atas Palestina adalah melenyapkan Israel dari tanah Palestina atau bahasa halusnya meminta Israel meninggalkan negeri yang dijajahnya selama ini. Namun, solusi itu tak pernah dikemukakan dan tidak menjadi gagasan rasional para pimpinan yang menghadiri berbagai pertemuan.
Tentu saja, kita dituntut jernih memandang persoalan Palestina. Apa yang terjadi di Palestina adalah ulah Israel dengan Zionismenya yang berbuat kezaliman di tanah Palestina. Seperti di negeri kita, Belanda juga berbuat kezaliman terhadap tanah Indonesia selama 3,5 abad lebih. Atas kezaliman itu, pejuang-pejuang Indonesia berkehendak dan berjuang kuat untuk mengusir Belanda. Sebagaimana pejuang-pejuang Indonesia yang sekuat daya mengusir Belanda, pejuang-pejuang Palestina juga sekuat daya mengusir Israel dari tanah Palestina. Yang perlu diingat, perjuangan Indonesia tidak sekadar berhadapan dengan penjajah Belanda, tapi juga berhadapan dengan warga Indonesia. Tak dimungkiri jika ada sebagian warga Indonesia yang berkhianat dan lebih memihak ke Belanda pada zaman penjajahan. Seperti itulah yang terjadi di Palestina dimana ada pihak yang tulus berjuang dan ada juga pihak yang malah pro terhadap penjajah Israel. Pihak yang pro-penjajah biasanya selalu saja mengikuti otak dari penjajah meskipun harus melukai bangsanya sendiri.
Yang jelas, alangkah aneh ada pihak di Palestina yang justru ”welcome” dengan Israel yang nyata-nyata telah menginjak-injak tanah Palestina. Pejuang-pejuang Indonesia pun pasti tidak akan menerima jika tanah Surabaya, misalnya, masih diduduki kaum penjajah. Surabaya adalah tanah Indonesia yang tentu saja harus dibebaskan dari pendudukan dan penjajahan. Mana mungkin para pejuang Indonesia bisa tidur tenang jika sebagian wilayah Indonesia masih diduduki kaum penjajah meskipun sebagian wilayah lainnya merdeka. Begitu pun pejuang-pejuang Palestina pasti akan berbuat sebagaimana pejuang-pejuang Indonesia bahwa kemerdekaan adalah pembebasan seluruh tanah dari pendudukan dan penjajahan. Tanah Palestina tidak hanya Jalur Gaza dan Tepi Barat. Masih luas tanah Palestina yang diduduki Israel yang ingin dibebaskan pejuang-pejuang Palestina. Bukankah aneh jika ada pihak di Palestina yang merasa nyaman bersanding dengan pihak Israel padahal Yerusalem tak lagi sepenuhnya dalam genggaman? Bukankah aneh jika ada pihak di Palestina yang bisa nyenyak memejamkan mata dan bercengkerama ria dengan Israel padahal kaki-kaki Israel masih menginjak-injak Masjid Al-Aqsha yang merupakan wilayah Palestina? Bukankah aneh jika ada pihak di Palestina yang bisa tetap tenang meskipun tanah di Palestina menyusut dicaplok Israel?
Sebagaimana pejuang-pejuang Indonesia, pejuang-pejuang Palestina akan berjuang membebaskan tanah Palestina dari pendudukan dan penjajahan. Jika sebuah kemerdekaan diraih dengan pemberian kaum penjajah, itu jelas pandangan menyesatkan. Pejuang-pejuang Palestina menyadari bahwa kemerdekaan dicapai melalui pengorbanan dan perjuangan sekaligus pertolongan Allah SWT, bukan pemberian cuma-cuma Israel.
Kita tentu ingat orasi Bung Tomo pada 10 November 1945, ”…Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap, Merdeka atau Mati. Dan kita yakin, Saudara-saudara. Akhirnya, pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar…”
Ya, kemenangan akan jatuh di tangan pejuang-pejuang Palestina yang menyerahkan totalitas hidupnya hanya untuk Allah SWT dengan mengusir Israel dari tanah Palestina. Adapun Zionis Israel adalah batil dan kebatilan akan lenyap. Allahu Akbar!!!
HENDRA SUGIANTORO
Pekerja media di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)