Guru PAI dan Sekretaris Majelis Tabligh PD Muhammadiyah di Kuansing
Ada kesadaran yang selalu muncul saat bencana datang,
bahwa selama ini kita tidak sungguh-sungguh belajar dari pengalaman. Ada kejujuran yang muncul dari pengakuan, bahwa kita selama ini
tidak benar-benar ‘bersahabat’ dengan alam. Namun sayang,
hanya sedikit orang yang menyadari bahwa ini juga
persoalan dosa-dosa kita kepada Tuhan.
BENCANA atau musibah terjadi di berbagai daerah Indonesia. Hal ini dapat kita baca atau kita saksikan melalui pemberitaan media massa. Ada bencana banjir, longsor, banjir bandang, gunung meletus dan erupsi, tanah amblas, gempa bumi, angin puting beliung, dan kebakaran hutan. Bencana telah menelan banyak korban jiwa, kerugian harta, gagal panen pertanian, hilangnya tempat tinggal, dan terganggunya aktivitas.
Padahal Tuhan tidak pernah membuat kerusakan di alam dan menganiaya hamba-hamba-Nya melalui musibah. Allah Subhaana Wa Ta’ala berfirman: “Dan tidaklah Allah berkehendak untuk menganiaya hamba-hamba-Nya” (QS Ali Imran: 108). Alam ini telah diciptakan dengan baik dan tertata dengan sempurna untuk keberlangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu manusia dilarang untuk merusaknya (lihat QS Al A’raaf : 56).
Tidaklah kerusakan alam terjadi dan bencana silih berganti datang membawa nestafa, kecuali disebabkan oleh kezaliman manusia itu sendiri. Allah Ta’ala berfirman: “Maka Allah sekali-kali tidaklah berlaku dzalim kepada mereka (manusia), akan tetapi merekalah yang berlaku dzalim kepada diri sendiri” (lihat QS Ar-Rum [30]: 9).
Kezaliman
Kezaliman yang dilakukan oleh manusia di muka bumi merupakan realita dari rusaknya aqidah manusia. Kalau aqidah sudah rusak, maka kemaksiatan dan dosa dilakukan tanpa beban. Jangankan aturan perundang-undangan negara, hukum Tuhan dilibas sekalian. Dosa dan maksiat manusia itulah yang sesungguhnya mengundang bencana Tuhan.
Allah Ta’ala berfirman: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan (kemaksiatan) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka. Agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Rum: 41).
Banyak ahli tafsir menjelaskan bahwa “perbuatan tangan manusia” (bimaa kasabat ai-dinnas) pada ayat di atas adalah kemaksiatan (dosa) manusia. Imam Abul ‘Aliyah ar-Riyah, seorang tabi’in, pernah berkata: “Barang siapa yang bermaksiat kepada Allah di muka bumi berarti dia telah berbuat kerusakan di dalamnya, karena bumi dan langit baik hanya dengan ketaatan kepada Allah”. Lihat tafsir Ibnu Katsir (7/183), tahqiq oleh Dr Abdullah Alu Syaikh.
Syaikh Abdurrahman as Sa’di berkata dalam kitab Taisirul Karimir Rahman: “Bahwa segala musibah yang menimpa manusia, baik yang terjadi pada dirinya, harta, anak-anak, dan keluarga mereka tidak lain disebabkan oleh maksiat yang pernah mereka lakukan” (Dikutip dari As Sunnah, edisi 01 Th.XIV, 1431 H).
Saat manusia melakukan kemaksiatan dan dosa, saat itu ia jauh dari keimanan dan takwa. Tanpa iman dan takwa, Allah tidak akan menurunkan keberkahan hidup kepada manusia. Allah Ta’ala mengingatkan: “Jikalau sekiranya penduduk suatu negara beriman dan bertakwa, pastilah Kami melimpahkan keberkahan kepada mereka dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat kami itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS Al-A’raaf: 96).
Ayat di atas menunjukkan kepada kita, bentuk kemaksiatan yang menyebabkan manusia jauh dari keimanan dan ketakwaan atau terhalangnya keberkahan dari langit dan bumi, adalah mendustakan atau menolak ayat-ayat (syari’at) Allah. Inilah yang menyebabkan penduduk suatu negeri merasakan (hanya) sebagian dari siksa Allah ‘azza wa jalla.
Andai kita merasakan semua akibat dari perbuatan maksiat yang kita lakukan, sungguh kita tidak akan mampu menahan siksaan itu. Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya Ad daa’ wa ad Dawaa’ yang ditahqiq oleh Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi mengatakan: “Sekiranya kita merasakan seluruh akibat perbuatan kita, niscaya tidak ada seekor binatang pun yang dibiarkan hidup di muka bumi ini”. Allah (memang) Maha Pengasih lagi Penyayang.
Kerusakan Aqidah
Indonesia, sebagai negara yang berpenduduk Muslim terbanyak, dengan aturan menjamin kebebasan melaksanakan keyakinan agama bagi warganya, seharusnya nilai-nilai islami mewarnai kehidupan berbangsa. Namun, bukti kerusakan aqidah melalui kemaksiatan tidak saja terlihat dari sikap yang tidak berpihak kepada hukum Tuhan, tapi juga dari penentangan melalui ucapan dan kebijakan.
Seorang Bupati baru-baru ini berkomentar, bahwa pelacur adalah pahlawan keluarga. Dalam acara peringatan kematian (haul) Gus Dur beberapa bulan yang lalu, kalangan tokoh politik yang memiliki kepentingan dengan kaum nahdliyin berkata—seperti ditulis oleh Prof Dr Ali Mustafa Yaqub di Republika (23/1/2014)—bahwa Gus Dur adalah rahmatal lil’aalamin dan milik semua makhluk Tuhan. Maka layak kita bersyukur kepada Gus Dur dan Allah. Na’udzubillah!
Tidak ada manusia yang layak disebut sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatal lil’alamin) kecuali Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wassalam dengan wahyu yang telah diturunkan kepadanya (lihat QS Al Ambiya’ [21]: 107). Akankah kita menyamakan Gus Dur dengan Rasulullah? Bagaimana mungkin perbuatan zina yang dilaknat oleh Allah diapresiasi sebagai pahlawan keluarga?
Selanjutnya, puluhan ribu umat Islam Kediri, Jawa Timur, berebut menyentuh gong Kiai Praya untuk memperoleh berkah. Puluhan ribu umat di Klaten berebut apem “yagowiyu” ingin dapat karomah. Di alun-alun Karaton Jogja, ratusan ribu umat berebut gunungan sayur dan buah, katanya “ngalap” berkah. Di Solo ratusan ribu umat pula berebut tlethong (kotoran) kerbau bule milik Keraton Solo agar hidup makmur. Demikian tulis Anton Tabah (pengurus MUI pusat) dalam artikelnya Ulama dan Umat, di Republika (7/4/2014) menjelaskan bagaimana keadaan umat ini.
Soal kebijakan, sampai hari ini polisi wanita (Polwan) masih saja digantung tanpa kepastian atas keinginan mereka melaksanakan perintah Tuhan untuk berhijab, karena hamba Tuhan yang bernama ‘atasan’ belum juga mengeluarkan kebijakan. Kasus suap dan korupsi pejabat yang terjebak hidup mewah dan bermegahan ala Qarun, terus menjadi pemberitaan. Zina dipelihara dan penggunaan kondom dikampanyekan secara bebas dengan dalih, lokalisasi solusinya dan pencegahan HIV/AIDS tujuannya.
Kerusakan aqidah tidak saja terjadi di kalangan awam, kalangan intelektual liberal juga demikian. Mereka dengan seenaknya manafsirkan ayat-ayat Tuhan, bahkan menganggap hukum Tuhan tak lagi relevan dengan perkembangan zaman (baca Tafsir Sesat, Fahmi Salim, M.A, 2013). Atas nama kebebasan agama, toleransi, dan HAM mereka pun mendukung habis-habisan ajaran sesat yang menyimpang dalam Islam. Kalau perlu MUI dibubarkan!
Inilah sebagian fenomena kerusakan aqidah dari kejahilan manusia yang bisa mengundang bencana, sekaligus bentuk bencana yang sesungguhnya. Dengan izin Allah (lihat QS At Taaghabun: 11) bencana di berbagai daerah terjadi, hendaknya menjadi pelajaran bagi kita untuk introspeksi diri dan kembali ke jalan yang benar (bertobat). Hanya ini solusinya. “Agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS Ar Rum: 41). Wallaahu A’lam. ***