Pendidikan di sekolah bahkan sampai perguruan tinggi sekarang ini merupakan sentral pembinaan generasi. Karena seakan para orang tua sudah mempercayakan lembaga pendidikan untuk membina anak-anaknya. Apalagi sang bapak dan ibu di zaman sekarang belum tentu sepenuhnya mengasuh dan mendidik anak-anaknya, karena dari segi untuk punya anak saja mereka sudah mengikuti bujukan buruk bahkan haram –tetapi anehnya diprogramkan secara massal–, yaitu membatasi kelahiran anak; maka ujung-ujungnya adalah ada rasa kurang mau tanggung jawab terhadap pendidikan agama anak.
Dari semula sudah lebih tunduk kepada bujukan yang bertentangan dengan agama, ya tentu saja lebih pilih menjauhi agama. Dalam hal mendidikkan anak pun lebih pilih kepada yang tidak begitu mempedulikan agama. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah wanti-wanti, mengingatkan dengan serius:
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : (كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يَنْصُرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ) صحيح ابن حبان – (ج 1 / ص 336) قال شعيب الأرنؤوط : إسناده صحيح
“Setiap bayi itu dilahirkan atas fithrah (Islam), maka dua orangtuanya lah yang meyahudikannya atau menashranikannya atau memajusikannya.” (Shahih Ibnu Hibban, juz 1 halaman 336, kata Syu’aib al-Arnauth: isnadnya shahih).
Sebaliknya, sangat bergairah dalam mendidikkan anaknya dalam ilmu-ilmu yang dianggap berguna untuk cari makan, lantaran takut mati kelaparan atau takut miskin hingga khawatir hidupnya tak bergengsi. Dari awalnya sudah mengikuti bujukan haram, maka saat mau menyekolahkan anak atau menguliahkan pun ikut janji syetan yang menakut-nakuti kefakiran.
الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ(268)
“Syaithan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripadaNya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 268).
Dengan mengikuti syetan yang menakut-nakuti kefakiran itu makanya terjadi pemandangan seragam di masyarakat pengikut syaithan yaitu: sekolahan-sekolahan dan perguruan tinggi yang dianggap sebagai tempat pendidikan yang menjanjikan, yang nanti alumninya akan mendapatkan makanan yang banyak, maka manusia-manusia yang hanya memikirkan perut ini berebut memasukkan anak-anaknya ke sana. Agar nanti anak-anaknya jadi orang yang perutnya terjamin. Sampai bayar mahal pun mereka mau. Sebaliknya, madrasah-madrasah yang dianggap hanya akan menelurkan alumni-alumni yang tidak lihai cari makan, lantaran ijazahnya tidak diterima atau kurang diminati oleh si empunya pekerjaan, maka madrasah-madrasah satu persatu berguguran dan tutup karena tidak ada santri atau muridnya.
Ketika si empunya madrasah itupun tahu bahwa selera masyarakat ini hanyalah demi isi perut, maka sebagian penyelenggara madrasah itupun tak mau kalah. Diubahlah madrasah-madrasah itu menjadi tempat pendidikan calon-calon pencari makan pula. Bukan merupakan madrasah lagi. Sementara itu ketika penyelenggara madrasah atau pesantren itu tahu pula bahwa di samping itu masih ada celah-celah bahwa masyarakat akan bergairah bila gengsinya itu dianggap naik ketika memasukkan pesantren yang bayarannya mahal dan wujud gedungnya megah, maka berlomba pula para penyelenggara pesentren untuk membangun gedung pesantren mewah dan bayaran masuk para santri dimahalkan. Makin mahal makin bergengsi, dan makin tahun makin mahal; itulah yang diminati masyarakat yang memburu gengsi.
Pemandangannya jadi njomplang (tak berimbang).
Madrasah-madrasah yang tadinya mengajarkan ilmu Islam secara menyeluruh, satu-persatu berguguran. Diubah jadi sekolah-sekolah kejuruan, yang dianggap laku, karena dianggap praktis dan menjanjikan untuk cari makan.
Pesantren-pesasntren yang tadinya mengajarkan Islam secara penuh, makin surut peminatnya, karena tidak bergengsi.
Muncul pesantren-pesantren megah yang hanya bisa dijangkau oleh orang-orang yang cukup berduit. Bukan pendidikan Islamnya yang mereka utamakan, tetapi gengsinya.
Hasil dari pendidikan pesantren yang dipentingkan gengsinya itu kemudian ditampung di perguruan tinggi Islam (IAIN, STAIN, UIN, STAIS dan sebagainya), yang ternyata pendidikannya bukan mencetak calon-calon ulama yang bertaqwa yang yakhsyalloh, takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala, namun justru dialihkan dari keyakinan Tauhid, ke kemusyrikan, yang labelnya baru yaitu pluralisme agama, menyamakan semua agama.
Mencetak generasi pemburu isi perut dan peduli kekafiran
Dari kenyataan itu, secara mudahnya, ada dua generasi yang sekarang telah dan sedang dicetak:
- Generasi sekolah umum ataupun kejuruan yang dari semula telah digadang-gadang (diharap-harap) oleh orang tua mereka agar jadi orang-orang yang perutnya tak kelaparan, bisa mencari makan. Jadilah generasi pemburu isi perut.
- Generasi yang disalurkan lewat pendidikan agama, namun yang dipentingkan gengsinya, dan ternyata digarap oleh para penyesat di perguruan tinggi Islam lewat system yang sudah jadi, yaitu kurikulum yang arahnya menyamakan semua agama. Jadilah manusia-manusia –kecuali yang mendapat taufiq dan hidayah Allah subhanahu wa ta’ala— yang tidak peduli kepada Islam, tetapi kadang lebih peduli kepada selain Islam wa bil khusus kalau ada fulus di sana.
Generasi yang dihasilkan dari pendidikan itu kalau memang hanya memburu gengsi dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka tak lain adalah apa yang telah diperingatkan oleh Alloh swt:
فَأَمَّا مَنْ طَغَى(37)وَءَاثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا(38)فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى(39)
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya).” (QS An-Nazi’at/ 79: 37, 38, 39).
Menanamkan kemusyrikan lewat pendidikan
Kenapa hasilnya seburuk itu?
Ya bagaimana mau menghasilkan alumni yang baik, lha wong kurikulumnya saja hanya mementingkan 4 pelajaran (bukan pendidikan dan bukan hal yang penting-penting amat di dunia apalagi di akherat); yaitu bahasa (Indonesia di sekolah dasar, ditambah Bahasa Inggeris di sekolah lanjutan), matematika, dan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) atau sains. Sedang pelajaran agama Islam (sekadar pelajaran, tidak sampai pendidikan agama Islam) seolah hanya embel-embel, sejajar dengan pendidikan lingkungan (seperti masalah menguras comberan). Dari sini sudah tergambar, bahwa pendidikan di Indonesia mengabaikan agama.
Ketika kenyataannya sudah mengabaikan agama, sedang tujuan disekolahkannya anak-anak itu hanya agar nantinya dapat cari makan, maka hasilnya adalah apa yang sudah diancam oleh Alloh subhanahu wa ta’ala yaitu: manusia-manusia yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya). (QS An-Nazi’at/ 79: 37, 38, 39)
Yang diujikan dan menjadi fokusnya ya yang 4 pelajaran itu. Padahal tentang bahasa Indonesia misalnya, seminggu 10 jam pelajaran artinya sebulan 40 jam pelajaran itu berbicara sekitar dongeng-dongeng atau legende-legende seperti Malim Kundang, Situ Bagendit, dongeng khayal yang menyebarkan kemusyikan seperti tentang Dewi Sri yang dianggap sebagai dewa padi; dan sebagainya yang sama sekali tidak memajukan secara kehidupan di dunia ini, bahkan lebih mungkin merusak aqidah ummat Islam.
Contoh nyata, Dongeng Datangnya Dewi Sri. Ada kalimat: “Semua merasa bahwa padi adalah pemberian Dewi Sri untuk bahan pangan untuk seluruh manusia. Di Pulau Jawa orang menyebutnya Dewi Sri. Di Sumatra ada yang menamakannya Putri Dewi Sri, Putri Mayang Padi Mengurai, atau Putri Sirumpun Emas Lestari.” (buku Bahasa Indonesia untuk SD/ MI (Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah) Kelas 4, karangan Widyati S, terbitan PT Bintang Ilmu cetakan 2, Juni 2006, halaman 35).
Itu jelas pendidikan kemusyrikan! Dongeng khayal, namun merusak aqidah anak-anak kelas 4 SD atau Madrasah Ibtidaiyah. Masih pula ditekankan dalam buku itu: Siapakah tokoh-tokoh dalam cerita tersebut? Ayo tentukanlah pokok-pokok pikiran dalam dongeng tersebut di buku tugasmu!. Ayo, ceritakan dongeng tersebut di depan kelas! (ibid).
Pokok-pokok pikiran itu tak lain adalah penyesatan tertinggi yaitu menyebarkan kemusyrikan!
Untuk lebih lihai dalam praktek ritual kemusyrikan, sudah dituntun pula dengan buku Bahasa Indonesia itu, yaitu digemarkan menari. Jadi kalau diadakan upacara kemusyrikan sudah mampu menjadi penari. Maka ditulislah kalimat: “Lina gemar menari. Dia ingin belajar tari dari Bali. Oleh sebab itu, Lina ingin belajar menari di Sanggar Anggrek.” (ibid, halaman 26). Itulah “pendidikan” alias penyesatan yang diprogramkan secara sistematis di negeri ini, agar generasi mendatang jadi orang-orang musyrik secara nyata, dengan dibekali ubo rampenya (aneka perangkatnya).
Sementara itu materi Bahasa Inggeris, ya berputar-putar sekitar di mana bank, di mana kantor pos, di mana pasar, tentang menari, menyanyi dan sebagainya yang sama sekali tidak mendidik untuk maju dalam kehidupan dunia apalagi menunjuki jalan ke surga. Padahal Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris itu kalau diisi dengan muatan yang mengingatkan bahwa kejujuran itu sangat penting, korupsi itu sangat merusak, menipu itu berbahaya bagi kehidupan, makan riba itu terlaknat, berzina itu di samping menimbulkan penyakit kelamin atau penyakit kotor, masih pula dosa besar dan memporak porandakan kehidupan rumah tangga serta merusak keturunan. Hidup di dunia ini hanya sementara, yang kekal itu di akherat kelak, dan sebagainya, tentu sangat bagus. Tetapi apa ada sekolahan-sekolahan se-Indonesia ini yang pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggrisnya seperti itu? Ayo ngacung!
Karena pelajaran yang paling dipentingkan di Indonesia ya Bahasa Indonesia yang jam pelajarannya paling banyak (333 persen dibanding pelajaran agama) isinya terbukti merusak aqidah Islam, maka hasilnya ya rusaknya aqidah, tidak tahu sopan santun, tidak menggubris bagaimana agar nanti ketika masuk kubur dalam keadaan selamat, mampu menjawab pertanyaan malaikat dalam kubur, dan di akherat kelak masuk surga. Tidak tergambar itu semua dalam pendidikan ini.
Pendidikan Tinggi Islam juga dirusak
Sementara itu yang berkecimpung di perguruan tinggi Islam justru yang tampak dominan adalah mereka yang belajar Islamnya dari orang-orang kafir Barat yaitu di perguruan tinggi sekuler anti Islam di Barat. Di samping itu kurikulum Perguruan Tinggi Islam se-Indonesia juga dibuat oleh mendiang Harun Nasution keluaran dari Mc Gill University, Canada, godogan orientalis Barat. Harun mengaku, dirinyalah yang mengubah kurikulum dari faham Ahlus Sunnah, mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjadi faham sekte sesat Khawarij. Kini telah kental dengan nuansa kemusyrikan yaitu pluralisme agama, menyamakan semua agama.
Setelah kurikulum itu menancap kuat di seluruh perguruan tinggi Islam sejak tahun 1990-an, (bahkan sejak 1980-an) kini ketika ada suara-suara yang menginginkan agar dikembalikan kepada yang benar, maka dengan mudah pihak pusat (katakanlah Departemen Agama) akan dengan mudah berkilah: Sekarang masing-masing IAIN sudah bersifat otonom, jadi dari pusat tidak dapat mengubahnya. Lha dalah (waduh- waduh) kok begini jadinya!
Gambaran ini mungkin dianggap sinis. Tetapi coba kita lihat saja kenyataan hasil pendidikan kita. Aneka kemaksiatan, siapa pendukungnya. Aneka aliran sesat yang sangat sesat seperti Ahmadiyah yang memiliki nabi palsu sebagai panutannya, yaitu Ghulam Ahmad sang pendusta; ternyata pembela-pembelanya adalah para professor doctor dari perguruan tinggi Islam.
Di samping itu, yang korupsi siapa? Mereka bukanlah orang-orang yang tidak terdidik. Mereka adalah orang-orang yang sukses dalam pendidikan, sebagian telah dididik di sekolah-sekolah yang tujuannya cari makan, dan sebagian dididik di madrasah atau pesantren dan perguruan tinggi yang tujuannya gengsi dan mengalihkan dari tauhid ke kemusyrikan, yang kini namanya pluralisme agama.
Kiprah alumni pendidikan, memusyrikkan masyarakat
Di antara bukti hasil dari pendidikan seperti itu, (baik umum maupun agama) lihat saja; ketika mereka itu telah lulus dari pendidikan, lalu jadi pejabat daerah, misalnya, maka mereka mengadakan upacara kemusyrikan umum, misalnya larung laut, larung sesaji untuk syetan laut dan sebagainya. Inilah bentuk pemusyrikan umum, pengobaran dosa tertinggi yang tak diampuni Allah subhanahu wa ta’ala dan pelakunya kekal di neraka (bila semasa hidupnya tidak bertaubat dan melepas sama sekali kemusyrikan itu).
Itulah bukti bahwa pendidikan di Indonesia ini (plus yang disekolahkan ke orang kafir di Barat) telah menghasilkan tokoh musyrik, yang dalam hadits tersebut disebut memajusikannya. Orang Majusi adalah penyembah api alias musyrik.
Ketika orang Kristen natalan, mereka walaupun beragama Islam tetapi duduk methengkreng di barisan depan, bahkan mungkin pidato, meniup lilin dan sebagainya. Itulah yang dalam hadits itu disebut menasranikannya.
Pada tahun 2007, ada tokoh-tokoh Islam dari perguruan tinggi Islam, dan ormas-orams Islam yang ke Israel, kabarnya mereka ikut menari-nari di upacara ritual Yahudi. Itulah dalam hadits tersebut yang disebut meyahudikannya. Beritanya sebagai berikut:
Cendekiawan Muslim Indonesia Menari dengan Zionis Israel
Lima wakil ormas Islam menemui Presiden Israel, Shimon Peres. Di antara mereka ada Ketua PW Muhammadiyah Jatim. Mereka juga menari bersama aktivis Yahudi
Hidayatullah.com–Saat kaum Muslimin dan Kristen Palestina menderita karena dijajah dan dibantai Zionis Israel, lima delegasi cendekiawan Muslim asal Indonesia, sebagaimana diberitakan Ynet News (7/12), sebuah situs berita Israel, baru-baru ini dikabarkan telah menemui Presiden Israel, Shimon Peres.
Jerussalem Post tanggal 8 Desember 2007, juga memberitakan, lima rombongan Indonesia itu akan menghabiskan waktu selama seminggu di Israel, disponsori Simon Wiesenthal Center dan LibForAll Foundation.
Lima anggota rombongan asal Indonesia itu, kata Jerussalem Post , mewakili dua organisasi Islam terbesar di dunia dari segi jumlah klaim anggota; Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah.
Syafiq Mugni, Ketua Umum Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur ikut hadir. Ia menghadiahkan kepada Peres sebuah tutup kepala yang dikenal bernama ”kippa” bertuliskan kata “shalom” (dalam bahasa Ibrani artinya ”kedamaian”) dan kata ”Kedamaian.” Para tamu Indonesia itu tampak gembira sekali ketika Peres langsung memasang kippa tersebut di kepalanya.
Selanjutnya, mereka melanjutkan pembicaraan seputar berbagai topik termasuk ekonomi, politik, agama dan perayaan hari jadi Israel ke 60 bulan Mei 2008 mendatang.
Shimon Peres menyatakan, Israel berbahagia bisa masuk dan berhubungan dengan Indonesia serta mengundang para pemimpinnya. Ia akan mengundang kembali para tokoh Indonesia untuk doa untuk perdamaian di saat Negeri Zionis ini akan memperingati hari jadinya ke 60 nanti bulan Mei 2008.
Dalam kesempatan itu, Peres juga mengatakan, musuh Israel bukanlah Islam, tapi “teror”.
Syafiq Mugni dalam kesempatan itu menjelaskan tentang Indonesia menyangkut perkembangan ekonominya, demokrasi dan sistem kependidikannya.
Menurut Syafiq, dirinya berharap Muslim Indonesia semakin toleran meski sebagian juga masih ada yang menentang demokrasi.
Senada dengan Syafiq, Abdul A’la (Wakil NU), mengakui masih ada kelompok kecil “ekstrimis” Muslim di Indonesia.
Ditemani Kepala Wiesenthal Center Associate, Rabbi Abraham CooPeres dan CEO, LibForAll Foundation, C.C. Holland Taylor, delegasi aktivis ormas NU dan Muhammadiyah ikut serta dalam suatu upacara cahaya lilin Hanukka yang diikuti dengan tarian di Hesder Yeshiva di Kiryat Shmona.
LibForAll Foundation disebut-sebut media sebagai lembaga Zionis yang berkedok “Liberalisme dan Pluralisme” di Indonesia. [cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]
Karena mereka itu telah jadi pemimpin setelah dididik, maka mereka pun beraksi meyahudikan, menashranikan, dan memusyrikkan masyarakat. Sedang sekolahan-sekolahan di bawah wilayah mereka pun menjalankan misi mereka itu. Jadi masyarakat Indonesia disesatkan oleh para pemimpinnya, sedang murid-murid dan mahasiswa disesatkan oleh sekolahan-sekolahan, perguruan tinggi dan tempat pendidikan mereka.
Di samping itu media massa seperti televisi dan lainnya pun tidak kalah canggih dan intensipnya dalam “mendidik” alias menyesatkan masyarakat untuk meyahudikan, menasranikan, dan memusyrikkan itu. Kompaklah sudah, tiga unsur penting itu (para tokoh/ pemimpin, tempat pendidikan, dan media massa) dalam “mendidik” alias menyesatkan masyarakat. Maka jadilah manusia-manusia yang disifati oleh Allah subhanahu wa ta’ala:
فَأَمَّا مَنْ طَغَى(37)وَءَاثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا(38)فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى(39)
Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya). (QS An-Nazi’at/ 79: 37, 38, 39).
Mengikuti langkah orang kafir
Pendidikan yang hanya untuk mengejar dunia dan gengsi, masih pula membelokkan dari jalan Allah subhanahu wa ta’ala ke jalan syaithan atau kesesatan itu adalah satu praktek yang telah mengikuti kerja orang kafir. Mereka itu telah dikecam oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan diucapi celaka:
اللَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَوَيْلٌ لِلْكَافِرِينَ مِنْ عَذَابٍ شَدِيدٍ(2)الَّذِينَ يَسْتَحِبُّونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَيَبْغُونَهَا عِوَجًا أُولَئِكَ فِي ضَلَالٍ بَعِيدٍ(3)
Alloh-lah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih, (yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Alloh itu bengkok. mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh. (QS Ibrahim/ 14: 2, 3).
Wallahu a’lam bisshawab.