Tanggal 24 September adalah momen penting bagi para petani di Indonesia. Hari ini diperingati sebagai hari tani nasional. Karena pada tanggal tersebut pada tahun 1960, ditetapkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960 sebagai landasan hukum dan politik bagi diaturnya hubungan yang antara kaum tani dengan alat produksinya.
Politik agraria UUPA 1960 dilatarbelakangi oleh kesadaran atas realitas sosio-politik dan sosio-ekonomi rakyat yang terbelenggu dalam ketidakadilan struktural warisan kolonialisme/feodalisme berabad-abad lamanya. Oleh karena itu, jiwa dan semangat UUPA 1960 sangat tegas ingin menjebol ketidakadilan struktural itu dalam rangka menyiapkan prakondisi sosial untuk membangun kehidupan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Namun, puluhan sejak tahun 1960 bahkan sejak masa kolonial, nasib kaum tani Indonesia tidak banyak berubah, masih miskin dan terus dipinggirkan. Berbagai persoalan dihadapi oleh kaum tani dan rakyat Indonesia, baik yang bersifat daerah, nasional maupun Internasional.
Sekarang ini, mayoritas petani padi dalam kondisi amat miskin dengan pendapatan hanya Rp 1,527 juta/kapita/tahun (Rp 4.365/hari). Yang mengakibatkan sumbangan usahatani padi dalam struktur pendapatan rumah tangga merosot: dari 36,2% pada 1980-an tinggal 13,6% (Patanas, 2000), pemerintah dengan kebijakan HPP-nya tidak berdaya untuk mensejahterakan petani (kenaikan HPP di bawah inflasi).
Rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar, baik milik sendiri maupun menyewa, meningkat dari 10,8 juta keluarga tahun 1993 menjadi 13,7 juta keluarga tahun 2003 dan diperkirakan menjadi 15,6 juta di tahun 2008 (2,6 % per tahun). Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7 persen (1993) menjadi 56,5 persen (2003). Kenaikan ini menunjukkan makin miskinnya petani. Pada tahun 1996/1997, jumlah orang miskin, paralel dengan angka petani gurem, sudah mencapai 17 juta jiwa. Namun, tahun 2006/2007 naik jadi 39 juta jiwa.
Kebijakan Kapitalis Liberal Biang Kerok
Sesungguhnya, akar persoalan yang dihadapi petani adalah akibat kebijakan ala kapitalis liberal. Lihat kebijakan liberalisasi, marketisasi, privatisasi, rekapitalisasi, otonomi daerah, dan lain-lain- pada hakikatnya hanya bermuatan kepentingan neoliberalisme.
Disahkannya berbagai peraturan oleh pemerintah bersama DPR, sebagian besarnya selalu berpihak kepada pemodal. Sebut saja beberapa diantaranya yaitu, Undang-undang No. 7/2004 tentang sumber daya air yang mengakibatkan privatisasi sumber air, Undang-Undang No. 18/2004 tentang perkebunan yang mengakibatkan ratusan petani dikriminalkan, Perpres 36/2005 dan revisinya Perpres 65/2006 tentang pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum yang menyebabkan konversi lahan pertanian ke non pertanian semakin masif dan penggusuran, dan Undang-Undang No. 25/2007 tentang penanaman modal, yang membenarkan pemodal menguasai secara dominan disektor pertanian pangan. Serta terakhir pada tanggal 16 September 2009, telah disahkan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang berpotensi menghambat pelaksanaan reforma agraria dan kriminalisasi terhadap petani gurem.
Belum lagi kebijakan dibidang pertanian yang serba mau gampang saja. Impor berbagai pangan seperti kedelai, jagung, bahkan ayam, susu dan daging sapi hingga saat ini jumlah mencapai jutaan ton. Kasus mogoknya para pembuat tahu tempa beberapa waktu kemarin menunjukan bahwa kebijakan impor sudah demikian menyusahkan rakyat. Karena permainan kartel yangseolah dibiarkan pemerintah.
Pemerintah Indonesia dibawah hegemoni lembaga keuangan Internasional seperti (IMF, ADB dan Bank Dunia), organisasi perdagangan dunia (WTO) dan perusahaan-perusahaan raksasa dunia dan kekuatan-kekuatan ekonomi lainnya yang dikuasai negara-negara G8 dipaksa untuk menjalankan prinsip-prinsip neoliberalisme, yang merupakan perwujudan dari penjajahan model baru. Situasi ini mengakibatkan, menambah barisan peraturan yang bertentangan dengan semangat yang tertuang dalam konstitusi Indonesia dimana peran pemerintah yang seharusnya melindungi dan memenuhi hak asasi manusia, dan menjaga kekayaan alam Indonesia tapi justru menjadi berpihak kepada modal.
Lebih menyakitkan, negara kemudian membiarkan rakyat tani menghadapi sendiri berbagai bencana, baik bencana alam seperti kekeringan, banjir, maupun bencana yang diakibatkan oleh kebijakan neoliberal tersebut. Padahal, UUPA 1960 awalnya dibuat untuk mengatur pembatasan kepemilikan tanah maksimum bagi individu/korporasi serta menjamin batas minimum luas tanah bagi petani. UUPA juga menganut asas nasionalisme sehingga kepemilikan ataupun hak guna usaha oleh asing dilarang.
Syariat Islam Menyejahterakan Petani
Syariat islam yang datang dari Allah SWT mampu memberikan kesejahteraan pada para petani. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, menjaga merealisasi kestabilan harga. Penstabilan harga dilakukan dengan dua cara: menghilangkan distorsi mekanisme pasar syariah yang sehat seperti penimbunan, intervensi harga, dsb; dan menjaga kesimbangan suply dan demand.
Islam akan menghukum dengan tegas pedagang, importir atau siapapun yang melakukan penimbunan. Ia akan dipaksa untuk mengeluarkan barang agar dapat bergulir di pasar.Disamping itu Islam tidak membenarkan adanya intervensi terhadap harga. Artinya, asosiasi importir, pedagang, dilarang mengintervensi dan menghasilkan kesepakatan harga. Dengan kebijakan ini, petani bisa tenang dengan harga produksi yang stabil, serta harga jual yang sesuai.
Kedua, melakukan swasembada pangan. Yakni dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi adalah usaha untuk meningkatkan produksi pertanian dengan tidak menambah luas lahan dan melalui langkah dasa usaha tani. Salah satu contohnya, negara akan memberikan petani bibit unggul bagi para petani. Hal ini tentu bisa dilakukan jika negara fokus terhadap penelitian dan pengembangan bibit unggul. Kemudian pengaturan kebijakan pupuk, pemberantasan hama ini pun diatur sehingga dapat dijangkau oleh petani.
Sedangkan ekstensifikasi dilakukan pembukaan lahan baru, seperti mengeringkan rawa dan merekayasanya menjadi lahan pertanian lalu dibagikan kepada rakyat yang mampu mengolahnya, seperti yang dilakukan masa Umar bin Khaththab di Irak. Begitu juga dengan hukum-hukum pertanahan. Siapa pun yang memiliki tanah pertanian dan ditelantarkan tiga tahun berturut-turut atau lebih, maka hilanglah kepemilikannya, negara akan mengambilnya dan diserahkan kepada orang yang mampu mengolahnya. Selain itu, negara juga akan membangun infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi, dsb, untuk memudahkan produksi maupun distribusi hasil pertanian.
Beberapa hal diatas hanyalah sekilas bagaimana Syariat Islam dengan serangkaian hukumnya dapat menyelesaikan permasalahan ekonomi, khususnya yang dihadapi petani. Masih banyak hukum-hukum syariah lainnya, yang bila diterapkan secara kaffah niscaya kestabilan harga pangan dapat dijamin, ketersediaan komoditi, swasembada, dan pertumbuhan yang disertai kestabilan ekonomi dapat diwujudkan. Semua itu akan memberikan kesejahteraan bagi para petani khususnya dan bagi seluruh rakyat pada umumnya, baik muslim maupun non Muslim.
Oleh karena itu, Semestinya tanggal 24 September 2013 ini menjadi momentum pemicu semangat seluruh kaum muslimin untuk turut berjuang menegakan kembali Syariat islam secara kaffah di bawah naungan sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
Idea Suciati
Mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan Kebijakan Publik, Universitas Padjadjaran
& Aktivis Muslimah HTI
Jatinangor-Sumedang