Begitu membumbung harapan umat islam ketika partai-partai berbasis massa islam bertemu di Cikini beberapa waktu lalu. Terbayang persatuan dan kesatuan umat yang selama ini dirindukan kaum muslimin Indonesia, yang diutarakan pula oleh para ulama MIUMI, MUI, FUI dan minimal 66 ormas muslim lainnya dari Aceh hingga Papua, bisa terwujud. Namun, inilah potret perpolitikan Indonesia tahun 2014 ini, meski koalisi islam ini memiliki jumlah suara 31%, apa daya dirinya masih belum memiliki keberanian untuk tampil heroik mengusung mimpi kaum muslim agar memiliki capres sendiri.
Bukan hal yang mudah memang jika idealisme harus dihadapkan pada kenyataan. Lalu reaksi apa yang bisa dilakukan ? Pasrah mengikuti arus pusaran besar, atau “bete” lalu keluar sekalian dari arena pertarungan sambil menebar sumpah serapah sepanjang jalan dan berujung pada pembuatan partai baru yang akhirnya jatuh pada kubangan yang sama ?
Saya rasa selama akal masih di kandung badan, ada metoda lain yang bisa digunakan untuk men-dzahir-kan idealisme yang Allah janjikan terwujud di muka bumi.
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi),” QS. Al- Qashash 28:5
Bagai bola salju yang menggelinding semakin kencang, para pemimpin koalisi semakin hari semakin leluasa memperebutkan suara umat islam Indonesia. Sah-sah saja, karena mereka memiliki total 50% suara pileg 2014 saat ini.
Namun, yang perlu dicatat oleh para pemangku partai berbasis islam adalah harapan sejati konstituennya tidak pernah padam. Harapan terangkatnya dari status tertindas menjadi pemimpin yang akan mewarisi bumi, inilah kemenangan sejati yang selalu diidam-idamkan umat muslim di manapun berada.
Apakah hal ini mereka perjuangkan ? Di sinilah, tugas rakyat dan konstituen adalah mengingatkan, karena bagaimanapun suara rakyat sangat menentukan dewasa ini. Barangkali benar bahwa vox populi vox dei, tapi yang jelas vox populi bukan vox partai pada pilpres nanti.
Dialektika elitisme sering disebarkan dan diluaskan untuk menentukan peta perpolitikan Indonesia. Dikotomi islam-nasionalis, militer-sipil, wong cilik-wong intelek, orang Jawa-bukan Jawa adalah jargon-jargon yang paling sering digunakan para peserta untuk membranding jagoan tertentu, lalu menekan lawan ataupun membujuk kawan politik dalam membentuk line-up koalisi. Hal seperti ini rawan digunakan oleh pihak pemenang untuk mendikte pihak lainnya. Memang mungkin saja branding seperti ini mengganggu elektabitas pihak pemenang pemilu, namun bagi pihak yang kalah hal seperti ini malah bisa menenggelamkannya ke tingkat yang lebih dalam lagi. Mengapa ? Branding yang dimiliki pihak kecil akan diasosiasikan dengan kekalahan dan hanya akan membuat dirinya tidak percaya diri dalam bargaining. Seperti halnya istilah “saudara tua” yang digunakan Jepang ketika memasuki Indonesia, tanpa sadar menumbuhkan pemikiran bahwa bangsa Indonesia adalah saudara kecil yang masih harus diasuh kakaknya, sehingga wajar kalau rakyat Indonesia tidak resisten saat itu.
Ashobiyah, atau elitisme dalam zero sum-game sejatinya hanya akan melahirkan pihak pemenang sebagai strata masyarakat predator dan masyarakat umum sebagai korbannya. Sungguh, hal ini sangat tidak kita inginkan terjadi sebagai akibat pemilu 2014.
Koalisi islam bernada Indonesia Raya sudah coba digelar untuk menghasilkan koalisi terbesar dalam pemilu 2014. Lalu, adakah nuansa elitisme di dalam pembentukannya ?
Saya khawatir ya, dikotomi islamis-nasionalis, militer-sipil (bahkan terakhir islamis-militer) tak terelakkan untuk tampil ke dalam wacana lining up. Wajar memang, dan itu indah jika bisa diharmonikan. Namun, ingat sejarah Rasulullah, dipersaudarakannya kaum Muhajirin dan Anshar itu bukanlah atas dasar kesukuan Makkiyah- Yatsribiyah yang rawan membuat senioritas di dalam masyarakat, namun lebih karena nasib tugas yang sedang dialami oleh masing-masing pihak saat itu, dan ini lebih egaliter. Muhajirin berarti yang berpindah, Anshor berarti yang membantu, so… antara yang berpindah dan yang membantu membentuk sebuah simbiosis mutualisma yang sangat indah bukan ?
Dalam pembentukan pemerintahan ke depan memang sebaiknya dikotomi elitisme atau ashobiyah harus mulai diganti dengan dikotomi “kesejajaran nasib tugas” yang lebih mencerahkan. Misalnya agen perubahan dan pihak fasilitator (agent of change & promotor). Di sini, pembagian peran atas dasar egalitarianisme akan melahirkan sikap “trust each other” yang sangat kuat, dan ini akan menjadi fondasi yang kuat dalam melaksanakan program- program pembangunan. Perasaan kesejajaran nasib pada pelaksana pemerintah ini pun akan menjamin terbentuknya mental mengabdi kepada masyarakat luas (atau Hizmet menurut orang Turki), dan bukan mengabdi pada elite tertentu saja seperti yang dihasilkan oleh budaya ashobiyah. Mudah-mudahan ini bisa jadi input bermanfaat bagi tim pengkaji koalisi.
Benang Merahnya
Dikotomi secara naluriah memang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia untuk memetakan pilihan-pilihan dalam meniti jalan hidup, bahkan dalam bahasa mesin sekalipun dikenal istilah bilangan biner, kalo tidak 0 ya 1. Bilangan biner inilah yang menjadi molekul inti dari setiap data yang jumlahnya milyaran dan tersebar di seluruh jagat internet seperti sekarang ini. Indah memang jika dikotomi ini bisa dirangkai menjadi harmoni.
Dapat diduga, semakin mendekati hari-H pilpres 2014, penggunaan dikotomi ini semakin menjadi-jadi, dan semakin membuat rakyat bingung dan terkotak-kotak.
Begitu sengitnya pilpres memperebutkan suara umat islam melahirkan pertanyaan besar : Akan dibawa kemana biduk umat ini ?
Sungguh kami sangat rindu akan terwujudnya ayat ini : “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang- orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang- orang yang mewarisi (bumi),” QS. Al- Qashash 28:5
Orang yang tertindas? Ya, strata masyarakat seperti inilah sebetulnya pemimpin sejati itu. Merekalah yang akan mewarisi bumi. Paradox memang, dan saksikanlah saat ini, di seluruh pelosok dan penjuru bumi, kezaliman merajalela, penindasan ada di mana-mana. Hanya karena faktor ‘tidak suka’, 683 aktivis Ikhwanul Muslimin dijatuhi hukuman mati oleh rezim penguasa Mesir. Hanya karena mundurnya seorang muslim dari posisi kepresidenan di Afrika Tengah, seluruh penduduk muslim diusir dari negara tersebut atau harus menghadapi ancaman kanibalisasi massal jika ngotot bertahan. Hanya karena ingin ‘memastikan’ kemenangan secara telak dalam pemilu, Assad berhasil mengosongkan setengah dari penduduknya melalui metoda pengungsian, metoda pembantaian dan metoda bumi hangus. Hanya karena beragama islam, maka ditindaslah rakyat Rohingya di Myanmar.
Di mana-mana kaum tertindas itu karena posisinya lemah. Namun, di sinilah paradox itu akan berlaku. Kaum tertindas itu di manapun dan kapanpun, selalu erat kaitannya dengan pergantian kepemimpinan. Sejarah membuktikan bahwa kaum tertindas inilah kingmaker sesungguhnya, bahkan mereka bisa menjadi king itu sendiri. Mari kita lihat daftarnya dari dulu hingga kini.
Nabi Musa meski tanpa senjata namun karena perbudakan telah mencapai ambang batas perikemanusiaannya, beliau mampu melepaskan rakyatnya dari jeratan pasukan firaun yang perkasa. Amerika Serikat berubah menjadi negara raksasa setelah pasukan Utara berhasil membebaskan warga kulit hitam dari perbudakan pasukan Selatan. Revolusi Perancis pecah akibat raja Louis dan bangsawannya yang berperilaku borjuis di atas penderitaan rakyatnya. Kebudayaan Islam bisa masuk ke dataran Eropa setelah Tariq bin Ziyad mendapat panggilan permintaan tolong rakyat Andalusia untuk membebaskan dari kezaliman raja Roderic. Pasukan Sekutu bisa memenangkan perang dunia II dengan dalih hendak membebaskan kaum Yahudi dari penindasan Nazi. Pasukan komunis bisa menciptakan Uni Soviet juga dengan alasan membebaskan kaum proleter. Indonesia mampu mengalami Revolusi Mei yang menumbangkan rezim orde baru, karena rakyat telah jenuh dikerdilkan. Corazon Aquino meraih dukungan people’s power setelah masyarakat sudah tidak tahan lagi dengan kediktatoran Ferdinand Marcos. Arab Spring yang menggegerkan dunia juga karena rakyat sudah muak dengan kelaliman berjamaah yang dilakukan raja-raja kecil di dunia arab. Bahkan, Rusia dengan mudah masuk ke Ukraina pun karena alasan ingin membebaskan warga Rusianya dari penindasan.
Kekuatan apa yang dimiliki rakyat tertindas sehingga memiliki kemampuan untuk mengubah atau mengganti kepemimpinan, tak peduli sekokoh dan sezalim apapun pemimpin tersebut ?
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. QS Al Hujurat 13
Kemuliaan manusia, itulah causa universalis yang selalu menjadi idaman, impian dan harapan manusia agar bisa terwujud. Dan hal inilah yang menjadi energi bahan bakar yang tak pernah habis bagi kaum tertindas untuk bangkit dan mengubah nasibnya. Kesejajaran hubungan antar manusia dengan manusia dalam kerangka ketaqwaan kepada Allah itulah yang disebut kemerdekaan yang hakiki.
Di sinilah letak benang merah itu, pemimpin Indonesia masa depan adalah pemimpin yang peka terhadap kezaliman yang terjadi di dunia saat ini. Mengingat vox populi sangat berperan pada pilpres 2014 ini, capres yang layak adalah capres yang telah memahami secara sadar, kesedihan dan kegelisahan masyarakat yang mendalam atas merajalelanya kezaliman ini, dan telah memiliki track record yang jelas untuk menjadi bagian dari pembasmi kezaliman ini.
Pemimpin yang ideal adalah yang akuntabel, bisa diperiksa, bisa dikritik, bisa diingatkan dan bisa diluruskan oleh warganya yang paling lemah sekalipun. Pernah seorang khalifah berkata, “Seandainya seekor kambing di Irak terpeleset kakinya, maka aku menganggap dirikulah yang harus bertanggungjawab di hadapan Allah. Mengapa aku tidak membuatkan jalan untuknya?”
Begitu berat amanat untuk menjadi pemimpin hingga Umar bin Khathab menggambarkan, “Saya sudah cukup senang jika dapat keluar dari dunia ini dengan impas: tidak mendapat dosa dan tidak pula diberi pahala.”
Kemampuan untuk mengangkat dari umat terpuruk menjadi umat terbebas bukan saja tolok ukur untuk memilih pemimpin namun juga adalah sebuah beban hutang yang teramat berat bagi seorang pemimpin untuk ditunaikan selama masa kepemimpinannya. Dan menjadi beban dosa luar biasa bagi sang pemimpin apabila tidak diperhatikannya.
Pada era modern seperti sekarang ini, saat masyarakat berusaha merumuskan kata supremasi hukum, Ikhwanul Muslimin melalui Hasan al Banna telah mengajarkan ketundukan pada hukum melalui teladan, di mana IM tidak berubah menjadi organisasi teroris, ketika pemimpinnya digantung di depan umum. Partai PKS sebagai satu-satunya partai islam yang mengalami koreksi akibat kasus ustadz LHI, justru harus bangga karena pemimpinnya mampu memberikan teladan kepada masyarakat bagaimana sikap ketundukan pada supremasi hukum, tanpa rekayasa kekuatan politik apapun, sehingga harus menerima vonis luar biasa zalim untuk sebuah kasus yang luar biasa fiktif. Kepasrahan dan ketawakkalan ustadz LHI ini dipandang salah satu cara jitu untuk memutus lingkaran setan hukum yang saat ini sudah mengarah kepada komersialisasi hukum. Komersialisasi hukum telah menjelma menjadi kezaliman baru di abad modern ini.
Hasan al Banna dalam salah satu kesempatan berkata, “Sungguh umat tidak membutuhkan sama sekali keberadaan partai yang tidak mampu melayani masyarakatnya, menyatukan potensi bangsanya, memanfaatkan keunikan dan spesialisasi warganya, dan mencurahkan sepenuh waktunya untuk mengupayakan perbaikan negaranya. Karena tanpa itu semua, segala faktor penyebab kehancuran akan datang silih berganti mencegah bangsa itu untuk bangkit. Sebaliknya, sistem politik wihdah (bersatu- padunya potensi umat-red), selalu menampakkan kecemerlangan dalam sejarah kebangkitan.”
Banyak sekali kezaliman yang berlaku saat ini, lalu kezaliman yang mana yang harus diprioritaskan untuk dikikis ? Itu terpulang pada kecerdasan dan hati nurani para pengambil kebijakan. Namun yang jelas, MEMBEBASKAN MANUSIA DARI KEZALIMAN itu bukan pekerjaan yang mudah….
Sebagai test case, lihatlah Suriah. Di sana terjadi salah satu peristiwa yang paling menyedihkan sepanjang sejarah manusia. Belum pernah ada sebuah kasus di mana semua pihak di muka bumi berpihak kepada pihak penzalim, dan hanya sedikit saja pihak yang membela pihak terzalimi. Jutaan manusia terdislokasi, pembantaian massal tak henti-henti, paling tidak 3 generasi terputus masa depannya akibat ketiadaan infrastruktur, dan yang paling pilu adalah berubahnya stadion-stadion menjadi tempat pemerkosaan massal sekaligus jadi tontonan pengganti pertandingan olahraga. Naudzubillahi mindzalik, ya Allah…
Kami ingin melihat, apa yang akan dilakukan para pemimpin muslim akan hal ini, bagaimana mereka menyikapinya dan menunjukkan kepeduliannya, bagaimana qiyadah melakukan langkah-langkah persiapan dalam merealisasikan aksinya, bagaimana mereka menggalang dukungan dalam dan luar negeri agar dunia turut berperan serta dalam memberantas kezaliman ini.
Dan, perlu cara-cara luar biasa untuk menggalang dana yang luar biasa.
Hingga saat ini baru beberapa negara saja yang telah menunjukkan kepeduliannya secara nyata. Turki contohnya, memberlakukan “galang dana gotong royong Syria” dari setiap kontrak yang dimenangkan perusahaan swasta pemenang tender. Dan memobilisasi terus menerus aset-aset negaranya untuk menampung para pengungsi Suriah.
Indonesia pun dapat melakukan hal serupa, kelaparan luar biasa yang dihadapi rakyat Suriah, berhak dan layak mendapat perhatian dari rakyat Indonesia. Perlu mobilisasi nasional untuk menghantarkan segala jenis bantuan kemanusiaan bagi terwujud kembalinya kehidupan normal rakyat Suriah. Pergerakan negara yang masif jelas berbeda daya impaknya jika dibandingkan dengan LSM-LSM swasta yang bergerak.
Suara partai-partai islam yang besar pada pemilu kali ini sudah seharusnya bisa diaplikasikan menjadi kekuatan nyata di parlemen untuk menyediakan ruang anggaran bagi mobilisasi nasional, dan hanya calon eksekutif yang jelas-jelas memiliki pembelaan terhadap kezaliman kaum muslim sajalah yang bisa tampil sebagai pembela program ini. Meski hal ini menyangkut hidup-matinya kewarasan peradaban modern saat ini, namun hanya pemimpin yang sholeh sajalah yang mampu mendeskripsikan dengan detail persiapan matang dan penyiapan segala aspek yang terkait dengan mobilisasi ini yang akan menjadi kriteria bagi rakyat untuk memberi approval.
Jika PBB, OKI tidak lagi bisa diharapkan dukungan nyatanya, ada sebuah kekuatan lagi yang masih terpendam dan belum termanfaatkan oleh kaum muslimin, yaitu bahu-membahunya negara penduduk muslim berjumlah besar dalam memecahkan krisis kemanusiaan ini.
Lalu apakah para pemangku partai dan capresnya telah dan akan memperjuangkan hal ini ?
Ingat wahai pemimpin…. kami memilih dan mengangkat antum dalam pileg, pilpres dan pil-pil.. lainnya adalah untuk menjadi PAHLAWAN bagi kami, bagi umat, bagi Islam.
Kami titipkan jeritan suara hati kami sebagai umat agar kalian tampil sebagai PEMBEBAS kaum tertindas. Lain tidak. Di akhirat pun, akan kami tagih amanahnya.
Akhirul kalam, seperti yang telah diuraikan di bagian pertama, dalam memilih pemimpin janganlah menggunakan dikotomi ashobiyah yang akan mengkotak-kotakkan umat…. namun gunakan kriteria al Quran
إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Sesungguhnya manusia terbaik yang anda tunjuk untuk bekerja adalah orang yang kuat dan amanah.” (QS. Al-Qashas: 26).
Pemimpin sholeh yang kuat dalam mengemban amanah untuk membela kezaliman terhadap ummat Islam. Ini barangkali yang bisa kita gunakan untuk memilih pemimpin pada hari H nanti.
Wallahu a’lam
Moyo
Pemerhati Dunia Islam dari Turki
Mahasiswa Doktoral