Menjelang pemilu legislatif maupun pemilu presiden, biasanya beredar sebuah ungkapan dari sebagian pelaku demokrasi yang menyatakan, “jika umat Islam tidak ikut serta dalam pemilu, maka parlemen dan pemerintahan akan dikuasai oleh orang-orang kafir ataupun sekuler”.
Pernyataan tersebut terkesan masuk akal dan sangat provokatif memancing sebahagian kalangan tanpa banyak berfikir untuk segera mengambil tindakan yaitu dengan turut serta dalam pemilu legislatif maupun presiden.
Padahal jika dicermati kembali, pernyataan tersebut sebenarnya tidak layak disebut sebagai buah dari hasil pemikiran yang mendalam dan komprehensif (fikrul mustanir). Pernyataan tersebut lemah dalam penggunaan kata dan lemah dalam pemahaman fakta yang berkaitan dengan penggunaan kata tersebut.
Pernyataan tersebut menggunakan kata “dikuasai”, artinya, jika umat Islam berbondong-bondong ikut serta dalam pesta demokrasi (pemilu) untuk memilih partai Islam, maka partai Islam dan umat Islam akan menguasai parlemen dan pemerintahan.
Disebut menguasai artinya partai Islam dapat melaksanakan apa yang mereka inginkan. Sebagai partai Islam sejati tentu menginginkan tegakknya syariah secara kaffah. Apakah benar demikian faktanya?
Harus dipahami bahwa setiap ideologi tentunya mempunyai perangkat imunitas (kekebalan tubuh) untuk mencegah rongrongan dari luar maupun dalam. Ibarat sebuah rumah yang tentunya mempunyai perangkat keamanan untuk menjaga eksistensi rumah tersebut berserta isinya.
Seorang PRT walaupun ia menduduki/menempati rumah sang majikan yang sedang kosong, tetap saja tidak bisa disebut bahwa ia telah menguasai rumah tersebut. Seorang masinis PJKA walaupun ia menduduki posisi kemudi Kereta Api (KA), tetap saja ia tidak dapat disebut sedang menguasai KA. Mengapa?
Karena ia harus mengikuti aturan yang tertera dalam kontrak kerja dengan pihak PJKA, ketika diperintah untuk menjalankan KA, ia harus lakukan. Ketika diperintah untuk menghentikan laju KA, ia juga harus lakukan. Tugasnya jelas, ia tidak bisa berbuat semaunya, ia tidak bisa merubah jobdesc-nya menjadi cleaning service atau juru masak KA. Bahkan sehebat apapun ia bermanuver, ia tetap harus berjalan di atas rel kereta yang telah ditentukan arah dan tujuannya. Jadi ia sebenarnya tidak sedang menguasai KA tetapi hanya menduduki jabatan operasional dalam KA.
Begitu juga yang terjadi pada partai Islam yang berhasil menempatkan para kadernya di kursi parlemen dalam sistem demokrasi. Demokrasi sejatinya bukan milik dan tidak akan pernah menjadi milik Islam, sebab landasan demokrasi bertentangan secara diametral dengan aqidah Islam. Para sekuleris & kapitalis-lah pemilik pemilik demokrasi yang sesungguhnya, sehingga partai-partai yang ingin memperjuangkan Islam, posisinya hanya sebagai tamu saja, tidak lebih dari itu. Sang tuan rumah akan mempersiapkan berbagai jenis macam proteksi agar rumahnya tidak dirongrong oleh si tamu. Dengan Undang-Undang, mereka akan mengikat para ‘tamu’ yang masuk ke dalam ‘rumah’ demokrasi sehingga para tamu tadi hanya bisa menempati ‘rumah’ tersebut, namun sejatinya mereka tidak pernah menguasainya.
Silahkan lihat UU No 12 Tahun 2003 pada Bab 1 (Ketentuan Umum), disebutkan, “Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945“. Jadi sudah sangat jelas, bahwa tujuan pemilu adalah untuk menegakkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dalam bingkai NKRI, bukan untuk menegakkan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah. Itulah ‘kontrak kerja’ yang ditawarkan oleh demokrasi, sama halnya dengan kontrak kerja antara PJKA dengan para masinisnya.
Ditambah lagi dengan proteksi yang lainnya, misalnya pada Pasal 74 di dalam UU yang sama, yang berbunyi, “Dalam kampanye Pemilu dilarang: mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945“. Jadi apa yang bisa dilakukan oleh para ‘tamu’ demokrasi? Hanya ada 2 pilihan, mengikuti aturan atau hengkang dari ‘rumah’ demokrasi.
Sehingga jelas sudah, bahwa demokrasi sebenarnya tidak pernah memberikan kekuasaan dalam parlemen ataupun pemerintahan pada partai-partai Islam, demokrasi hanya menjadikan mereka para pelaksana/operasional hukum kufur demokrasi-kapitalis-sekuler. Kekuatan sistem kufur bukannya melemah, tetapi akan semakin kuat karena legitimasi yang umat Islam berikan sekaligus ikut menjalankan hukum kufur tersebut. Menduduki belum tentu bisa menguasai, dan untuk menguasai belum tentu harus ikut menduduki. Orang-orang kufar dan sekuler tetaplah menjadi penguasa yang sesungguhnya walaupun mereka tidak menduduki kursi parlemen sekalipun. Umat Islam telah ditipu dan dijebak, mereka seolah-olah mempunyai harapan untuk berkuasa dan menerapkan Islam secara kaffah, tetapi yang terjadi mereka malah ikut memperkuat/melanggengkan kekuasaan orang-orang kufar dengan sistem demokrasinya.
Satu-satunya jalan yang harus ditempuh hanyalah baro’ (berlepas diri) terhadap demokrasi, mengajak umat untuk melakukan yang sama dengan kita dan mengedukasi umat untuk kembali pada Islam lewat dakwah, sebagaimana firmanNya :
“Siapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia telah berpegang kepada buhul tali yang sangat kokoh”. (TQS. Al Baqarah [2]: 256)
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru (mendakwahkan) kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata : ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (muslimun).” (TQS. Fushshilat : 33).
Ketika legitimasi terhadap demokrasi dicabut, maka demokrasi akan melemah dan runtuh dengan sendirinya, dan ketika umat ditanya tentang apa yang mereka inginkan, umat akan menjawab dengan semangat dan penuh keceriaan, “tegakkan Syariah dalam bingkai Khilafah!!”.
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb
Penulis:
Budi Kristyanto
Mantan Penganut Katholik
(Klender-Jakarta Timur)
HP: 08561648432