Dari puluhan orang yang diduga teroris dan ditembak mati, dapat dipastikan banyak diantaranya yang dibunuh tanpa alasan pasti. Bahkan beberapa catatan menunjukkan, berulangkali Densus 88 menembak mati orang yang tidak bersalah.
Kasus Cililitan mengingatkan kita akan memori tsb. Dua orang yang menurut polisi adalah teroris ditembak mati pada Selasa (8/5/2010). Namun akhirnya tidak diketahui siapa kedua orang tersebut. Anehnya, sang penembak mati (anggota Densus 88) sendiri tidak tahu siapa orang itu. Di batu nisan makam korban, namanya tertulis Mr X.
Di Bandung, Densus 88 menangkap seorang tersangka teroris bernama Untung Budi Susanto (43) pada hari Ahad (12/6/2011) . Saat ditangkap, Untung dalam kondisi sehat. Namun baru sehari dalam masa interogasi, ia meninggal. Selasa (14/6) jenazahnya diantar kepada keluarganya oleh Densus 88 dalam peti mayat untuk dikuburkan. Rumahnya dijaga ketat belasan Densus 88 dengan senjata lengkap. Keluarganya diancam Densus 88 agar tidak melakukan tiga hal; membuka jenazah korban, melaporkan kepada TPM, dan menghubungi media massa.
Di Tanjung Balai, Medan, (24/9/2010) empat orang yang sedang menunaikan shalat Maghrib diberondong peluru Densus 88. Dua diantaranya tewas. Khairul Ghazali yang memimpin shalat itu diinjak-injak di depan keluarganya.
Itu adalah beberapa contoh kasus, masih banyak puluhan kasus sadis dan memilukan lainnya yang dihadapi korban “pembunuhan berencana” Densus 88. Tidak sekadar membunuh dengan sadis, Densus 88 juga kadang melakukan tindakan keji dan zalim terhadap jenazah korban, salah satu contoh adalah bola mata salah satu jenazah terduga “Teroris Ciputat” hilang dicongkel. Menurut Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya, tindakan biadab tersebut merupakan tindakan di bawah kendali aparat Densus 88 dan BNPT yang perlakuannya mirip dengan terduga teror bom Mapolres Poso, Zainul Arifin, dimana saat itu korban dibawa ke RS Polri dalam keadaan bola mata almarhum masih lengkap. Tapi begitu dipulangkan ke keluarga almarhum, kondisi jenazah sangat mengerikan. Kedua matanya complong karena bola matanya hilang dicongkel.
Mirip Pembunuh Bayaran
Siapapun yang menyimak sepak terjang Densus 88 dalam melakukan operasinya, mereka tak ubahnya seperti pembunuh bayaran. Di kota-kota besar Indonesia, seperti Jakarta, tidak sulit untuk mencari pembunuh bayaran atau orang yang bersedia dibayar untuk melenyapkan nyawa seseorang. Mereka umumnya adalah alumni lembaga pemayarakatan (LP) alias mantan napi. Biasanya setelah ada kata sepakat antara sang penyewa dengan sang pembunuh bayaran, sang pembunuh bayaran professional akan menggali informasi sebanyak mungkin dari sang penyewa tentang targetnya.
Informasinya menyangkut nama lengkap, alamat hingga kebiasaan sang target sehari-hari. Informasi tersebut dikonfirmasi melalui observasi langsung selama beberapa hari. Kemudian, sang pembunuh bayaran akan menentukan waktu, lokasi hingga alat yang digunakan untuk menghabisi dan membunuh korban. Dengan kecermatan seperti itu kemungkinan melesetnya target justru sangat minim dibanding dengan apa yang dilakukan Densus 88, “pembunuh bayaran” yang satu ini malah sering meleset dalam mengeksekusi target atau memang mungkin sengaja mencari target secara acak untuk menyenangkan tuan pembayar.
Berbeda dengan pembunuh bayaran yang menyusun rencana agar eksekusi dapat dilakukan sesingkat mungkin dan saksi seminim mungkin untuk selanjutnya menentukan tempat persembunyian pasca eksekusi, Densus 88 justru melakukan aksi dengan sebaliknya, mereka akan menyusun rencana agar eksekusi dapat dilakukan dengan durasi selama mungkin agar terkesan lebih dramatis dan menegangkan untuk menguatkan asumsi banyak pihak bahwa para terduga teroris itu melakukan perlawanan saat hendak ditangkap.
Pembunuh bayaran membunuh target dengan sembunyi-sembunyi, Densus 88 justru sangat demonstratif, dilakukan rame-rame, bersenjata lengkap, memakai seragam resmi, dan penuh percaya diri karena mendapat legalitas dan justifikasi dari institusi. Sehingga siapapun masyarakat yang menyaksikan aksi mereka pasti akan memberikan apresiasi dan dukungan penuh bahwa mereka adalah penumpas teroris. Benar-benar pembunuh bayaran yang paling nyaman beraksi.
Siapa yang Bayar?
Pasca peristiwa penghancuran menara kembar WTC pada 9/11 2001 silam, AS telah membagi dunia menjadi dua bagian; ikut bersama teroris atau ikut bersama AS untuk menumpas mereka. Negara yang memilih ikut bersama teroris, maka dia akan mendapat stick (tongkat) dari AS sebagai simbol perlawanan sehingga layak untuk dipukul (diperangi), dan negara yang memilih bersama AS, maka dia akan mendapatkan carrot (wortel) sebagai simbol dukungan untuk bersama seiring sejalan melakukan agenda besar yang kemudian dikenal sebagai war on terrorism. Sebagai mitra AS sejak zaman Orde Baru, tentu saja Indonesia memilih opsi kedua, sebab para kacung AS yang notabene adalah para penguasa negeri ini tak ingin tuannya marah. Maka sejak saat itu berbagai MoU untuk penanggulangan bahaya terorisme banyak ditandatangani.
Berdasarkan data Human Right Watch tentang couter terorism yang dilakukan AS, pembentukan Densus 88 di Indonesia pada tahun 2002 (setahun setelah peristiwa 9/11) didanai AS sebesar 16 Juta Dollar. Pada tahun 2001, Polri juga telah menerima dana untuk penanganan terorisme sebesar 10 Juta Dollar. Dana untuk penanggulangan terorisme yang dikeluarkan AS tersebut setiap tahunnya mengalami peningkatan. Dana penanggulangan terorisme pada tahun 2007 sebesar 93 Milyar dollar, dan untuk tahun 2008 sebesar 141 Milyar dollar untuk seluruh dunia.
Jadi jelaslah Amerika Serikat adalah pihak pembayar bagi para “pembunuh bayaran” berseragam itu selain tentunya negara tetangga Australia.
Mengapa Harus Dibunuh?
Prosedur tembak mati di tempat yang dilakukan Densus 88 terhadap para terduga teroris menuai banyak kecaman. Menurut Komisioner Komnas HAM, Siane Indriani, apabila memang para terduga teroris itu sudah lama diintai, Densus 88 mestinya punya banyak kesempatan untuk menangkap para terduga teroris itu hidup-hidup dan tidak perlu dibunuh. Selain itu, Polri juga memiliki alat canggih seperti CCISO (Cyber Crime Investigation Satelit Operation) yang bisa menyadap dan mendeteksi dimanapun keberadaanya, atau bisa juga menembakkan senjata atau gas pembius untuk membuat terduga pingsan, dan cara lainnya. Intinya jika ini dilakukan secara profesional tentu tidak perlu ada penembakan mati.
Terlebih penggerebeg-an kadang dilakukan di desa terpencil, dengan lokasi berbukit-bukit, ini memungkinkan terduga ditangkap hidup-hidup. Jika memang benar para terduga teroris itu dicurigai terlibat aksi terorisme sebagaimana yang disangkakan Densus 88, tentunya lebih menguntungkan jika ditangkap dalam keadaan hidup karena mereka belum tentu bersalah.
Sejauh ini sudah sekitar 110 korban yang ditembak mati Densus 88 tanpa proses pengadilan. Justru sebagian besar korban ditembak dalam kondisi tidak berdaya. Siane Indriani menuturkan hingga saat ini, tak ada prestasi membanggakan yang ditunjukkan Densus 88 dalam upaya pengungkapan sejumlah kasus terorisme. Aksi tembak mati sesungguhnya hanya akan menstimulasi tindakan balas dendam dan menumbuhsuburkan teror-teror berikutnya secara berkelanjutan.
Kiat Islam Menanggulangi Terorisme
Sebagai agama dan ideologi yang lengkap dan sempurna, Islam telah memberikan solusi yang jelas dan tegas terhadap tindakan teror. Tindakan teror, baik secara verbal maupun fisik, sama-sama diharamkan oleh Islam. Nabi menyatakan, “Siapa saja yang meneror orang Islam demi mendapatkan ridha penguasa, maka dia akan diseret pada Hari Kiamat bersamanya.” (Lihat, as-Suyuthi, Jami’ al-Masanid wa al-Marasil, VII/44). Teror yang dimaksud di sini bisa berbentuk verbal maupun fisik. Demikian juga hadits Nabi, “Siapa yang menghunus pedang terhadap seorang Muslim, maka benar-benar telah menumpahkan darahnya.” (Lihat, as-Syaibani, Syarah as-Sair al-Kabir, I/6). Kedua hadits ini jelas mengharamkan tindakan teror. Karena itu, tindakan ini dianggap pelanggaran syar’i (mukhalafah syar’iyyah), dan merupakan bentuk krimininal (jarimah).
Dalam Islam, setiap pelanggaran ada sanksinya, sesuai dengan bentuk dan kadarnya. Jika tindakan teror yang dilakukannya menyebabkan hilangnya nyawa orang banyak, maka menurut mazhab Hanafi, orang tersebut harus dibunuh, tidak perlu membayar diyat. Namun, menurut Imam as-Syafii, itu belum cukup. Selain harus dibunuh, dia diwajibkan membayar diyat kepada seluruh keluarga korban. Alasannya, karena nyawa yang dia renggut lebih dari satu. Jika di-qishash, maka nyawanya hanya berlaku untuk satu korban, sementara korban yang lain belum mendapat bagian. Karena itu, dia wajib membayar diyat, agar defisit qishash tersebut bisa ditutup (Lihat, as-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/99).
Namun, jika tindakan teror yang dilakukan tidak sampai menyebabkan hilangnya nyawa, tetapi hanya menimbulkan hilangnya anggota badan, maka Islam menetapkan diyat untuk masing-masing. Dengan ketentuan: (1) Jika anggota badan tersebut hanya mempunyai satu organ, maka jika organ tersebut terluka, wajib dibayar 100 unta; (2) Jika terdiri dari dua organ, dan yang terluka hanya salah satu, seperti telinga sebelah kiri, maka wajib dibayar 50 unta; (3) Jika terdiri dari sepuluh bagian, seperti jari, maka setiap jari wajib dibayar 10 unta. Diyat ini berlaku, jika organ tersebut hilang. Namun, jika hanya terluka, dan luka tersebut luka dalam, maka diyat yang harus dibayar adalah sepertiga (Lihat, al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat).
Demikian juga terkait dengan harta yang dirusak, dan kehormatan wanita yang direnggut, semuanya ada balasannya. Semuanya ini telah dirinci dan dibahas oleh para fuqaha, dan banyak kita temukan rinciannya di dalam kitab-kitab fiqih mereka. Inilah ketentuan Islam terkait dengan teror yang mengakibatkan hilangnya nyawa, harta dan kehormatan, dilihat dari aspek tindakan kriminalnya. Dalam Islam, negara (Khilafah) akan mengontrol dan menghukum mereka dengan menerapkan hukum-hukum peradilan yang terkait.
Semuanya ini dilakukan berdasarkan bukti, dan tidak boleh ada sanksi apapun yang dijatuhkan kepada mereka hanya karena “diduga”. Sebab, prinsip pengadilan dalam Islam adalah, al-ashl bara’tu ad-dzimmah (asas praduga tidak bersalah). Islam membolehkan dilakukannya penangkapan, jika ada indikasi kuat yang mengarah kepada pelaku, agar bisa ditanya. Meski begitu, dengan tegas Islam mengharamkan penyiksaan, teror dan sejenisnya terhadap orang yang diduga atau dituduh sebagai pelaku. Islam mengharamkan aktivitas spionase terhadap mereka, termasuk menyadap telpon, email dan sebagainya.
Namun, larangan spionase tersebut dikecualikan terhadap Ahl Raib. Meski boleh jadi mereka adalah Muslim, tetapi karena keterkaitan mereka dengan orang Kafir Harbi fi’lan, dan kebolehan untuk memata-matainya, maka hal yang sama juga berlaku terhadap Ahl Raib ini. Meski demikian, kebolehan tersebut dibatasi dengan dua syarat: Pertama, jika Departemen Perang dan Keamanan Dalam Negeri menyatakan, bahwa hasil pengawasannya membuktikan mereka terlibat dengan negara kafir harbi fi’lan. Kedua, hasil pengawasan tersebut kemudian diserahkan kepada Qadhi Hisbah, dan Qadhi Hisbah menyatakan bahwa aktivitas mereka bisa membahayakan Islam dan kaum Muslim. Jika dua syarat ini terpenuhi, maka negara melalui Departemen Keamanan Dalam Negeri bisa memata-matai mereka. Namun, jika dua syarat tersebut tidak terpenuhi, tidak boleh.
Dengan cara seperti itu, negara akan bisa menyelesaikan masalah terorisme dari akar-akarnya. Solusi yang dibangun berdasarkan fakta kejahatan yang memang benar-benar telah dilakukan oleh pelakunya, bukan sekedar dugaan, apalagi rekayasa demi kepentingan politik penguasa komprador dan majikannya. Jadi bisa dihitung berapa sanksi yang akan Allah timpakan kepada para “pembunuh bayaran” berseragam itu? Wallahu a’lam.
*Penggiat Perubahan Berbasis Islamic Ideology, Penulis Buku “A Big Change; Catatan Kecil untuk Sebuah Perubahan Besar”
email: [email protected]