Lagi-lagi salah seorang tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal), Zuhairi Misrawi berceloteh secara ngawur, rasis, ngasal dan sarkastik. Entah apa motif yang ada dibenaknya ketika secara bodoh, ia memposting sebuah celotehan melalui akun twitter miliknya pada tanggal 28 Juli 2013 yang berbunyi,
“Kaum Islamis di negeri ini patut bersyukur, karena kita tidak akan membunuh mereka. Di Mesir, mereka dibunuh dan dinistakan#BhinekaTunggalIka”.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang pada akhirnya menyingkap kebodohan-kebodohan para musuh Islam secara simultan-spontantif, melalui lisan-lisan mereka sendiri. Sejatinya, kita sebagai seorang muslim hendaknya selalu berhusnudzan. Kata-kata diatas tersebut singkat, tapi padat. Didalamnya penuh dengan muatan agitatif, kebencian, rasial, dan kesombongan yang nyata. Mungkin tokoh ini (Zuhairi Misrawi) butuh ketenaran sehingga perlu membuat sebuah sensasi yang unik, atau mungkin ia sedang linglung akibat puasa yang ia lakukan secara terpaksa sehingga jiwanya labil dan pikirannya tidak mampu untuk digunakan berpikir secara stabil. Tapi setidaknya, dari tweet-nya tersebut, dengan pendekatan psiko-linguistik (psikologi bahasa), telah tersingkap lima poin penting yang perlu kita ketahui. Antara lain :
- Mereka (JIL) tidak berada dalam satu barisan dengan Islam sekalipun mereka menamakan basis komunitas mereka dengan nama Islam.
- Orang-orang liberal seperti Zuhairi dan komunitasnya (JIL), memposisikan Islam yang hakiki dan para aktivis Islam (Kaum Islamis) sebagai musuh dan manusia-manusia yang tidak memiliki martabat dan kehormatan sama sekali sehingga secara implisit boleh untuk diperangi, dibunuh, atau dinistakan tanpa alasan yang benar.
- Zuhairi dan orang-orang yang semacamnya adalah manusia yang berpikir secara sempit, feodalistik, sombong, dan merasa telah menjadi the right man, sehingga para aktivis Islam harus berterima kasih dan bersyukur kepada kaum liberal karena mereka tidak dibunuh dan dinistakan secara langsung.
- Mereka (orang-orang JIL) sejatinya adalah sekumpulan manusia yang sangat tidak menghargai dan tulus memperjuangkan dalam memperjuangkan HAM dan kebebasan sebagaimana topeng yang mereka pakai selama ini. Bahkan orang-orang ini secara tidak langsung menampakkan dukungan terhadap pembunuhan dan penistaan yang sedang terjadi di Mesir.
- Zuhairi Misrawi dan kelompoknya, merupakan manusia yang inkonsisten, pragmatis, pendusta, penuh agenda terselubung dan tipu daya terutama dalam usaha integrasi bangsa Indonesia secara utuh dan komunal. Zuhairi Misrawi menampakkan dirinya sebagai sosok yang ekslusif, anti pluralitas, dan tidak mampu menghargai perbedaan terutama ketika menyalahkangunakan semboyan bangsa #BhinnekaTunggalIka yang berfungsi sebagai alat akomodasi persatuan nasional.
Mungkin terlalu dini untuk mengatakan bahwa tweet Zuhairi tersebut mewakili JIL secara umum sebagai komunitasnya. Tidak bermaksud menggeneralisir, tapi fakta-fakta yang ada malah menunjukkan bahwa ide dan pemikiran dari anggota-anggota JIL memang setara, setidaknya dalam upaya mereka melecehkan Islam dan menyerang syari’atnya yang berfungsi sebagai basis eksistensi Islam. Banyak tokoh liberal Indonesia yang telah mengeluarkan bermacam statement gila pada beberapa masalah, sebagai contoh ada perlunya saya sertakan beberapa statement ngawur mereka itu;
- Muhammad Guntur Romli dalam salah satu tweet-nya pernah berkoar rasialistik tentang FPI, “Gimana ceritanya hewan-hewan qurban itu bisa lepas dan merusak masjid Ahmadiyah”.
- Luthfie Syaukani dalam salah satu tweet-nya juga pernah berkoar tentang jilbab, “Jilbab itu kan dipake khusus buat shalat atau ke pengajian. Kalau ditempat umum ya mesti dibuka. Bego aja kebalik-balik”.
- Pada sidang MK di gedung MK, Jalan merdeka barat, Rabu, 17 Februari 2010, Luthfie Syaukani menghina Nabi Muhammad dengan pernyataannya terhadap nabi palsu Lia Eden, ”Apa yang dilakukan oleh Lia Aminudin, sama seperti yang dilakukan Nabi Muhammad. Kesalahan Lia sama dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad waktu munculnya Islam”.
- Pernyataan Ulil di Twitter-nya berkaitan dengan perilaku LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual & Transgender) yang semakin marak di Indonesia, “Kalau memang benar kaum Luth di adzab, kenapa Allah tidak menurunkan Adzab yang sama di zaman sekarang?”
Saya rasa terlalu panjang kiranya jika semua pernyataan gila tokoh-tokoh yang katanya berpendidikan tersebut disebutkan disini. Lagipula, saya rasa disebutkan semuanya atau hanya sebagianpun, kesesatan mereka tidak akan berkurang, kecuali jika Allah berkehendak atas semuanya itu. Sangat ironis ketika melihat bahwa sejatinya mereka adalah tokoh-tokoh yang secara gradual memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi. Dan pada kenyataannya, tokoh-tokoh yang menamakan dirinya berjuang untuk “Islam” versi mereka itu ibarat duri dalam daging, ibarat racun dalam madu. Berapa banyak pemuda maupun orang-orang awwam yang akhirnya terkecoh dengan kedok yang mereka jual. Intelektual-intelektual itu sejatinya adalah orang yang memperbaiki masyarakat, bukan malah yang merusaknya. Mungkin ada benarnya kata-kata Pramodya Ananta Toer pada saat dulu kala, “Jangan kau mudah terpesona oleh nama-nama. Kan kau sendiri pernah bercerita padaku: nenek moyang kita menggunakan nama yang hebat-hebat, dan dengannya ingin mengesani dunia dengan kehebatannya—kehebatan dalam kekosongan. Eropa tidak berhebat-hebat dengan nama, dia berhebat-hebat dengan ilmu pengetahuannya. Tapi si penipu tetap penipu, si pembohong tetap pembohong dengan ilmu dan pengetahuannya.”
Benar sekali. Sejatinya, kotoran seandainya disepuh dengan cat emas, eksistensi wujud sesuai fungsi ontologisnya tetap saja dinamakan sebagai kotoran, baunya tetap bau kotoran dan isinya tetap kotoran. Begitupun kasus yang terjadi pada intelek-intelek tersebut yang rasa-rasanya bukan mencerahkan, bahkan malah menjadi sampah. Pelacur-pelacur intelektual ini sudah terlalu banyak dan semakin mengancam pemikiran dan aqidah para pemuda muslim. Maaf, jika tulisan saya terkesan sarkastik. Tapi benar, toh jika moral kita rusak, fungsi pendidikan yang mampu digunakan untuk proses islah juga tak bakal bisa diharapkan. Bagaimana mungkin seorang yang rusak memperbaiki orang lain yang keadaan dan kondisi jiwanya sama-sama rusak? Kita sudah seharusnya tidak terlalu naïf. Namun, inilah faktanya, pendidikan moral kita digerus oleh pelacur-pelacur intelektual itu. Nah, kalau seumpama agama sebagai sumber moral dibuang, apalagi fungsi yang relevan antara kita, pendidikan dan hakikat diri? Mengubah manusia menjadi monyet? Mungkin saja. Mungkin para monyet tertawa terkikik-kikik membaca tulisan ini. Tapi sejatinya, toh kita adalah manusia. Kita bukan monyet. Dan monyet pun, sejatinya tidak bisa membaca. Wallahu a’lam bis showwab.
Payung FIB UI,
Senin, 20 Ramadhan 1434 H /29 July 2013
Afandi Satya .K