Oleh: Edi Kurniawan*
Beberapa waktu lalu sebuah artikel dengan judul Neo-Zahiri ditulis oleh Bapak Azyumardi Azra dalam sebuah Harian Nasional. Menurutnya, secara terminologi neo-zahiri berasal dari pemikiran Islam klasik yang disebut dengan mazhab Zahiri, yaitu faham yang hanya melihat ayat al-Qur’an dan Hadis Shahih, Mutawatir secara lahir, harfiah atau literal saja. Salah satu contoh pemikiran neo-zahiri ala Indonesia yang disebutkan oleh pak Azra dalam tulisannya seperti anjing bukanlah najis karena tidak ada ayat al-Qur’an secara eksplisit menyatakan hal demikian. Al-Qur’an hanya berbicara tentang haramnya memakan bangkai, khinzir (babi), dan darah mengalir (al-Baqarah 2: 173; al-Maidah 5: 3). Dalam hal terakhir ini karenanya darah yang sudah dibekukan menjadi marus (semacam ‘tahu’) boleh saja dimakan.
Sebagai solusi dalam menyikapi masalah ini Pak Azra menawarkan perlunya pengembangan sikap tasamuh dan tawazun. Menurutnya, tanpa itu umat Islam Indonesia dapat kembali terjebak ke dalam pertikaian furuʿiyah dengan tensi dan konfliknya yang bisa tak berujung, yang tak lain hanya merugikan umat dan bangsa secara keseluruhan.
Solusi ini perlu diapresiasi. Namun menurut penulis, sikap tasamuh dan tawazun itu jangan dibatasi hanya pada neo-zahiri saja, tetapi neo-muʿaththilah juga, karena kedua-duanya sama bahayanya. Yang satu terlalu kaku dalam memahami teks agama dan yang satu terlalu liberal dalam memahami dan menafsirkannya.
Tulisan ini akan membahas pemikiran neo–muʿaththilah sebagai lawan neo-zahiri yang luput dari pembahasan Pak Azra. Hal ini mengigat, kelompok ini juga telah berkembang dan banyak melahirkan ‘fatwa nyeleneh’ dalam masalah keagamaan. Sebut saja misalnya menghalalkan homoseksual, lesbian, pernikahan beda agama, meragukan keotentikan al-Qur’an, untuk menyebutkan beberapa contoh.
Neo-muʿaththilah yang penulis maksud disini adalah merujuk kepada tulisan Yusuf al-Qaradhawi dengan judul Dirasah fi Fiqh Maqashid al-Syariʿah. Buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh rekan seperjuangan penulis di CASIS-UTM, Arif Munandar Riswanto, dengan judul Fikih Maqashid Syariʿah. Dalam bahasa al-Qaradhawi, kelompok ini disebut al-muʿaththilah al-judud (penganulir baru). Menurutnya, istilah ini merujuk kepada golongan yang mewarisi penganulir zaman dahulu yang kerjanya menganulir nama-nama Allah swt. dari hakikat maknanya. Kelompok ini berani melawan teks-teks agama yang diabawa oleh wahyu mukshum, baik Qur’an ataupun Sunnah. Mereka menolak teks-teks tersebut tanpa peduli, serta membekukannya tanpa ilmu dan petunjuk, kecuali mengikuti hawa nafsu atau golongan yang ingin membuat fitnah terhadap agama Allah swt. (Lihat, Fikih Maqashid Syari’ah, hlm. 84-85)
Ciri-cirinya menurut al-Qaradhawi ada tiga, yaitu pertama, dangkal pemahamannya terhadap sunnah. Kedua, berani berpendapat tanpa ilmu. Ketiga, mengikuti pemikiran Barat (ʿabid al-fikr al-gharbi). (Ibid… hlm. 90-94).
Jika disempitkan ciri-ciri ini dalam melihat neo-muʿaththilah ala Indonesia; ciri-ciri yang pertama barangkali tidaklah bisa dibenarkan semua dan disalahkan semua, sebab sebagian dari mereka adalah alumni Pesantren dan Perguruan Tinggi Islam yang tentu tahu tafsir, hadits, fikih dan pengetahuan agama lainnya. Cuma karena pemikiran sofis sudah mengental, merakapun pura-pura tidak tahu atau sudah tahu tapi ragu (sophist), sehingga membuat tafsiran mereka itu kabur.
Ciri-ciri yang kedua juga sama seperti pertama, tidak bisa dibenarkan dan disalahkan semua. Dan ciri-ciri yang ketiga menurut Qaradhawi adalah ʿabid al-fikr al-gharbi. Inilah menurut penulis yang menjadi sumber ‘malapetaka’ terbesar dari ketiga ciri-ciri ini.
‘Perkawinan’ antara Neo-Muaʿaththilah dan Epistomilogi Barat
Sebelum berbicara tentang epistimologi Barat dan pengaruhnya pada kelompok neo-muʿaththilah, ada baiknya kita defenisikan terlebih dahulu apa itu kebudayaan Barat.
Menurut Prof. Al-Attas, ada tiga ciri-ciri kebudayaan Barat, yaitu pertama, kebudayaan Barat adalah kebudayaan ‘gado-gado’ yang terhimpun dari kebudayaan Yunani, Romawi dan unsur-unsur lainnya seperti bangsa Jerman, Inggris dan Prancis. Kedua, agama Kristen meskipun telah berpindah ke Barat, namun ia terjajah oleh kebudayaan yang telah lama dianuti oleh kebudayaan Barat dan karena itulah kebudayaan Barat dapat dikatakan bersumber filsafat, bukan agama. Ketiga, berdasarkan pandangan hidup tragic, yaitu menerima pengalaman kesengsaraan hidup sebagai kepercayaan mutlak yang mempengaruhi peranan manusia di dunia. (Lihat, Risalah Untuk Kaum Muslimin (2001), hlm. 18-19).
Dalam perkembangannya, filsafat Barat ini telah menjadi pandangan hidup sekuler atau yang dikenal dengan faham Humanisme, yaitu faham yang meletakkan kepentingan atas dasar kemanusiaan, keduniaan dan kebudayaan sehingga agama tidak dapat masuk dan berkembang dalam faham ini. Intinya, filsafat ini berdasarkan penerimaan faham dualisme atau penduaan hakikat mutlak, termasuk penduaan nilai kebenaran sebagai kenyataan yang dianggap benar dan mutlak. (hlm. 20)
Ketidaksesuaian antara agama, filsafat dan sains menyebabkan dampak yang besar pada epistemologi ilmu kontemporer, dimana faham keraguan telah menjadi epistimologi yang sah dan valid dalam menafsirkan berbagai ilmu, termasuk agama. Maka tidak heran kemudian muncul ilmuan ateis semacam Friedrich Nietzsche (1844-1900), Bertrand Russel (1872 –1970), Wittgenstein (1889-1951), Heidegger (1889-1976), bahkan Paul Johnson telah mencatat dan mengkritisi beberapa tokoh ateis Barat yang yang mempunyai pengaruh dalam ilmu pengetahuan seperti Shelley, Karl Marx, Henrik Ibsen, dan beberapa tokoh lainnya. (Lihat, Intellectuals: From Marx and Tolstoy to Sartre and Chomsky, 1988).
Peran agama dikesampingkan. Apa yang baik menurut akal manusia, itulah kebaikan. Gereja pun demikian, telah menjelmakan diri sebagai lawan dari ilmu pengetahuan, “In reality there is no relationship nor friendship nor even enmity between religion and real science: they live on different stars”, kata Friedrich Nietzsche. (Lihat, Human All Too Human (2005) hlm. 88). Akibatnya, meskipun Barat maju dalam bidang sains dan teknologi, tapi kemajuan itu pula yang menjadi malapetaka terhadap alam dan umat manusia karena tidak dibimbing oleh nilai agama dan akhlak. Lebih parah lagi ketika ilmu-ilmu sosial diterapkan dalam kajian keagamaan, dimana akhir-akhir ini disetujui pula oleh kalangan Muslim liberal, dampaknya lahirlah kelompok yang me-muʿaththilah-kan (membatalkan) agamanya atas nama HAM, Gender, dan Equality.
Tidak dinafikan bahwa ‘perkawinan’ antara neo-muʿaththilah dan epistimologi Barat telah membawa kerusakan pada epistiomologi dan metodologi agama yang telah dikembangkan dan diamalkan oleh ulama-ulama kita yang muktabar dari zaman ke zaman, tentu berdampak pada aflikasi nilai-nilai agama.
Dalam menyikapi masalah ini, hemat penulis, benarlah apa yang dikatakan oleh Prof. al-Attas bahwa tantangan terbesar kita hari ini adalah tantangan ilmu, bukan lawan kejahilan, akan tetapi ilmu yang difahami dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat, karena hakikatnya telah bermasalah yang disebabkan mengangkat keraguan dan dugaan pada tingkat ilmiah dalam hal metodologi serta menganggap keraguan sebagai sarana epistimologi yang paling tepat untuk mencapai kebenaran. (Lihat, Islam and Secularism (1993) hlm. 133)
Lebih lanjutnya beliau menjelaskan, worldview ini telah melahirkan kebingungan dan skeptisisme serta menjadikannya sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuwan, menolak Wahyu dan kepercayaan agama dalam ruang lingkup keilmuan dan menjadikan spekulasi filsafat yang berkenaan dengan kehidupan sekular yang menumpukan manusia sebagai makhluk rasional sebagai asas keilmuwan. (ibid, hlm. 133-135)
Sebagai contoh dari hasil ‘perkawinan’ ini misalnya, dalam bidang hukum kita saksikan kelompok ini menundukkan hukum Tuhan dibawah nilai HAM, Gender dan Humanisme Barat. Hasilnya muncullah berbagai kerancuan pemikiran seperti penghalalan lesbian dan homoseksual. Sementara hukum waris, hudud, qishas, dan jilbab, itu tidak relevan lagi pada zaman modern ini, katanya.
Dalam bidang tafsir muncul para pengagum hermeneutika yang menerapkan metode tafsir ini atas-ayat al-Qur’an. Hasilnya tidak ada lagi konsep qathʿi atau tsawabit, semuanya boleh ditafsirkan.
Dalam bidang akidah muncul pula faham pluralisme agama sebagai barang impor dari pemikiran Wilfred Cantwell Smith (1916-2000), John Hick (1923-2012) dan Frithjof Schuon (1907 –1998) yang akhir-akhir ini diikuti dan dikampanyekan oleh golongan pluralis di tanah air.
Pemikiran ini tumbuh dan berkembang dari Perguruan Tinggi Islam yang tak ketinggalan, Perguruan Tinggi Islam yang pernah dipimpin oleh pak Azra pun, konon, dikatakan sebagai ‘markas’nya neo-muʿaththilah ini.
Jalan Tengah
‘Ala kulli hal, sikap tasamuh, tawazun atau meminjam bahasa ar-Qaradhawi disebut washatiyyah, itu tidak hanya berlaku dalam menghadapi neo-zahiri, tapi juga dalam menyikapi neo-muʿaththilah atau juga dalam menempatkan diri antara keduanya. Dengan sikap seperti ini maka akan menempatkan nash itu sesuai porsinya, dalam artian tidak melupakan teks-teks partikular (dari al-Qur’an dan As-Sunnah), tetapi dalam satu waktu juga tidak memisahkannya dari maksud-maksud global. (Fiqih Miqashid … hlm. 39) Tidak bergantung pada teks-teks partikular dan memahaminya secara literal sehingga jauh dari maksud syari’ah yang ada dibelakangnya, seperti yang difahami kaum neo-zahiri, dan tidak pula bergantung pada maksud-maksud syari’ah dan ruh agama semata-mata dengan menganulir teks-teks partikular di dalam al-Qur’an dan Sunnah seperti yang dipraktekkan oleh kaum neo-muʿaththilah. Karena ia mengembalikan furu’ kepada ushul, partikular kepada global, mutaghayyirat kepada tsawabit, mutasyabihat kepada muhkamat serta memegang teks-teks qatʿi – baik dari tsubut atau dilalah-nya – dengan sangat teguh. (Lihat selengkapnya, ibid, hlm. 143-237) Dengan demikian, Islam itu akan shalih likulli zaman wa makan (berlaku untuk setiap waktu dan tempat). Wallahuaʿlam!
(Penulis adalah Mahasiswa Master di Centre for Advanced Studies on Islam, Science and Civilization (CASIS) – Universiti Teknologi Malaysia, Kuala Lumpur)