Panggung eksistensi
Berangkat dari data dan fakta itu, jelas Muhammadiyah tak kekurangan ‘panggung’ untuk menunjukan eksistensinya. Jauh di belakang hari Muhammadiyah sudah selesai pada soal besar-besaran jumlah pengikut, adu kuat dan adu keras dalam berteriak, apalagi turun ke jalan-jalan untuk mencari panggung eksistensi. Muhammadiyah tidak membutuhkan jalanan sebagai panggung untuk menunjukkan diri.
Panggung Muhammadiyah adalah puluhan ribu sekolah, di sana anak-anak bangsa dicerdaskan dan dicerahkan. Ratusan perguruan tinggi, di sana para akedemisi dan intelektual Muhammadiyah merancang peradaban. Lalu di ribuan masjid, ratusan rumah sakit dan amal usaha lainnya, kader-kader Muhammadiyah berkiprah memberi bakti yang terbaik untuk negeri. Itulah cara Muhammadiyah mencintai Indonesia, mencerahkan dunia.
Dengan tidak terjun langsung ke dalan politik, apakah artinya kiprah Muhammadiyah menjadi ‘less political’? Tentu tidak. Muhammadiyah memang tidak mengerjakan politik yang bersifat permukaan, Muhammadiyah melakukan kerja politik peradaban. Muhammadiyah tidak menerapkan politik gincu, tetapi mengoperasikan politik garam. Sejak berdirinya Republik ini, Muhammadiyah ikut menentukan bulat dan lonjong negeri ini, dengan spirit Islam berkemajuan sebagai pijakannya—Islam yang memberi dampak nyata bagi umat, bangsa bahkan dunia. Itulah panggung eksistensi Muhammadiyah selama ini.
Hari ini, 18 November 2020 Muhammadiyah memperingati milad ke-108. 18 November 1912 Ahmad Dahlan muda mungkin belum tahu bahwa Muhammadiyah yang didirikannya akan sebesar seperti hari ini. Namun, karena visi besar yang diturunkannya menjadi kerja-kerja kecil yang nyata, karena doktrin ‘hidup-hidupilah Muhammadiyah’ bukan hanya kata-kata belaka, 108 tahun kemudian kini Muhammadiyah menjelma menjadi organisasi Islam terkaya di dunia!
Tahniah untuk Muhammadiyah. Kami bangga menjadi bagian dari cerah Sang Surya.
*) Penulis adalah Kader Muhammadiyah