Bukan rahasia lagi bahwa demokrasi yang digulirkan sejak reformasi 1998 telah bermetamorfosis jadi demokrasi kirminal. Proses yang dilalui adalah demokrasi prosedural yang hanya sibuk pilih-memilih setiap lima tahunan. Lalu demokrasi transaksional yang penuh dengan money politic dan berbagai kecurangan. Kemudian terdampar menjadi demokrasi kriminal yang mengantarkan para pelakunya pada pelanggaran hukum.
Demokrasi yang sebelumnya digadang-gadang bakal memberi kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, ternyata justru membuat tatanan hidup bermasyarakat dan bernegara di negeri ini makin babak-belur. Mahalnya biaya politik telah menyulap para politisi dan pejabat publik menjadi para bandit penjarah uang negara. Tidak berlebihan bila tiga pilar demokrasi di Indonesia telah terpeleset menjadi executhief, legislathief, dan yudicathief.
Barangkali itu sebabnya Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo kemarin (9/3/2015) melemparkan wacana pembiayaan Parpol melalui APBN. Tidak tanggung-tanggung, angka yang disorongkannya adalah Rp1 triliuan untuk tiap partai. Logika yang diusungnya, dengan mendapat gelontoran dana superjumbo itu, Parpol tidak lagi ‘menugaskan’ kadernya di tiga pilar demokrasi tadi untuk menangguk dana. Dengan begitu, korupsi yang selama ini menggurita dari hulu-hilir bisa diredam, syukur-syukur dapat dikikis sampai titik terendah.
Gagasan Rizal Ramli
Keruan saja, wacana Tjahjo itu segera menyulut pro-kontra. Tapi yang menarik adalah, sebelum mantan Sekjen PDI-P itu melontarkan wacana pembiayaan parpol oleh APBN, Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli, sudah melontarkan gagasan serupa jauh sebelumnya. Paling tidak, ide itu disampaikannya saat menyampaikan pidato kebudayaan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), awal Mei 2011.
Pada kesempatan itu dia mengatakan, agar sistem demokrasi sungguh-sungguh bekerja untuk kepentingan rakyat dan tidak dibajak oleh kekuatan uang, maka perlu dilakukan reformasi pembiayaan partai politik. Caranya, Parpol dibayai negara. Di sejumlah negara maju seperti Jerman dan Australia, Parpol memang dibiayai negara.
Menurut dia, dengan dibiayai negara, Parpol tidak lagi sibuk mencari dana secara tidak sah dan melanggar hukum. Selanjutnya Parpol bisa berkonsentrasi untuk mencari kader-kader yang berkualitas dan berintegritas. Selama ini banyak dosen muda yang pandai dan berintegritas tetap ‘tenggelam’ di kampus, karena tidak punya dana untuk maju menjadi Caleg. Begitu juga dengan anak-anak muda yang indealis dan kritis, tetap harus puas berteriak-teriak dari pinggir jalan. Bagaimana mungkin mereka bisa menyediakan dana miliaran hingga triliunan rupiah untuk bisa duduk di kursi legislatif dan eksekutif?
Demokrasi kriminal seperi ini hanya melahirkan pemilik modal atau mereka yang punya bandar saja yang bisa melenggang jadi pejabat publik. Menjadi normal bila saat duduk, yang pertama mereka lakukan adalah bagaimana mengembalikan investasi dan utang dari para Bandar tadi. Maka korupsi besar-besaran yang dilakukan secara berjamaah pun terjadi dengan massif.
‘Hanya’ Rp5 triliun
Tapi saat itu seruan ekonom senior tersebut seperti desahan di padang sahara yang luas. Tak berbekas. Tak berbalas. Nyaris tidak ada elit partai dan pejabat publik yang menanggapinya. Semua sibuk dengan agenda masing-masing. Maksud saya, agenda membegal anggaran untuk melanggengkan kekuasaan dan menggendutkan pundi-pundi pribadi, juga partai.
Pada 2013, Rizal Ramli kembali mencetuskan usulan tersebut. Kembali dia menyerukan perlunya Parpol dibiayai APBN. Dalam kalkulasinya, anggarannya ‘hanya’ sekitar Rp5 triliun/tahun dari total APBN yang saat itu Rp1.600an triliun. Jumlah ini jauh lebih kecil ketimbang penggarongan sistematis anggaran yang mereka lakukan melalui Badan Anggaran (Banggar) yang ditaksir jumlahnya tidak kurang dari Rp60 triliun setiap tahun. Ini hanya di tingkat pusat alias belum termasuk di DPRD kota/kabupaten dan provinsi.
Tentu saja, dia juga menyadari tingkah-polah kriminal yang boleh disebut telah menyusup ke tulang sumsum para elit kita. Pembiayaan parpol oleh negara memang tidak menjamin mereka tidak lagi korupsi. Besarnya dana untuk partai juga sangat mungkin diselewengkan untuk memenuhi syahwat kriminal para petinggi partai.
Itulah sebabnya ekonom senior tersebut juga menyertakan sejumlah persyaratan dan pengawasan yang ketat atas keuangan partai, plus sanksi tegas dan keras. Misalnya, harus ada audit keuangan oleh lembaga independen dan punya integritas. Lalu, parpol yang tetap juga menggasak uang rakyat, maka bisa dijatuhi sanksi hingga pembubaran. Para pelaku dan elitnya diganjar dengan hukuman pidana amat berat.
Kembali ke awal tulisan ini, isyarat apa yang bisa ditangkap dari wacana Tjahjo agar negara membiayai partai? Akankah ini bakal menjadi awal dimulainya babak baru demokrasi, demokrasi yang bebas dari transaksi dan kriminal? Kita lihat saja nanti… (*)
Jakarta, 10 maret 2015
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic & Democracy Studies (CEDeS)