“Suatu bangsa tidak akan maju sebelum ada diantara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya!” M Natsir.
Pengorbanan adalah kata yang mulai asing di negeri ini. Badai Korupsi yang melanda para pejabat Negara adalah tanda hilangnya akhlak para pahlawan didalam diri pejabat Negara. Mereka menjadi pejabat bukan lagi mengorbankan kepentinganya untuk rakyat , tetapi dengan tujuan-tujuan pragmatis yang justru mengorbankan kepentingan rakyat untuk dirinya.
Begitu banyaknya kasus Korupsi di negeri ini bukan berarti tidak ada lagi harapan untuk bangkit. Sejarah mencatat, Indonesia pernah melahirkan pahlawan-pahlawan yang hebat. Mereka mengorbankan segala kepentingan pribadinya untuk kepentingan rakyat. Meninggalkan segala kemewahan dan menolak tunduk terhadap penjajahan. Semua itu tidak lahir begitu saja, karena pengorbanan bukanlah karakter yang instan. Jiwa Berkorban lahir dari tempaan yang teratur dan bertahun-tahun hingga tajam menancap direlung jiwa para pahlawan Indonesia.
Muhmmad Natsir adalah salah satu pahlawan yang mengasah jiwa berkorbanya semenjak muda. Setelah lulus dari AMS (Algemere Middlenare School) bandung Natsir lebih memilih mengorbankan beasiswa studinya ke Belanda dan lebih memilih membangun sekolah Pendidikan Islam (Pendis).
Natsir Muda dan Pendis
Ketika mendirikan Pendis usia Natsir masih tergolong muda. Pendis didirikanya setelah ia selesai menjalankan kursus guru di Lager Onderwijs pada tahun 1932 pada waktu itu umur Natsir baru 24 Tahun.
Digambarkan dalam buku 70 tahun Mohammad Natsir ditengah konsisi Pendis yang butuh banyak pendanaan, beliau melakukan pernikahannya.
“Isterinya yang selanjutnya disebut ummi, tahu bahwa jalan hidup yang ditempuh natsir sama sekali tidak memberi jaminan hasil yang tetap. Tidak mempunyai masa depan. Ummi rela dan berani naik perahu Natsir yang oleng itu, sama-sama menempuh samudera hidup yang penuh risiko. “
Tidak jarang pula M. Natsir melakukan perjalanan ke daerah-daerah menemui beberapa pengusaha untuk memungut zakatnya demi keperluan “Pendis”. Perjalanan yang beliau lakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan perjuangan “Pendis” bukan untuk menumpuk kekayaan.
Sedari Muda Natsir sudah membiasakan diri untuk melatih rasa berkorbanya dan mementingkan kepentingan Agama dan Rakyat Indonesia.
Pesan Pengorbanan Natsir
Menurut Natsir , hidup dengan menghidupi masyarakat luas jauh lebih mulia daripada sekedar menghidupi keluarga. Natsir menyerukan pemuda terdidik untuk turut serta dalam dunia pendidikan walaupun harus mengorbankan pekerjaan yang menjamin kehidupan yang layak.
“Kita hadapankan sedikit pandangan ini kepada pemuda-pemuda kita yang ingin bekhidmat kepada Tanah air dan Bangsanya. Pendidikan! Inilah lapangan pekerjaan kita yang amat kekurangan tenaga di zaman sekaran dan di masa depan ini! Inilah lapangan pekerjaan yang amat hajat kepada bantuan. Berilah, tenaga muda tuan-tuan untuk pendidikan rakyat, pokok dari semua kecerdasan dan kemjuan bangsa/ pekerjaanya sudah dan sulit berkehendak kepada ketabahan hati.Kalau tidak tuan-tuan yang muda-muda yang mau bersukar, bersulit dan bertabah hati itu, siapa lagi?…..”[1]
Seruan Natsir agar pemuda memenuhi panggilan bangsa untuk mengajar bukanlah suatu retorika. Natsir sudah melakukannya terlebih dahulu dan meninggalkan mimpinya untuk mendapatkan gelar meester in de Rechten (MR) di Belanda.
Karakter Rela Berkoban menjadi perhatian khusus Natsir terhadap permasalahan bangsa Indonesia.bahkan pesan ini juga beliau sampaikan ketika mulai terlihat perilaku masyarakat yang mulai pragmatis dan materialistis.Dalam Pidato Kemerdekaan Indonesia yang ke 6. Natsir menyuarakan kegelisahanya :
Hari ini, kita memperingati hari ulang tahun negara kita. Tanggal 17 Agustus adalah hari yang kita hormati. Pada tanggal itulah, pada 6 tahun yang lalu, terjadi suatu peristiwa besar di tanah air kita. Suatu peristiwa yang mengubah keadaan seluruhnya bagi sejarah bangsa kita. Sebagai bangsa, pada saat itu, kita melepaskan diri dari suasana penjajahan berpindah ke suasana kemerdekaan…
Kini!
Telah 6 tahun masa berlalu. Telah hampir 2 tahun negara kita memiliki kedaulatan yang tak terganggu gugat. Musuh yang merupakan kolonialisme, sudah berlalu dari alam kita. Kedudukan bangsa kita telah merupakan kedudukan bangsa yang merdeka. Telah belajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Telah menjadi anggota keluarga bangsa-bangsa. Penarikan tentara Belanda, sudah selesai dari tanah air kita. Rasanya sudahlah boleh bangsa kita lebih bergembira dari masa-masa yang lalu. Dan memang begitulah semestinya!
Akan tetapi, apakah yang kita lihat sebenarnya?
Masyarakat, apabila dilihat wajah mukanya, tidaklah terlalu berseri-seri. Seolah-olah nikmat kemerdekaan yang telah dimilikinya ini, sedikit sekali faedahnya. Tidak seimbang tampaknya laba yang diperoleh dengan sambutan yang memperoleh!
Mendapat, seperti kehilangan!
Kebalikkan dari saat permulaan revolusi. Bermacam keluhan terdengar waktu itu. Orang kecewa dan kehilangan pegangan. Perasaan tidak puas, perasaan jengkel, dan perasaan putus asa, menampakkan diri. Inilah yang tampak pada saat akhir-akhir ini, justru sesudah hampir 2 tahun mempunyai negara merdeka berdaulat.
Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau.
Mengapa keadaan berubah demikian?
Kita takkan dapat memberikan jawab atas pertanyaan itu dengan satu atau dua perkataan saja. Semuanya harus ditinjau kepada perkembangan dalam masyarakat itu sendiri. Yang dapat kita saksikan ialah beberapa anasir dalam masyarakat sekarang ini, di antaranya:
Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu, dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang di luar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!… ”
”Saudara baru berada di tengah arus, tetapi sudah berasa sampai di tepi pantai. Dan lantaran itu tangan saudara berhenti berkayuh, arus yang deras akan membawa saudara hanyut kembali, walaupun saudara menggerutu dan mencari kesalahan di luar saudara. Arus akan membawa saudara hanyut, kepada suatu tempat yang tidak saudara ingini… Untuk ini perlu saudara berdayung. Untuk ini saudara harus berani mencucurkan keringat. Untuk ini saudara harus berani menghadapi lapangan perjuangan yang terbentang di hadapan saudara, yang masih terbengkelai… Perjuangan ini hanya dapat dilakukan dengan enthousiasme yang berkobar-kobar dan dengan keberanian meniadakan diri serta kemampuan untuk merintiskan jalan dengan cara yang berencana.”[2]
Pidato yang disampaikan natsir 62 tahun yang lalu masih sangat relevan dengan permasalahan masyarakat Indonesia hari ini. Pejabat-pejabat yang tertangkap korupsi hanyalah setetes air di tengah samudera yang hitam kelam.
Teladan M.Natsir dalam pengorbanan memiliki pesan bahwa pengorbanan seorang pemimpin tidak boleh setengah-setengah. Pengorbanan yang tidak dilakukan sepenuh hati hanya akan melemahkan dirinya dan umat yang dipimpinya.