Natal, Toleransi, Dan Ulil

1Oleh Abu Azizah

Sebenarnya saya sudah tidak tertarik mengulik masalah natal. Sudah terlalu banyak tulisan yang mengulas masalah natal dari berbagai aspek dan perspektif. Tidak hanya dari kalangan muslim saja melainkan dari kalangan Kristen itu sendiri. Mereka yang masih berpegang teguh pada konsep-konsep ilmiah dan jujur pasti mengakui bahwa natal bukanlah 25 Desember sebagaimana klaim teman-teman Kristen.

Umat muslim tidak pernah mempermasalahkan apalagi melakukan tindakan menghalang-halangi teman-teman Kristen merayakan natal. Pun demikian ulama yang kompeten di bidangnya.

Para ulama hanya memberikan batasan dan larangan yang sifatnya ke dalam. Sebut saja Buya Hamka yang terpaksa harus mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua MUI karena memfatwakan haram mengucapkan natal bagi umat muslim. Namun tidak ada sepatah katapun atau secoret kata yang merekomendasikan umat islam menghalangi pelaksanaan natal. Para ulama hanya melarang muslim di Indonesia terlibat dalam prosesi dan ritual natal dalam bentuk apapun dan sekecil apapun. Sebab natal adalah wilayah aqidah. Bukan hanya sekedar peringatan hari lahir Yesus.

Para ulama dengan tegas menolak segala bentuk keterlibatan umat muslim dalam perayaan natal. Mengucapkan natal, menghadiri prosesi dan ritual natal di gereja atau tempat-tempat khusus serta melarang penggunakan atribut dan pernak-pernik natal.

Sayangnya sikap umat islam ini dimaknai secara serampangan dengan meminjam istilah yang sengaja diperkosa maknanya. Toleransi.

Dengan selubung toleransi umat islam dipaksa secara sengaja atau tidak sengaja ikut terlibat. Beberapa atribut natal seperti topi dan atau baju sinterklas ‘dipaksa’ untuk dikenakan oleh para karyawan muslim maupun non muslim di luar Kristen. sampai kepala Negara atau kepala daerah dan atau pejabat ‘dipaksa’ untuk menghadiri prosesi dan ritual puncak natal.

Sudah banyak umat islam yang menjadi korban dan terjebak dalam dongengan toleransi. Secara sembrono toleransi diacak-acak makna sehingga perlahan-lahan bergeser dan diperluas maknanya secara kabur menjadi ‘ikut terlibat’. Padahal sebenarnya toleransi sendiri maknanya tidaklah seluas itu.

Toleransi berasal dari kata toleran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia toleran didefinisikan sebagai “bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Kata toleransi sebenarnya bukanlah bahasa asli Indonesia, tetapi serapan dari bahasa Inggris “tolerance”, yang definisinya juga tidak jauh berbeda dengan kata toleransi/toleran. Menurut Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English, toleransi adalah “quality of tolerating opinions, beliefs, customs, behaviors, etc, different from one’s own.” Lebih lanjut menurut Abdul Malik Salman, kata tolerance sendiri berasal dari bahasa latin “tolerare” yang berarti “berusaha untuk tetap bertahan hidup, tinggal, atau berinteraksi dengan sesuatu yang sebenarnya tidak disukai atau disenangi.

Dalam bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan dari kata toleransi adalah Tasamuh. Kata ini pada dasarnya berarti kemuliaan atau lapang dada dan ramah, suka memaafkan. Makna ini selanjutnya berkembang menjadi sikap lapang dada/terbuka welcome dalam menghadapi perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang mulia. Dengan demikian, kata tasamuh memiliki keutamaan, karena melambangkan sikap yang bersumber pada kemuliaan diri dan keikhlasan.

Dengan demikian toleransi merupakan instrumen yang harus dimiliki oleh suatu kemajemukan sebagai solusi dari persinggungan dan benturan hak-hak individu maupun kelompok. Sehingga masing-masing bisa berjalan sebagaimana mestinya tanpa adanya paksaan dan berlapang dada dalam menerima perbedaan meskipun tidak menyukainya.

Toleransi berusaha menghargai hak-hak individu atau kelompok dengan tidak memaksakan hak-haknya pada individu atau kelonpok lain selama tidak menganggu, menghalangi, atau menegasi hak-hak individu atau kelompok lain. Sebagai contoh, non muslim yang sedang mengadakan pesta akan menghentikan pestanya saat adzan dhuhur berkumandang sampai selesainya shalat dhuhur. Sebaliknya, umat muslim tidak membuat gaduh dan huru-hara di sekitar gereja saat sedang diadakan kebaktian.

Namun akan berbeda jika salah satu pengikut agama terlibat dalam prosesi ibadah agama lain. Prilaku seperti ini tidak bisa dikategorikan toleransi. Sebab batas toleransi hanya menghargai, membiarkan, membolehkan. Mengikuti dan memaksa bukanlah toleransi. Toleransi punya batas-batas jelas baik yang sifatnya tertulis maupun tidak tertulis.

Toleransi antar umat beragama dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat yang menganut agama lain dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan baik untuk beribadah maupun tidak beribadah dari satu pihak ke pihak lain. Sebagai implementasinya dalam praktik kehidupan sosial dapat dimulai dari sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.

Sikap toleransi antar umat beragama bisa dimulai dari hidup bertentangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita maupun tidak. Sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati saling memuliakan dan saling tolong-menolong.

Dalam memahami toleransi, umat islam tidak boleh salah kaprah. Toleransi terhadap non-muslim hanya boleh dalam aspek muamalah, tetapi tidak dalam hal aqidah dan ibadah. Islam mengakui adanya perbedaan tetapi tidak boleh dipaksakan agar sama sesuatu yang jelas berbeda. Al-Qur’an telah menegaskan lewat salah satu suratnya yaitu surat Al-Kafiruun:1-6

Umat islam harus bisa menempatkan toleransi di tempat yang benar dalam menyikapi Natal sebagai Hari Raya Umat Kristen. Natal sangat berbeda dengan hari raya lain semacam idul fitri atau idul adha.

Natal mengandung muatan aqidah prinsip dalam teologi Kristen. Natal adalah hari dimana Yesus dilahirkan. Dalam Kristen, Yesus adalah oknum kedua dari Trinitas yang merupakan dogma paling fundamental dalam Kristen.

Dalam New Catholic Encyclopedia Second Edition, Yesus digambarkan sebagai berikut: “The Church believes that Jesus Christ is true God, Son of God made man, the Second Person of the Trinity, who took unto Himself a human nature and so exists not only in the divine but also in a human nature: one divine Person in two natures.” (Gereja meyakini bahwa Yesus adalah Sebenar-benarnya Tuhan, Putra Allah yang menjadi manusia, Allah yang menjadikan dirinya manusia dan terlahir tidak hanya bersifat keilahian tapi juga sebagai manusia: Satu pribadi dengan dua kodrat.)

Hal ini juga tercantum dalam Injil Yohanes 1:1-14 sebagai berikut : “(1) Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. (2) Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. (3) Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. (4) Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia … (13) orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah. (14) Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.”

Jelaslah bagi kita siapa Yesus menurut iman Kristen. Dia adalah oknum kedua trinitas yang sering disebut Tuhan Anak. Dia Tuhan yang menjadi manusia yang dilahirkan sebagai Mesias yang mengorbankan dirinya di tiang salib untuk menebus dosa manusia.

Dan Natal yang dianggap bertepatan dengan 25 Desember adalah kelahiran Sang Juru Selamat, Mesias, Yesus Kristus oknum kedua Trinitas sebagai reinkarnasi dari Firman (Allah) yang menjadi daging. Tanggal dimana umat Kristen bersuka cita karena telah lahir manusia yang mengorbankan dirinya di tiang salib untuk menebus dosa manusia dengan darahnya.

Tampaknya sepele. Hanya ucapan Selamat Natal. Tapi kenapa ucapan itu diucapkan? Sebab ada momen luar biasa. Hari dimana saat tanggal 25 Desember ada yang telah lahir ke bumi. Yakni Yesus Kristus. Sang Penyelamat Kristen. Oknum Kedua Trinitas. Tuhan Anak.

Dengan mengucapkan Selamat Natal, Si Pemberi Selamat secara tidak langsung mengakui dan membenarkan bahwa benar ada yg lahir pada tanggal tersebut.

Dalam Islam, tidak ada larangan menyelamati peringatan hari lahir seseorang. Sepanjang tidak ada unsur pelanggaran nilai-nilai islam. Sementara mengucapkan Selamat Natal secara tidak langsung mengakui ‘Benar Tuhan Anda lahir 25 Desember dan semoga Anda selamat di hari ini.’ Membenarkan secara tidak langsung dengan ucapan bahwa benar ada oknum trinitas yang lahir.

Pengakuan secara tidak langsung ini jelas menegasi apa yang Allah telah sampaikan dalam Al-Qur’an berikut ini: “Sesungguhnya Al Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: “(Tuhan itu) tiga“, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara.”

Selain pembenaran ketuhanan Yesus, mengucapkan Selamat Natal juga membenarkan tanggal 25 Desember adalah hari tepat dimana Yesus dilahirkan. Padahal sebagian umat Kristen meragukan tanggal ini. Bahkan beberapa sekte Kristen menolak dengan tegas.

Tak ada catatan sejarah yang valid yang bisa dijadikan landasan untuk membenarkan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Ensiklopedia Britanika menulis soal akurasi 25 Desember sebagai berikut: “Asal muasal 25 Desember ditetapkan sebagai hari lahir Yesus tidak jelas. Perjanjian Baru tidak memberikan petunjuk soal ini. 25 Desember ditetapkan pertama kali sebagai hari lahir Yesus oleh Sextus Julius Africanus pada tahun 221 dan kemudian diterima secara universal. Satu-satunya penjelasan soal asal tanggal ini adalah proses kristenisasi dari kematian solis invicti nati (“hari lahir dewa matahari yg tak terkalahkan”), yang merupakan hari libur populer Kekaisaran Romawi yang dirayakan pada titik balik musim dingin sebagai simbol kebangkitan dewa matahari, sebagai proses pelepasan musim dingin dan menyambut kedatangan musim semi dan musim panas. Bahkan setelah 25 Desember diterima sebagai tanggal kelahiran Yesus, penulis kristen menghubungkan tanggal ini dengan kebangkitan dewa matahari.”

Alkitab umat kristiani sendiri tidak mampu memberikan catatan memadai soal kapan Yesus lahir. Ayat yang bisa dijadikan bahan tinjauan untuk masalah ini adalah Lukas 2:8-11 yang berbunyi : “Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. Tiba-tiba berdirilah seorang malaikat Tuhan di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka dan mereka sangat ketakutan. Lalu kata malaikat itu kepada mereka: “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan.”

Hanya saja ayat di atas memberikan petujukan yang bertolak belakang dengan 25 Desember. Frase “ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam” menggambarkan kejadian tersebut bukan terjadi pada musim dingin. Sebab tidak ada gembala yang mau tinggal di padang pada malam hari pada musim dingin. Sebagaimana diketahui wilayah tempat lahir Yesus adalah Palestina – yang sekarang dijajah ‘israel’ laknatulallah ‘alaih – adalah wilayah dengan dua musim sebagaimana terdapat dalam Ensiklopedia Britanika 2010: “There are two distinct seasons: a cool, rainy winter (October–April) and a dry, hot summer (May–September) …ranging from about 84 °F (29 °C) in August to about 61 °F (16 °C) in January—and higher rates of humidity than areas inland, especially during the winter. Likewise, higher elevations, such as Upper Galilee, have cool nights, even in summer, and occasional snows in the winter.”

Puncak musim dingin di daerah ini adalah berkisar dari desember sampai januari. Dan ini tentu saja tidak memungkinkan para gembala tinggal di padang bersama gembalanya kecuali mereka ingin beku disergap cuaca dingin.

Jelaslah bahwa 25 Desember bukanlah waktu yang tepat menurut catat Bibel sebagai hari kelahiran Yesus. Bibel dengan petunjuk ayat ini jelas memberikan klu pada kita bahwa Yesus lahir pada musim panas yang dalam catat Ensiklopedia Britanika di atas berkisar antara bulan Mei-September.

Di samping fakta sejarah dan biblika di atas, mengucapkan Selamat Natal 25 Desember juga telah menegasi fakta sejarah yang dipaparkan Al-Qur’an berikut ini: Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, (QS Maryam: 24-25)

Ada dua point penting yang tersirat dalam dua ayat di atas, yaitu : Menjadikan anak sungai di bawah mu dan menggugurkan buah kurma yang masak kepada mu. Dua point ini tidak akan pernah terjadi pada musim dingin. Sebagaimana telah saya singgung di atas, bahwa desember di palestina adalah musim dingin. Sungai-sungai akan membeku dan Maryam serta janin tidak akan bisa bertahan dibawah sergapan suhu dingin yang menggigit.

Namun penekanan dari ayat ini adalah mengugurkan buah kurma yang masak. Kurma merupakan tanaman tropis. Musim dingin (desember) pohon kurma di palestina tidak akan menghasilkan buah apalagi matang. Buah kurma matang hanya bisa di dapatkan pada musim panas.

Memang tidak ditemukan ayat yang secara tegas melarang umat muslim mengucapkan Selamat Natal seabagaimana ciutan Saudara Ulil menanggapi himbauan Ustadz Yusuf Mansur pada Presiden Joko Widodo. Namun dari fakta-fakta di atas, kita umat muslim tidak dibenarkan dengan alasan apapun untuk terlibat atau bahkan sekedar mengucapkan Selamat Natal. Dengan ucapan ini kita sejatinya secara tidak langsung menegasi 2 ayat Al-Qur’an sekaligus.

Toleransi bukanlah alasan yang bisa digunakan untuk terlibat dalam prosesi dan ritual agama lain. Toleransi hanya sebatas membiarkan dan menghormati.

Semoga tulisan kecil ini bisa memberikan pencerahan bagi saudara ku yang sefaham dengan bang Ulil Abshar Abdalla. Sehingga bisa mendudukan masalah pada tempat yang sesungguhnya dengan tidak menyeret dan mendudukan masalah tersebut pada tempat yang tidak semesti melalui analogi yang berdasarkan pada logika yang cacat dan tidak utuh.