Sikap politis dan ideologis Majelis Mujahidin
Insiden konvoi ritual jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Ciketing Asem, Bekasi, yang memicu bentrokan jalanan dengan 9 orang aktivis Islam, telah didramatisir oleh pihak HKBP sebagai penghadangan dan penusukan pendeta. Substansi peristiwa Minggu Kelabu, yang terjadi di saat umat Islam Bekasi masih dalam suasana Idul Fithri, 3 Syawal 1431 H bertepatan dengan hari Minggu 12 September 2010 M, adalah akibat pelanggaran HKBP terhadap perizinan pendirian rumah peribadatan yang sudah diatur dalam Peraturan Bersama antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8 dan no 9 Tahun 2006.
Akan tetapi peristiwa bentrokan itu diseret menjadi fitnah nasional, berupa sentimen minoritas Kristen radikal HKBP terhadap mayoritas warga Muslim, dengan misi politis: menuntut pembatalan Peraturan Bersama (PB) dua Menteri No 8 tersebut. Menurut HKBP, aturan tersebut bersifat diskriminatif, menghambat kebebasan beribadah, dan melanggar HAM. Padahal kasus yang melatarbelakanginya tidak dikategorikan sebagai ancaman terhadap Hak Asasi Manusia. Alasan diskriminasi, sesungguhnya merupakan upaya HKBP untuk mengadu domba pemerintah dengan penduduk mayoritas Muslim di negeri ini.
Komunis dan Kristen Radikal
Disharmoni, bahkan konflik antar umat beragama di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan insiden HKBP di Bekasi itu, sengaja diciptakan guna memenuhi syahwat politik kelompok tertentu, berdasarkan indikasi serta fakta yang terang benderang. Kelompok berkepentingan itu dapat disebutkan antara lain:
Pertama, kaum komunis. Kelompok ini berpendapat, bahwa insiden jemaat HKBP Pondok Timur Indah, Ciketing Asem, Bekasi, yang menyebabkan tertusuknya seorang pendeta dianggap melanggar konstitusi yang menjamin kebebasan beragama. Karena itu, mereka sangat berambisi menuntut pembatalan Peraturan pendirian rumah ibadah.
Tuntutan pencabutan itu, disuarakan oleh politisi PDIP, Pramono Anung, dan diperkuat lagi oleh anggota Komisi XI dari Fraksi PDI-P, Eva Kusuma Sundari. "SKB harus dicabut karena itu tidak memberikan rasa aman pada masyarakat. Sebab, cukup menghambat kehidupan beragama dan bermasyarakat. Ketidaktegasan dilapangan juga jadi pemicu," kata Pramono, Rabu (15/9/2010), di Gedung DPR, Jakarta.
Nampaknya, PDIP sekarang menjadi tempat penampungan bagi aktivis komunis dan kaum Kristen radikal. Politisi PDIP, seperti Budiman Sujatmiko, Ribka Ciptaning, Pius Lustrilanang, adalah kader komunis, termasuk anggota DPR RI yang paling gencar menggugat Perda yang dianggap bernuansa syari’ah. Ribka Tjiptaning, misalnya, dia adalah penulis buku ‘Aku Bangga Jadi Anak PKI’.
Mengapa PDIP tidak pernah berbicara yang menyejukkan kaum Muslimin, sementara terhadap kaum komunis termasuk pembelaannya terhadap Kristen radikal, sangat keras. Sikap demikian jelas bertentangan dengan UUD 45 pasal 29 ayat 1 dan 2. Sikap yang dinampakkan oleh sejumlah elite politiknya, dapat dianggap sebagai ungkapan permusuhan kepada kaum Muslimin. Sedangkan terhadap kasus pemurtadan kaum Muslim, juga separatis Kristen di Papua dan Maluku, PDIP tidak menunjukkan penentangannya secara jelas dan tegas.
Kedua, salibis radikal, yang terlihat jelas dalam sikap keras HKBP. Di zaman Orde Baru kerukunan umat beragama menjadi problem, karena kaum Kristen mendesak pemerintahan Soeharto untuk memberikan fasilitas lebih pada Kristen, yang memiliki program Kristenisasi, dan menjadi biangkerok konflik antar umat beragama di Indonesia.
Kelompok Salibis (Kristen radikal) dan anggota Dewan Gereja-gereja Sedunia, Sae Nababan, melontarkan tuntutan yang sama. Menurutnya, Peraturan Bersama 2 menteri itu, menekan kebebasan beragama di Indonesia. "Harusnya kebebasan ini bukan diatur SKB, tapi harusnya melalui UU.”
"Peraturan bersama itu harus dihapus karena merupakan kebijakan diskriminatif dan menyulitkan minoritas untuk bebas beribadah," ujar perwakilan Forum Solidaritas untuk Kebebasan Beragama, Sereida Tambunan, Senin (13/9/2010) di kantor Kontras Jakarta.
Kristen radikal di Indonesia kerap memosisikan diri sebagai minoritas tertindas, dan mengadu domba umat Islam dengan penguasa. Benarlah firman Allah Swt: “Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya sekalipun orang-orang kafir benci karenanya.” (Qs. As Shaf, 61:8).
Ketiga, kelompok oportunis. Insiden jemaat HKBP Pondok Timur Indah, Ciketing Asem, Bekasi, juga digunakan oleh kelompok oportunis untuk memojokkan Islam dan umat Islam. Mereka inilah sebenarnya yang paling berkepentingan terhadap pencabutan Peraturan Bersama 2 Menteri tersebut; karena mereka mengemban misi sesat dan menyesatkan. Yaitu, kebebasan beragama sebagai kebebasan untuk tidak beragama, bahkan bebas membuat-buat agama baru.
Sejumlah elemen oportunis seperti: M Dawam Rahardjo (Oportunis Muslim Indonesia), Romo Benny Susetyo (Konferensi Wali Gereja Indonesia), Musdah Mulia (Ketua Indonesia Conference on Religion and Peace), Alissa Wahid, serta penyanyi Glenn Fredly, dalam acara yang bertajuk: "Keprihatinan atas Merebaknya Intoleransi dalam Kasus HKBP dan Ahmadiyah", yang diselenggarakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), Jumat (17/9/2010) di Komunitas Utan Kayu, Jakarta, adalah kelompok yang paling diuntungkan bila terjadi disharmoni antar umat beragama.
Mereka ini, adalah orang-orang yang tidak bisa membedakan antara kebebasan beragama dan pengaturan pendirian rumah ibadah. Tidak peduli dengan penyelewengan, perusakan, penistaan serta penodaan agama. Tidak bisa membedakan antara kebebasan beragama dengan sinkretisme atau atheisme.
Menyikapi insiden HKBP yang dapat memicu konflik antar umat beragama ini, Majelis Mujahidin menuntut pada pemerintah:
1. Supaya menegakkan aturan hukum secara tegas dan adil, termasuk di dalamnya SKB 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah.
2. Partai politik seperti PDIP dan lainnya, agar menyatakan misi politiknya secara jelas sebelum terlanjur menjadi bagian dari gerakan komunisme dan radikalisme Kristen. Jangan bermental bagai burung unta, menyembunyikan kepalanya di lobang tetapi bagian tubuh lainya terlihat jelas di permukaan. Karena sikap demikian dapat menjadi bumerang.
3. Kaum Kristen harus menyadari bahwa pada tahun 1967 telah disepakati dalam musyawarah nasional antar umat beragama, yaitu tidak boleh menjadikan orang yang sudah beragama sebagai sasaran dakwah agama, termasuk orang Kristen yang mengkristen orang Islam atau sebaliknya. Kesepakatan ini seringkali dilanggar, seperti dilakukan HKBP di Bekasi, dan di tempat lainnya.
Apabila norma-norma di atas tidak diindahkan, maka Majelis Mujahidin menyatakan, siap menjadi kekuatan Islam yang berdiri pada garis terdepan untuk menegakkan hak-hak kaum Muslimin di negeri ini. Insya Allah !
Jogjakarta,14 Syawal 1431 H/23 September 2010 M
Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Irfan S. Awwas, Ketua.
M. Shabbarin Syakur, Sekretaris