Sehingga, banyak orang yang takut berurusan dengan polisi. Seragam dinas, struktur dan atribut-atribut kepangkatan di kepolisian bisa membuat orang merasa lebih rendah dari polisi. Jangan-jangan para komisioner Komnas HAM pun merasa begitu.
Hambatan psikologis berupa ‘inferiority complex’ di kalangan para komisioner Komnas itu hampir pasti akan memancarkan rasa takut. Termasuk takut kalau hasil penyelidikan mereka akan memojokkan Kepolisian.
Gelagat kedua adalah tindakan Komnas membuat klarifikasi tentang “rumah penyiksaan”. Sempat viral berita bahwa Komnas menemukan “locus delicti” (TKP) berupa tempat penyiksaan para anggota FPI sebelum mereka ditembak mati. Komnas kemudian membantah. Mereka mengatakan pihaknya tidak pernah menemukan atau pun menyebut “rumah penyiksaan”.
Bantahan dari Komnas itu mengindikasikan bahwa mereka sensitif sekali dengan isu ini. Seolah-olah ada yang menghendaki agar “rumah penyiksaan” itu tidak masuk dalam daftar bukti.
Sebetulnya, Komnas tidak perlu membantah. Cukup mereka persilakan publik menunjukkan dan menyelidiki “locus delicti” yang dimaksud. Jika masyarakat tidak bisa menghadirkan bukti itu, maka kabar tentang “rumah penyiksaan” akan terbantah dengan sendirinya.
Gelagat ketiga adalah posisi Komnas HAM yang enggan berkeras untuk membentuk tim pencari fakta independen (TPFI). Sangat aneh sikap yang ditunjukkan oleh Komnas. Sebagai lembaga yang mandiri dan dilindungi oleh UU, para komisioner Komnas tidak perlu takut. Dari sisi politik dan konstitusional, Komnas HAM memiliki basis dukungan dan landasan yang kuat.
Sangat mungkin gelagat-gelagat berikut akan muncul satu per satu di babak-babak selanjutnya. Karena itu, masih adakah harapan pada Komnas HAM untuk menyelidiki tuntas pembunuhan KM-50?[FNN]
(Penulis wartawan senior FNN.co.id)