Kasus dikhianatinya Rhoma Irama oleh pemimpin PKB Yahya Muhaimin menjadi pembicaraan ramai di masyarakat. Namun belum tentu disoroti, pelajaran apa yang dapat dipetik dibalik kasus pengkhianatan itu.
Janji Muhaimin dengan PKBnya untuk mencalonkan Rhoma Irama dalam pemilihan presiden 2014 ternyata janji palsu belaka. Padahal sebelumnya, Rhoma begitu giatnya berkampanye dengan Muhaimin demi mendongkrak perolehan suara PKB dalam pemilu legislative 2014. Dan ternyata PKB memperoleh suara sekitar lipat dua dibanding pemilu 2009.
Sayang, hingar bingar dukungan Rhoma Irama terhadap PKB itu langsung berbalik menjadi semacam permusuhan lantaran begitu cepatnya Muhaimin Iskandar mengingkari janji. Sambil mendekat ke partai sekuler PDIP, Muhaimin Iskandar menyingkirkan Rhoma dari janji semula, bahkan Muhaimin hanya mencalonkan dirinya sendiri dalam bergandengan dengan PDIP. Walaupun kemudian Muhaimin juga tidak dijagokan oleh PDIP dalam Pilpres, namun pengingkarannya terhadap janjinya untuk Rhoma telah menjadikan Rhoma dan para pengusungnya bercerai dengan PKB. Karena merasa dikhianati, dan tidak dihargai.
Sebenarnya, menghadapi sikap Muhaimin yang mengkhianati Rhoma Irama itu, jauh-jauh hari suara-suara yang tidak percaya kepada Muhaimin sudah muncul di masyarakat. Bahkan ada yang sampai mengatakan, lha wong Gus Dur saja dikhianati, apalagi umat. Perkataan itu menunjukkan, betapa beraninya tokoh PKB itu dalam hal khianat mengkhianati. Akibatnya, dalam hal Pilpres (pemilihan Presiden) 2014, PKB yang diusung Muhaimin itu ketika bergabung dengan PDIP pun pucuk pimpinan NU menyatakan tidak mendukung Muhaimin, dan pilih mendukung Prabowo capres yang berhadapan dengan Jokowi-JK yang diusung PDIP. Padahal PKB adalah partai besutan NU. Dengan demikian boleh dikata, PKB ditalak Rhoma dan pengusungnya, masih pula disingkiri oleh induk semangnya yakni NU. Ibaratnya, di rumah sendiri tidak akur dengan keluarga, sedang di luar rumah plerokan (berpelototan) dengan orang-orang. Di rumah sendiri tak dipercaya, di luaran apalagi.
Di samping itu, FPI yang dalam beberapa hal berseberangan dengan NU, ternyata dalam hal kasus Muhaimin ini sejalan dengan NU. Hingga akun fpi tangerang selatan menulis partai yang dikawani oleh PKB sebagai gabungan partai pengkhianat. Satu persatu pengkhianatan partai-partai tersebut pun dipetani, ditelisik dan dibeberkan.
Satu kesalahan, jangan diulangi, apalagi ditambah
Kasus dikhinatinya Rhoma Irama oleh Muhaimin Iskandar, mengandung beberapa pelajaran berharga.
Pertama, dapat dianggap sebagai kesalahan Rhoma Irama sendiri, atau paling kurang adalah kelengahan atau kurang jeli. Ada hal-hal yang tampaknya Rhoma memang kurang jeli. Kurang jelinya, bagaimana Rhoma mau bergabung dan bahkan sangat percaya diri hingga pernah bilang bahwa Muhaimin tidak akan meninggalkan Rhoma, padahal sudah ada kata-kata menyangkut tingkah Muhaimin: lha wong Gus Dur saja dikhianati, apalagi umat.
Kelengahan kedua, sosok Rhoma Irama sejak lama adalah “musuh” media massa sekuler dan anti Islam serta pro maksiat. Hingga hanya karena Rhoma ikut bersuara mengkritik goyang ngebor Inul, maka media massa kategori tersebut berhasil mempermalukan Rhoma yang berduaan dengan wanita di kamar, malam hari, lalu diketok pintunya dan dishooting kemudian diedarkan di media massa untuk menjatuhkan Rhoma Irama. Mereka tidak perduli, apakah Rhoma dengan wanita yang statusnya telah dinikahi atau tidak, yang penting tersebar berita heboh. Hingga bukannya goyang ngebor Inul yang dipersoalkan di masyarakat, namun justru berita heboh Rhoma itu. Itu salah satu bentuk kekurangajaran media pro maksiat pembela goyang ngebor Inul Daratista, penjoget yang memutar-mutar pantatnya (maaf) dengan bernyayi.
Ketiga, Rhoma kurang jeli terhadap kapasitas para pengusungnya. Hanya karena Rhoma terhitung ada hubungan dengan mereka, misalnya tempo-tempo diundang untuk hadir dalam kumpul-kumpul membahas sesuatu bersama mereka sejak kasus Tanjung Priok 1980-an, kemudian Rhoma mengiyakan saja untuk diusung sebagai calon presiden. Padahal para pengusung itu bukan tokoh-tokoh partai. Apalagi sudah ada semacam pelajaran, mereka berdekat-dekat dengan Fauzi Bowo dalam bertarung dengan Jokowi, ternyata Fauzi Bowo kalah untuk jadi gubernur DKI Jakarta lagi. Mestinya Rhoma ngeh (faham), untuk tingkat DKI Jakarta saja, pihak yang mengusungnya itu tidak manjur, apalagi untuk tingkat nasional. (maaf tulisan ini bukan karena mnyepelekan mereka, tetapi ini hanyalah analisis secara akal) .
Keempat, Rhoma Irama sendiri hanyalah pendangdut, yang sebenarnya bukan apa-apa, apalagi kalau dilihat dari Islam. Dari segi kepemimpinan, apalagi kepemimpinan untuk 250an juta orang, negeri terbesar sedunia jumlah umat Islamnya. Tidak sedikit umat Islam yang akan malu bila dipimpin oleh pendangndut. Maka seharusnya, ungkapan ukur baju badan sendiri, bukan hanya dihafal tetapi dipakai pula maknanya.
Dari berbagai faktor itu, ada i’tibar (pelajaran), sebenarnya dikhianati orang dalam hal ini justru perlu disyukuri oleh Rhoma Irama.
Kenapa ?
Karena sebenarnya Rhoma sedang terlena, tampaknya dijunjung tapi dapat dimaknakan dijerumuskan.
Kenapa ?
Kalau toh Rhoma mampu menembus sampai jadi presiden pun, bukankah dalam sejarah hidup Rhoma Irama sudah jadi « musuh » media massa tertentu yang secara ramai-ramai mampu menguasai penggiringan opini di negeri ini yang memang media-media itu mengusung hal-hal yang bertentangan dengan Islam ? Sedangkan Rhoma bukan sosok yang kuat untuk menghadapinya, dan pendukungnya pun tidak kuat. Sehingga, terpunggalnya Rhoma di tengah jalan, dan posisinya dikhianati, justru menyelamatkan diri Rhoma.
Kenapa ?
Nama Rhoma dalam kasus ini tidak tercemar. Dan masalah yang dihadapi pun hampir tidak ada. Coba kalau sampai tetap diusung, baik itu sampai menang menjadi presiden maupun hanya sampai babak final ; tetap Rhoma akan babak belur. Sampai babak final saja akan menguras energi, pikiran, duit dan aneka macamnya. Lantas, kalau sampai menang, tidak beruntung juga. Karena media massa yang memusuhinya telah siap memangsanya. Dan yang perlu diingat pula, jangan dikira, para pengusung Rhoma yang seolah berjuang itu akan tulus ikhlas begitu saja. Tentu akan menuntut ini dan itu. Bahkan mungkin jabatan ini dan itu, padahal mereka bukan ahlinya. Coba bayangkan.
Ini sama sekali bukan membela Muhaimin yang mengkhianati Rhoma, namun hanya untuk mengambil i’tibar, bahwa sebenarnya, tidak mengambil pelajaran terhadap kasus yang telah pernah menimpa (seperti Rhoma tidak mengambil pelajaran atas kedhaliman media massa yang mempermalukan dirinya), itu bisa fatal akibatnya. Itulah betapa tingginya nilai nasihat Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda :
« لاَ يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ »
Tidak layak bagi seorang yang beriman untuk disengat hewan berbisa sebanyak dua kali dari satu lubang”. ( muttafaqun ‘Alaih).
Dari sini, kalau toh boleh berpesan kepada pengkhianat, maka ada pesan. Yang namanya terperosok ke lubang saja tidak layak untuk dua kali. Padahal tidak sengaja dan mungkin tidak dosa kalau memang bukan kemaksiatan (dan kalau toh salah hanya karena lengahnya saja, kok sampai terperosok lagi). Berbeda dengan khianat. Khianat itu sudah jelas dosa, kok malah dua kali, bahkan bekali-kali? Apakah tidak malu?
Kepada para pengusung Rhoma, hendaknya bersyukur, dan bertaubat. Bersyukur karena tidak dipermalukan Allah Ta’ala, padahal sebagai tokoh-tokoh agama tapi mengusung pemusik seperti itu sejatinya justru terlaknat. Maka dikhianatinya Rhoma hingga tidak berlanjut, itu perlu disyukuri. Sedang keharusan bertaubat, karena mengusung pemusik sebagai pemimpin bangsa itu jelas-jelas menentang aturan Allah Ta’ala dan RasulNya lantaran music itu sendiri diharamkan dalam agama (Islam). Dan itu akan ditiru oleh para murid dan simpatisan masing-masing. Maka disamping bertaubat hendaknya mereka mengumumkan penyesalannya, agar nantinya tidak ditiru orang.
Adapun Rhoma Irama, cukuplah pelajaran berharga dari kejadian-kejadian itu sebagaimana telah diuraikan ini. Maka harus bersyukur, karena masih diselamatkan Allah Ta’ala. Tetapi itu tidak cukup bila tidak mau meninggalkan dunia music. Karena Islam tidak menghalalkan itu. Masih banyak jalan yang halal, terbuka luas bagi siapa saja, apalagi bagi Rhoma Irama yang pernah digadang-gadang sebagai bakal calon presiden Indonesia.
Ini saja. Semoga bermanfaat. Aamiin ya Rabbal ‘alamiin.
Jakarta-Bandung, Sabtu Awal Sya’ban 1435H/ 31 Mei 2014 di kereta Jakarta-Bandung yang sedang macet di tengah perjalanan, yang seharusnya 3 jam namun sampai 11 jam, karena ada kereta yang anjlok dari rel di jembatan Ciomang Purwakarta. Tulisan ini sebagai hadiah untuk tiga ikhwah yang setia menunggu selama sekitar 9 jam di stasiun Bandung. Mereka adalah panitia bedah buku tentang Mewaspadai Penyimpangan Syiah yang dilaksanakan di Masjid Raya PasirWangi Garut Jawa Barat, Ahad 1 Juni 2014.
(Hartono Ahmad Jaiz)