Peluang Parpol Islam dan Kebangkitan Islam dalam Pemilu 2014

partaioleh: Herly Maryani, S.Pt, M.Pd 

Tahun 2014 ini banyak orang yang menyebutnya sebagai tahun politik. Karena pada tahun inilah akan ada pesta demokrasi yakni Pemilu Legislatif, DPD, dan presiden dan wakil presiden. Saat ini masing-masih paprol, caleg DPR dan DPD dan bahkan para bakal calon presiden yang muncl di publik sudah mulai kampanye dan memoles dirinya untuk mencuri simpati masyarakat pemilih Indonesia.

Berbagai cara dilakukan para calon politisi tersebut untuk dapat meraih suara rakyat sebanyak-banyaknya. Bagi mereka yang berkantong tebal, kampanye dilakukan melalui iklan di berbagai media, baik cetak, maupun elektronik. Selain itu, ratusan bahkan ribuan pemflet, baliho, poster dengan ukuran besar terpampang di berbagai sudut-sudut kota dan kampung-kampung. Sehingga nyaris kampung dan kota-kota di seluruh Indonesia ini nyaris seperti hutan reklame dan baliho politik.

Namun apakah antusiasme calon politisi tersebut juga diikuti dengan antusiasme masyarakat pemilih? Ternyata, antusiasme politik para calon politisi ini tak berbanding lurus dengan antusiasme masyarakat. Masyarakat kurang peduli terhadap hajatan lima tahunan tersebut. Bahkan saat ini, pemilih sudah mulai pesimis dan apatis terhadap Pemilu 2014. Indikasi ini setidaknya tercermin dari hasil survey (tarbaru) yang dilakukan lembaga survei Institut Riset Indonesia (Insis). Lembaga ini memprediksi partisipasi pemilih, khususnya pada Pilpres mendatang akan menurun dibandingkan Pilpres 2009. Insis menyebut sebanyak 51,3% responden menyatakan akan menggunakan hak pilihnya di Pilpres 2014. Angka itu menurun dibandingkan Pilpres 2009 sebesar 72,10%.

Bahkan di Pileg pun, partisipasi pemilih diprediksi akan menurun, sehingga tak salah, sebagian orang menilai Pemilu 2014 ini akan terancam dengan semakin meningkatnya angka golongan putih (Golput), yakni mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu karena berbagai alasan; baik karena ideologis, politis, teknis, maupun pragmatis.

Tanda-tanda pesimisme dan apatisme politik masyarakat terhadap Pemilu 2014 ini sudah mulai nampak, diantaranya adalah Pertama, gejala semakin merosotnya partisipasi pemilih pada Pilkada di banyak tempat. Jumlah mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya semakin membesar, yakni berkisar antara 30-40%. Bahkan di beberapa tempat sudah mencapai angka lebih 50%.

Kondisi tersebut jelas sangat mengkhawatirkan pemerintah dan parpol, sehingga tidak heran banyak juga jargon-jargon yang mengajak untuk tidak Golput, bahkan sampai menggunakan lembaga formal seperti MUI untuk mencegah Golput dengan memfatwakan haram bagi yang tidak ikut menyampaikan suaranya di TPS.

Berbagai asumsi muncul untuk memastikan larangan Golput, seperti diantaranya adalah ‘jika kita Golput maka peluang kemenangan parpol Islam akan kecil sehingga yang menang adalah parpol non Islam atau parpol sekuler sehingga peluang Islam diterapkan semakin jauh dari kehidupan. Dan perubahan akan semakin jauh dari harapan’. Benarkah demikian?

 

Perjalanan Parpol Islam di Indonesia

Sepanjang sejarahnya setelah kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah melaksanakan 10 kali pemilu. Dari seluruh pemilu tidak pernah ketinggalan diikuti juga oleh partai-partai Islam. Pemilu pertama yang dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 pada masa pemerintahan kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap (Masyumi), diikuti oleh 118 peserta dari organisasi partai politik, organisasi kemasyarakatan maupun perorangan. total perolehan suara parpol Islam sebesar 43,7%. Kemudian, pada pemilu tahun 1999, yakni pemilu pertama pasca-Orde Baru, total perolehan semua Parpol Islam melorot ke angka 36,8%. Sedangkan pada pemilu tahun 2004, memang total perolehan suara parpol Islam sempat naik 1,3% dibanding tahun 1999, yakni menjadi 38,1%.

Pada pemilu 2004, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) masih menempati posisi ketiga perolehan suara, yakni memperoleh dukungan sebesar 10,6%. Kemudian, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menempati posisi keempat karena memperoleh dukungan 8,1%, disusul partai nasionalis, Demokrat di peringkat kelima dengan perolehan suara sebesar 7,5%.

“Pada pemilu tahun 2009, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menempati posisi keempat perolehan suara nasional dengan dukungan 7,9%. Sedangkan Partai Amanat Nasional (PAN) di peringkat kelima dengan dukungan sebesar 6%,”  tren perolehan suara parpol Islam terus terjun bebas.

Namun dari catatan sejarah, perolehan suara parpol Islam, baik besar ataupun kecil sama saja hasilnya tidak terlalu memberikan pengaruh signifikan bagi perubahan Indonesia yang lebih baik, apalagi bagi Islam itu sendiri.

Hasil survei terbaru dari LSI (Lingkaran Survei Indonesia), Ajie Alfaraby  memaparkan, lima besar Perolehan suara akan disabet parpol berlandaskan nasionalisme atau kebangsaan, yakni Partai Golongan Karya (Golkar) di peringkat pertama karena mendapat 21,1% dukungan, disusul masing-masing PDIP (17,2%), Demokrat (14%), Gerindra (5,2%), dan NasDem (5%). Adapun parpol Islam hanya memperoleh dukungan suara di bawah 5%. Menurutnya, fenomena ini adalah kali pertama terjadi terhadap sejumlah parpol Islam sejak pemilu tahun 2004, 2009, dan pada survei-survei tahun sebelumnya, yakni perolehan suara parpol Islam tak satupun masuk dalam jajaran 5 besar perolehan suara nasional.

Dalam kajian SSS juga menyebutkan parpol berasas dan berbasis massa Islam cenderung menempati posisi papan bawah dalam memperoleh Parlementary Treshold seperti PPP 3,65% dan PKB 4,18%. Bahkan beberapa partai berbasis Islam menurut kajian SSS tidak lolos PT seperti PAN (2,54%), PKS (3,15%), dan PBB (0,87%). Kajian SSS itu menggunakan pendekatan Meta Analisis dari hasil survei 20 lembaga survei yang dirilis pada Februari hingga Desember 2013, dan juga menggunakan Focus Group Discussion (FGD). Sumber data diambil dari publikasi hasil survei, dokumentasi pemberitaan, dan studi pustaka. Skala kesalahan kajian itu 0,01%.

Namun di sisi lain SEM Institute merilis hasil surveinya yang menunjukkan mayoritas masyarakat Indonesia (72%) menginginkan syariah Islam diterapkan di berbagai aspek kehidupan termasuk dalam berbangsa dan bernegara. survei yang dilakukan pada 25 Desember 2013-Januari 2014 kepada 1498 responden dari berbagai kalangan di 38 kota di Indonesia,  mengkonfirmasi hasil survei lembaga rujukan pemerintah Amerika Pew Research Center yang dirilis 30 April 2013 yang menunjukkan 72% Muslim Indonesia menginginkan syariah sebagai landasan hukum dalam bernegara.

Dalam konferensi pers, Kusman Sadik, ahli statistik SEM Institute, (Rabu, 19/02) di Jakarta, yang bertema Survei Syariah: Membaca Aspirasi Politik Keumatan 2014, menyebutkan tingkat pengetahuan masyarakat (umat Islam) terhadap khilafah sebesar 64%. Dari yang tahu tersebut, 81% setuju dengan konsep negara khilafah dan 68%-nya yakin bahwa khilafah mampu menyatukan umat Islam sedunia dan bisa menjadi kekuatan untuk menghancurkan kedzaliman. Dan yang meyakini sistem pemerintahan dalam Islam hanya berbentuk khilafah/imamah 42%. Sedangkan yang meyakini sistem pemerintahan dalam Islam bisa berbentuk apa saja (monarki, kerajaan, republik, federasi, dll) ada 24%.

Kusman juga menyatakan ada delapan macam alasan mereka yang menolak diterapkannya syariah dan khilafah. Tiga besarnya adalah: (1) Indonesia negara majemuk (plural), harus menghargai agama lain, (2) Indonesia bukan negara Islam, tapi negara kesatuan berdasar Pancasila, dan (3) Masyarakat belum siap menerapkan syariat Islam, khawatir terjadi benturan.

Ini adalah kondisi yang bertolak belakang, satu sisi elektabilitas parpol Islam menurun namun sisi lain masyarakat menginginkan Syariah. Mengapa hal ini bisa terjadi?

 

Akar Masalah

Rendahnya elektabilitas parpol Islam dalam pemilu dinegeri yang  mayoritas muslim adalah disebabkan oleh faktor internal dan eksternal, faktor internalnya adalah pertama, partai-partai Islam yang ada tidak memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas dan tegas. Sebagai contoh, ketika mensikapi fenomena kepala negara perempuan hanya berkomentar, “Ini masalah fikih. Semua terserah rakyat.” Pada waktu didesak pendapatnya tentang syariah Islam, menjawab, “Syariah Islam itu kan keadilan, kebebasan, dan kesetaraan.” Kalau begitu, tidak ada bedanya dengan partai-partai umumnya. Ketika ramai membincangkan amandemen UUD 1945 tentang dasar negara, sebagian menyatakan, “Partai kami tidak akan mendirikan Negara Islam”,“Kembali kepada Piagam Jakarta”, dan partai Islam lainnya menyatakan ‘Indonesia ini plural harus kembali ke Piagam Madinah di mana tiap agama menjalankan hukum masing-masing’. Sikap demikian membuat umat menyimpulkan tidak ada bedanya antara partai yang menamakan partai Islam dengan partai lainnya.

Kedua, partai-partai secara umum hanya diperuntukkan bagi pemenangan Pemilu. Tidak ada upaya pencerdasan masyarakat. Kegiatannya terkait persoalan rakyat hanya digiatkan menjelang Pemilu. Dalam kurun waktu antara dua Pemilu, umumnya partai kurang aktif. Kalaupun aktif lebih disibukkan dengan aktivitas Pilkada untuk menggoalkan calonnya. Interpelasi masalah beras atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hanya panas-panas tahi ayam. Ujungnya, tidak ada penyelesaian.

Ketiga, tidak menjalankan metode yang jelas. Untuk melakukan perubahan di tengah masyarakat ditempuh dengan membuat undang-undang. Namun, jalannya dengan kompromi dan tambal sulam. Bahkan, berkoalisi antara partai Islam dengan partai nasionalis yang anti Islam, bahkan partai kristen yang jelas-jelas memproklamirkan dirinya ‘konsisten menentang syariah’. Kalaupun menyatakan ‘partai nasionalis relijius’ tidak jelas apa maksudnya. Dengan perilaku demikian rakyat tidak melihat ada bedanya antara partai Islam dengan partai nasionalis, misalnya.

Keempat, tidak adanya ikatan yang kuat di antara para anggotanya. Ikatan yang ada lebih pada kepentingan. Muncullah perpecahan di dalam tubuh partai-partai Islam atau berbasis massa umat Islam.

Kelima, perilaku sebagian anggota/pengurus tidak mencerminkan partai Islam sesungguhnya. Aliran dana untuk DPR termasuk yang ‘tidak jelas asalnya’, juga diterima oleh sebagian partai Islam. Alasannya, nanti akan dikembalikan kepada rakyat yang menjadi konstituennya. Hal ini menambah pemahaman masyarakat tentang sulitnya membedakan antara partai Islam dengan partai bukan Islam. Sama saja jeleknya, sama sama bisa korupsi, sehingga ini pulalah yang menyebabkan tingkat golput meningkat dan elektalibitas parpol Islam pun rendah.

Sedangkan dari aspek eksternal adalah rendahnya pemahaman masyarakat akan posisi partai dalam negara sehingga masih ada masyarakat yang memilih karena uang yang paling banyak memberi. Walaupun kondisi seperti ini sudah relatif tidak banyak terjadi. Artinya, masyarakat mengambil uangnya tapi tidak bisa dipastikan milih siapa. Selain itu ada aspek lain yang tidak terindra yang juga mempengaruhi keterpilihan parpol atau caleg dalam pemilu, ada kekuatan global yang selama ini selalu memberikan pengaruh besar dalam menentukan hasil dari pemilu yaitu konspirasi global yang ditetapkan oleh Amerika sebagai negara superpower saat ini untuk menjaga kepentingannya dinegara-negara jajahannnya termasuk Indonesia. Hal ini bisa kita lihat dari peristiwa terpilihnya SBY. Menurut Samuel Kurnianta dalam The Global Review menyebutkan bahwa pada awal 2004 sebelum pilpres, kongres AS mengundang Permias (persatuan mahasiswa RI di AS). Kongres bertanya siapa presiden RI yang akan datang? Pada saat itu, pimpinan Permias menjawab: Wiranto. Kongres AS bertanya sampai 3 kali dan dijawab tetap: Wiranto. Kongres AS tegaskan menolak. Lalu secara diplomatis kongres AS bertanya, “Bagaimana jika SBY? Apakah mungkin?” Permias kaget. SBY belum populer. Tidak diperhitungkan. Hanya sebulan sejak pertemuan itu, tiba-tiba nama SBY melejit. Terus menerus jadi berita. Tidak sampai 5 bulan, SBY menjadi sangat populer. Nah, kita sudah lihat sendiri bagaimana SBY “kebetulan terpilih jadi Presiden RI dalam pilpres.

Hasilnya kita lihat bagaimana RI menjalankan kebijakan ekonomi pro pasar, pro modal, pro investasi asing dan seterusnya dengan cara yang salah. Maka lahirlah sedikitnya 14 UU yang memberikan kelonggaran luar biasa kepada asing untuk mencaplok SDA dan pilar-pilar ekonomi kita. Lalu kita lihat juga bgmn moralitas bangsa kita merosot. Hedonisme, materialisme, pragmatisme telah menjadi tujuan dan kebahagiaan utama.

Di bidang energi, RI tidak akan pernah bisa memulai apalagi menyelesaikan pembangunan PLTNuklir. LSM2 akan ribut & opini dibentuk Seolah-olah PLTN itu sangat berbahaya. Padahal semua negara maju menggunakan PLTN sebagai sumber utama energi bangsanya.

Tidak hanya itu, menuru Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute kasus penangkapan Luthfi Hassan ishak (presiden PKS) akhir-akhir ini juga tidak lepas dari konspirasi yang direncanakan untuk menjatuhkan kelompok ikhwan.   Keberhasilan Anis Matta menggantikan LHI sebenarnya seperti pucuk dicinta ulam tiba bagi Anis. Bayangkan. Sejak awal Anis selalu jadi sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS), siapapun Presiden PKS. Berarti ini orang sangat kuat pengaruh dan kuku-kuku kekuatannya di partai yang berbasis Ihwanul Muslimin ini. Para figur macam Tifatul Sembiring dan Hidayat Nur Wahid, memang kader-kader PKS yang dibina oleh Ihwanul Muslimin yang berhasil dijinakkan oleh mantan agen non organik dari BAKIN bernama Suripto. Sementara orang orang model Anis Matta dan jaringan pendukungnya di PKS, sebenarnya berasal dari jalur lain di luar Ihwanul Muslimin. Dan tidak berbasis pada pengaruh para Ulama Salaf yang tergabung dalam Ihwanul Muslimin. Sehingga motivasi dan agenda politiknya jauh lebih pragmatis.

Jadi, dengan kepemimpinan PKS di bawah kendali Anis Matta, kayaknya PKS akan semakin pragmatis dan kompromistis dalam membaca angin politik jelang 2014 mendatang. Kalau menelisik jalur kontak dan jaringan perkawanannya yang dekat dengan para aktivis penggerak NASDEM, nampaknya kemungkinan terjalinya kerjasama PKS-NASDEM bukan hal yang terlalu mengada-ada.

Oleh karena itu, kita tidak bisa meremehkan peranan konspirasi yang sudah dibuat oleh AS, karena dia tidak akan pernah diam untuk memantau dan mendudukan orang-orang yang ada di pemerintahan negara bonekanya. Semua demi kepentingan hegemoninya. AS sebagai negara kapitalis yang rakus dan dzolim, akan menggunakan berbagai cara untuk menjadi penguasa nomor satu di dunia. AS ingin mewujudkan tesis dari Sir Halford Mackider, pakar geopolitik Inggris abad ke-19 yang mengklasifikasikan dunia kedalam Empat Kawasan, terdiri dari Heartland (meliputi Asia Tengah dan Timur Tengah), Marginal Lands (meliputi Eropa Barat, Asia Selatan, sebagian Asia Tenggara dan sebagian daratan China), Desert (Afrika Utara), dan Island or Outer Continents (meliputi benua Amerika, Afrika Selatan, Asia Tenggara dan Australia).

Tesis Mackider menyebutkan, bahwa negara yang menguasai kawasan Heartland (memiliki kandungan sumberdaya alam dan mineral yang melimpah), niscaya akan menuju kepada “Global Imperium”.  Dalam kajian politik, conflict is protection oil flow and blockade somebody else oil flow merupakan modus kolonial sejak dulu, dan sering dilakukan untuk menebar penyesatan (mengalihkan perhatian), baik dalam bentuk konflik ataupun gerakan-gerakan massa lainnya di permukaan, agar yang menjadi tujuan utamanya tidak terpantau. AS dan sekutunya kini tengah menerapkan teori Toni Cartalucci yang berasumsi: “Matikan Timur Tengah, maka anda mematikan China dan Rusia, dan anda akan menguasai dunia”. Faktanya bahwa sejak 1979, cengkeraman AS terhadap beberapa negara di Timur Tengah melalui Dewan Kerjasama Teluk (GCC) memang terbukti unggul dalam hal dominasi minyak dunia.

Setidaknya 90% transaksi ekspor minyak dari kelompok GCC atau 40% minyak dunia, dikuasai oleh AS. Perkembangan aktual perpolitikan internasional saat ini memang mengisyaratkan terjadinya  pergeseran sentral geopolitik dari Kawasan Timur Tengah menuju ke Asia Tenggara, khususnya Laut China Selatan. “Isyarat peralihan tersebut terlihat dari beberapa indikasi, diantaranya AS ingin secepatnya membangun sistem pertahanan rudal di Asia guna melawan manuver Korea Utara. AS juga menyatakan akan memperluas pengaturan militernya di Asia Tenggara dan Samudera Hindia, termasuk peningkatan kerja sama dengan Australia dan penempatan kapal-kapal perang di Singapura.”

Itulah bukti, bahwa AS akan selalu ikut campur dalam setiap peristiwa yang terjadi di Indonesia, karena dia harus memastikan bahwa Indonesia masih berada dalam kendalinya. Semua itu terjadi karena pengaruh penerapan sistem demokrasi-kapitalisme.

Pertama, dari sisi keberadaan parpol dalam pemilu, menurut Robert Dahl, bahwa pemilihan umum merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Di dalam negara demokrasi, pemilihan umum merupakan salah satu unsur yang sangat vital, karena salah satu parameter mengukur demokratis tidaknya suatu negara adalah dari bagaimana perjalanan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh negara tersebut.

Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat. Implementasi dari pemerintahan oleh rakyat adalah dengan memilih wakil rakyat atau pemimpin nasional melalui mekanisme yang dinamakan dengan pemilihan umum. Karena  itulah keberadaan parpol adalah sebagai kendaraan untuk memilih dan dipilih menjadi wakil rakyat. Tidak heran jika akhirnya parpol yang ada berperan hanya pada saat pemilu untuk mendapatkan suara terbanyak, tidak lebih dari itu. Segala cara ditempuh demi memperoleh suara. Seluruh parpol tak terkecuali parpol Islam berdiri atas asas yang sama yaitu demokrasi, arah perubahan yang diusungnyapun sama termasuk metodenya. Semua bermuara pada asas demokrasi yang menjadikan perubahan lewat parlemen dengan asumsi orang-orang yang ada diparlemen itulah yang akan membawa suara rakyat dan sesuai kehendak rakyat, jelas ini asas yang bertentangan dengan Islam. Apalagi faktanya tidaklah demikian, keputusan parlemen seringnya tidak sesuai kehendak rakyat melainkan sesuai pesanan dari perusahaan atau negara yang mensponsorinya. Oleh karena itu, jika kita berharap parpol Islam membawa perubahan adalah harapan yang sia-sia selama parpol itu mengusung asas demokrasi kapitalis bukan ideologi Islam.

Kedua, dari sisi konspirasi global, keberanian AS mempermainkan dan mengobok-ngobok Indonesia karena Indonesia adalah negara yang lemah, tidak punya visi dan misi yang jelas dan jernih, Indonesia yang mendeklarasikan negara demokratis selalu menjadikan AS sebagai acuan dalam berbuat, menyetujui dan mengikuti apa kata AS. Tidak ada keberanian sedikitpun untuk menentang AS karena terlanjur mendeklarasikan diri sebagai negara pengekor AS. Sehingga sampai kapanpun Indonesia tidak pernah bisa keluar dari cengkraman AS selama tidak berani melepaskan demokrasi dan beralih kepada sesuatu yang labih kuat dan benar yaitu ideologi Islam. Hanya negara yang berideologi saja yang mampu melawan kekuatan negara lain. Dan hanya khilafahlah yang mampu menandingi kekuatan AS dan sekutunya.

Berdasarkan fakta diatas, sudah bisa dipastikan bahwa kita tidak mungkin berharap perubahan dari pemilu dan  parpol Islam yang sudah ada sekarang karena sudah terbukti lemah dan tidak jelasnya arah perubahan yang diusung parpol tersebut.

 

Kebangkitan Islam melalui Parpol Islam yang Shohih

Partai politik (hizbun siyasiy) dalam sudut pandang Islam, Secara bahasa, kata hizb dipakai dalam beberapa ayat al-Quran. Imam al-Qurthubiy dalam tafsirnya memaknai kata hizb dalam surat al-Maidah ayat 56, Al-Mukminun ayat, 53 dan Mujadilah ayat 19 sebagai penolong, sahabat, kelompok (fariq), millah, kumpulan orang (rohth). Adapun terkait makna politik (siyasah) disebutkan dalam kamus Al-Muhit bahwa As-Siyasah (politik) berasal dari kata: Sasa –Yasusu – Siyasatan bi ma’na ra’iyatan (pengurusan).

Rasulullah SAW menggunakan kata siyasah (politik) dalam sabdanya: “Adalah Bani Israil, urusan mereka diatur (tasusuhum) oleh para Nabi. Setiap seorang Nabi wafat, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada Nabi sesudahku, dan akan ada para khalifah yang banyak.” (HR. Bukhari).

Berdasarkan makna hizbun (partai) dan siyasah (politik) tadi, maka dapat disebutkan bahwa partai politik (hizbun siyasiy) merupakan suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, cita-cita dan tujuan yang sama dalam rangka mengurusi urusan rakyat. Dengan kata lain, partai politik adalah kelompok yang berdiri di atas sebuah landasan ideologi yang diyakini oleh anggota-anggotanya, yang ingin mewujudkannya di tengah masyarakat.

 

Karakteristik Partai Politik Islam

Allah SWT mengisyaratkan hal ini didalam firman-Nya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung(TQS. Ali ’Imran[3]: 104).

Ayat ini menegaskan perintah kepada kaum Muslim tentang keharusan adanya kelompok/jama’ah. untuk menjalankan dua fungsi: pertama, da’wah ilal khair (menyeru kepada al-khoir) dan kedua, amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari perkara munkar).

Berdasarkan hal tersebut, partai politik Islam adalah partai yang berideologi Islam, mengambil dan menetapkan ide-ide, hukum-hukum dan pemecahan problematika dari syariah Islam, serta metode operasionalnya mencontoh metode (thariqah) Rasulullah SAW.

Partai politik Islam adalah partai yang berupaya menyadarkan masyarakat dan berjuang bersamanya untuk melanjutkan kehidupan Islam. Partai politik Islam tidak ditujukan untuk meraih suara dalam Pemilu atau berjuang meraih kepentingan sesaat, melainkan partai yang berjuang untuk merubah sistem Sekular menjadi sistem yang diatur oleh syariah Islam. Orang-orang, ikatan antara mereka hingga terorganisir menjadi satu kesatuan, serta orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama semuanya haruslah didasarkan dan bersumber dari Islam. Karenanya, partai Islam yang ideologis memiliki beberapa karakter, di antaranya:

  1. Dasarnya adalah Islam. Hidup matinya adalah untuk Islam.
  2. Orang-orangnya adalah orang-orang yang berkepribadian Islam. Mereka berpikir berdasarkan Islam dan berbuat berdasarkan Islam. Partai politik Islam terus menerus melakukan pembinaan kepada para anggotanya hingga mereka memiliki kepribadian Islam sekaligus memiliki pemikiran, perasaan, pendapat dan keyakinan yang sama, sehingga orientasi, nilai, cita-cita dan tujuannya pun sama. Merekapun menjadi sumberdaya manusia (SDM) yang siap untuk menerapkan syariah Islam. Pada saat yang sama, ikatan yang menyatukan mereka bukan kepentingan atau uang melainkan akidah Islamiyah.
  3. Memiliki amir/pemimpin partai yang menyatu dengan pemikiran Islam dan dipatuhi selama sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah. Nabi SAW bersabda, “Jika kalian bertiga dalam satu safar, tunjuklah amir satu di antaramu.” (HR Muslim).
  4. Memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas terkait berbagai hal. Partai Islam haruslah memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas tentang sistem ekonomi, sistem politik, sistem pemerintahan, sistem sosial, sistem pendidikan, politik luar negeri, dll. Semuanya harus tersedia dan siap untuk disampaikan. Konsepsi inilah yang disosialisasikan kepada masyarakat hingga mereka menjadikan penerapan semua sistem Islam tersebut sebagai kebutuhan bersama. Syariah Islam inilah yang diperjuangkan untuk ditegakkan. Pada sisi lain, konsepsi tidak akan dapat dilakukan kecuali adanya metode pelaksanaan (thariqah). Dan metode pelaksanaan hukum Islam tersebut adalah melalui pemerintah yang menerapkan Islam. Upaya mewujudkan pemerintahan yang menerapkan hukum Islam (khilafah) tersebut merupakan arah yang dituju partai Islam.
  5. Mengikuti metode yang jelas dalam perjuangannya sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Pertama, melakukan pembinaan dan pengkaderan. Kedua, bergerak dan bergaul bersama dengan masyarakat. Ketiga, menegakkan syariah secara total dengan dukungan dan bersama dengan rakyat.
  6. Melakukan aktivitas:
    1. Membangun tubuh partai dengan melakukan pembinaan secara intensif sehingga menyakini ide-ide yang diadopsi oleh partai.
    2. Membina umat dengan Islam dan pemikiran, ide serta hukum syara’ yang diadopsi oleh partai, sehingga tercipta opini tentang syari’at Islam sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah umat dan keharusan menerapkan syariah Islam dalam wadah Khilafah.
    3. Melakukan perang pemikiran dengan semua ide, pemikiran, aturan yang bertentangan dengan Islam.
    4. Melakukan koreksi terhadap penguasa yang tidak menerapkan Islam atau menzhalimi rakyat.
    5. Perjuangan politik melawan negara kafir penjajah dan para penguasa yang zhalim.

 

Arah Perubahan

Secara umum ada dua jalan yang ditempuh dalam perjuangan merubah sistem Sekular menjadi Islam. Pertama, jalan parlemen. Jalan ini menggunakan logika linier, yaitu partai politik ikut dalam parlemen untuk merumuskan perundang-undangan yang sesuai dengan syariah. Dengan demikian, sistem akan berubah.

Fakta menunjukkan perubahan total tidak pernah terjadi melalui jalan parlemen. Kalaupun bisa terjadi bersifat parsial. Karenanya, perjuangan melalui parlemen bukanlah metode untuk melakukan perubahan total.

Parlemen tidak dapat dijadikan sebagai metode perubahan. Sebab, metode perubahan melalui parlemen hanya bersifat teoritis belaka bukan praktis. Selain itu, pemilu bukanlah metode perubahan yang telah ditempuh oleh Rasul saw. ketika mendirikan pemerintahan Islam. Selain itu, fakta di Indonesia juga menunjukkan bahwa partai-partai politik dan anggota parlemen sejak awal telah melihat keharusan mereka untuk terikat dengan Sekularisme Kapitalisme beserta produk perundangan-undangannya. Ini artinya, pemilu di Indonesia tidak diadakan dalam rangka melakukan perubahan mendasar apapun.

Pada sisi lain dilihat dari faktanya, parlemen itu memiliki tiga fungsi, yaitu:

  1. Membuat undang-undang dasar dan undang-undang serta mengesahkan berbagai kesepakatan, rancangan undang-undang, dan berbagai perjanjian yang lain.
  2. Mengangkat kepala negara –di beberapa negara, dia dipilih secara langsung oleh rakyat– dan memberikan mandat kepadanya untuk menjalankan pemerintahan.
  3. Melakukan pengawasan, koreksi, dan kontrol kepada pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintahan.

 

Partai Islam ditujukan untuk menerapkan Islam secara kaffah, karenanya partai yang membuat undang-undang sekular, melalui wakilnya yang duduk di parlemen, bertentangan dengan fakta partai Islam itu sendiri. Lebih dari itu, dalam pandangan Islam, manusia tidak berhak membuat hukum dan undang-undang. Yang berhak membuat hukum perundang-undangan itu hanyalah Allah SWT. Allah berfirman: “Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah.” (TQS. Yûsuf [12]: 40).

Begitu juga pemberian mandat kepada pemerintah yang tidak berhukum dengan hukum Allah, jelas hukumnya haram, tidak boleh dilakukan oleh partai Islam. Allah SWT menegaskan hal ini dalam firman-Nya: “Barang siapa tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah (syariah Islam), maka mereka termasuk orang-orang kafir. (TQS. al-Mâidah [5]: 44), (TQS. al-Mâ’idah [5]: 45), (TQS. al-Mâidah [5]: 47).

Adapun aktivitas pengawasan, koreksi, dan kontrol kepada pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintahan merupakan kewajiban yang harus dilakukan, termasuk oleh partai politik. Caranya, bisa dari luar parlemen, bisa juga dari dalam parlemen. Karena itu, siapapun yang ada di dalam parlemen harus menjadikannya sebagai mimbar dakwah dalam rangka melakukan koreksi (muhasabah) bagi penguasa. Satu hal yang penting dicatat adalah parlemen sebagai mimbar dakwah hanyalah salah satu teknik (uslub) saja dalam melakukan koreksi pada penguasa.

Jalan kedua adalah jalan yang merupakan metode perubahan. Metode ini adalah metode yang ditempuh oleh Rasulullah SAW. Metode tersebut berupa pembinaan umat Islam dan berinteraksi dengan mereka hingga terbentuk kesadaran umum pada diri mereka. Bukan sembarang kesadaran melainkan kesadaran bahwa mereka adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk seluruh umat manusia, dan kesadaran bahwa agama Islam yang telah diturunkan oleh Allah kepada Muhammad adalah risalah paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Umat pun menjadi sadar bahwa Allah akan memenangkannya atas semua agama dan ideologi, termasuk atas demokrasi Barat.

Agama inilah satu-satunya yang akan membebaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya Islam. Tidak berhenti sampai di situ, muncul pula kesadaran bahwa masalah utama umat Islam saat ini adalah mengembalikan Khilafah Islam yang akan menerapkan syariah Allah di dalam negeri, mengemban risalah ke seluruh dunia, serta menyatukan kaum Muslim di bawah panji La ilaha illallah. Umat juga sadar bahwa mengembalikan Khilafah itu harus dilakukan melalui thalab an-nushrah (aktivitas mencari pertolongan) dari para pemilik kekuatan (ahlul quwwah), bukan melalui pemilihan umum. Partai politik Islam melakukan proses penyadaran pada semua lini masyarakat.

Dalam prakteknya, partai Islam tidak lepas dari langkah-langkah berikut:

  1. Dimulai dengan pembentukan kader yang berkepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah), melalui pembinaan intensif (halqah murakkazah) dengan materi dan metode tertentu. Proses ini akan menjadikan rekrutmen kader politik tidak pernah surut. Bukan kader yang berambisi untuk mendapatkan kursi melainkan kader perjuangan dalam menegakkan Islam demi kemaslahatan manusia.
  2. Pembinaan umat (tatsqif jamaiy) untuk terbentuknya kesadaran masyarakat (al-wa’yu al-am) tentang Islam. Pembinaan ini harus menghubungkan realitas yang terjadi dengan pandangan dan sikap Islam terhadap realitas tersebut. Misalnya, memperbincangkan dengan masyarakat persoalan kenaikan harga listrik, BBM, penjualan kekayaan rakyat kepada asing, tekanan Dana Moneter Internasional (IMF), penghinaan terhadap Nabi/al-Quran/Islam, dll, disertai penjelasan hukum Islam tentang masalah tersebut. Partai membuat komentar, analisis, dan sikap politik terkait hal-hal tersebut lalu disampaikan kepada rakyat. Juga, dilakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa serta membongkar rencana jahat negara asing. Dengan cara seperti ini rakyat akan memiliki sikap politik sesuai dengan pandangan Islam terhadap berbagai peristiwa yang terjadi. Dengan pembinaan ini pula terjadi transfer nilai-nilai dan hukum Islam dari generasi ke generasi. Partai Islam sehari-hari berada di tengah rakyat.
  3. Pembentukan kekuatan politik melalui pembesaran tubuh partai (tanmiyatu jismi al-hizb) agar kegiatan pengkaderan dan pembinaan umum dapat dilakukan dengan lebih intensif, hingga terbentuk kekuatan politik (al-quwwatu al-siyasiya). Kekuatan politik adalah kekuatan umat yang memilliki kesadaran politik Islam (al-wa’yu al-siyasiy al-Islamy), yakni kesadaran bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan syariah Islam. Maka harus ada upaya terus menerus penyadaran politik Islam kepada masyarakat, yang dilakukan oleh kader. Makin banyak kader, makin cepat kesadaran terbentuk sehingga kekuatan politik juga makin cepat terwujud. Di sinilah agregasi dan artikulasi kepentingan rakyat terjadi. Apa yang menjadi kepentingan rakyat tersebut tidak lepas dari tuntutan dan tuntunan aturan Islam. Dengan cara seperti ini terjadi komunikasi politik dan sosialisi politik antara partai dengan rakyat hingga massa umat memiliki kesadaran politik.

 

Pemikiran partai Islam tentu berbeda dengan partai sekular-kapitalis-liberal maupun sosialis-komunis. Sebagai contoh, dalam masalah ekonomi, partai sekular menjadikan seluruh aset produksi, termasuk sumber daya alam (SDA) dibiarkan dikuasai oleh individu atau swasta berdasarkan mekanisme pasar. Sementara partai Sosialis menjadikan negara sebagai aktor tunggal aktivitas ekonomi, sehingga semua aset produksi, termasuk sumber daya alam (SDA) dimonopoli oleh negara. Rakyat pun tidak boleh memiliki aset produksi apapun. Adapun partai Islam, menjadikan aset produksi, termasuk sumber daya alam (SDA), sesuai dengan mekanisme hukum syara’, yang terbagi dalam tiga jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan individu, umum dan negara. Ada juga partai yang tidak memiliki konsep apapun tentang masalah tersebut, maka senyatanya ia bukanlah partai, atau sekadar partai papan nama.

 

  1. Massa umat yang memiliki kesadaran politik menuntut perubahan ke arah Islam. Di sinilah penggabungan kepentingan (interest aggregation) dan perumusan kepentingan (interest articulation) dilandaskan pada Islam dan diperjuangkan bersama antara partai dengan rakyat.
  2. Penyampaian Islam pun ditujukan kepada ahl-quwwah dan pihak-pihak yang berpengaruh seperti politisi, orang kaya, tokoh masyarakat, media massa dan sebagainya. Melalui pendekatan intensif ahl-quwwah setuju dan mendukung perjuangan partai bersama rakyat. Kekuatan politik yang didukung oleh berbagai pihak semacam ini tidak akan terbendung.
  3. Sistem (syariah) dan kekuasaan (khilafah atau penyatuan ke dalam khilafah) Islam tegak melalui jalan umat.

 

Jalan tersebut merupakan jalan yang didasarkan pada kesadaran masyarakat dan perjuangan bersama antara partai dengan umat sehingga dikenal dengan jalan ‘an thariq al-ummah (melalui jalan umat). Tampak, jalan tersebut merupakan jalan damai dan alami. Tidak ada sesuatu yang perlu ditakutkan atau dikhawatirkan. Sebab, inti dari metode itu adalah kesadaran umat dan tuntutan umat demi kemaslahatan umat.

Kemaslahatan umat itu bukanlah sekadar persoalan moralitas dan sentimen keagamaan. Namun, partai politik Islam juga memiliki solusi syariah yang cerdas, dan bisa diterapkan oleh negara, seperti menjamin kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan) tiap individu masyarakat. Mekanisme ini dilakukan setelah secara individu, seseorang tidak mampu memenuhinya, dan keluarga dekatnya tidak mampu memenuhinya. Selain itu, Islam juga menjamin kebutuhan kolektif, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan gratis sebagaimana yang banyak dinyatakan dalam al-Quran dan hadits Nabi.

Demikianlah seharusnya partai politik Islam. Kehadirannya didambakan oleh rakyat yang menginginkan hidup sejahtera di dunia dan akhirat. Wallaahu a’lam bish showab []