Menimbang Zakat Satu Pintu

Zakat, Infaq dan Shodaqoh (ZIS) merupakan salah satu sumber perekonomian ummat. Potensi zakat sangat besar bila dikelola secara baik, menurut survey potensi zakat per tahun mencapai 19 trilyun rupiah. Jika mayoritas masyarakat muslim yang mampu melaksanakan kewajiban menyisihkan 2,5 % pendapatannya atau hartanya untuk zakat, infaq dan shodaqoh, maka potensi itu dapat dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan.

Kegairahan zakat mulai muncul pada era 90’an, pada era ini lembaga-lembaga pengelola zakat lahir dari partisipasi masyarakat. Seiring perjalanan tahun, lembaga-lembaga zakat ini mampu melakukan perkembangan dan penghimpunan dana ZIS dengan diikuti oleh pendayagunaan yang semakin efektif dan produktif. Zakat kemudian bertransformasi dari ranah amal sosial individual ke ranah ekonomi pembangunan keummatan.

Partisipasi Lembaga Amil Zakat (LAZ) mampu melakukan terobosan dan kreatifitas dalam program penyaluran dan pelayanan kemudahan berzakat bagi muzakki. Lembaga zakat ini terus meningkatkan mutu pelayanannya baik kinerja dan performance (SDM, system) kepada publik dan mampu menampilkan wajah lembaga Islam yang amanah dan professional serta jauh dari kesan konservatif (tradisional). Disadari atau tidak hal ini mampu memancing dan mendorong muzakki untuk berzakat. Saat ini ada sekitar 18 LAZ Nasional. Namun besarnya potensi zakat itu belum tergarap dengan maksimal oleh LAZ, realisasi penerimaan Zakat hingga kini masih berkisar di angka Rp 0,5 – 1 trilyun per tahun.

Menurut hemat penulis, ada banyak faktor yang menyebabkan belum tergarapnya secara maksimal potensi zakat di Indonesia. Salah satu faktornya adalah rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja lembaga pengelola zakat yang amanah dan profesional. Ini menjadi PR bersama. Upaya untuk terus memperkuat kelembagaan pengelola zakat diperlukan karena potensi zakat sangat besar.

Selain itu juga paradigma yang salah dikalangan masyarakat luas tentang pengelolaan zakat. Banyak masyarakat yang masih memiliki pola fikir bahwa zakat, infaq, dan sadaqah adalah kewajiban pribadi dan hanya dilakukan pada saat-saat tertentu saja, misalnya di bulan Ramadan. Paradigma ini jelas tidak benar dan justru berpotensi melanggengkan status quo kemiskinan.

Ditengah kegariahan organisasi pengelolaan zakat untuk melakukan edukasi kepada masyarakat dalam kewajiban berzakat serta partisipasi dalam program pembangunan masyarakat, kini muncul wacana sentralisasi pengelolaan zakat menjadi sepenuhnya dilakukan oleh negara. Rencana pemerintah mengajukan amandemen UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat dimaksudkan agar pengelolaan zakat dapat lebih transparan.

Sejumlah badan amil zakat maupun lembaga amil zakat pun diharapkan dapat bekerja lebih profesional. Namun, draff revisi UU 38/1999 yang diajukan pemerintah mencantumkan rencana penghapusan lembaga zakat masyarakat atau swasta. Alasan pertama, disebutkan bahwa organisasi pengelolaan zakat diatur di UU itu tidak sesuai ketentuan agama.

Kemudian pengelolaan zakat hanya boleh dilakukan oleh badan amil zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah di semua tingkatan, dari pusat sampai kelurahan/desa. Selain itu, LAZ bentukan masyarakat atau swasta yang dikukuhkan di instansi pemerintah dan swasta diubah menjadi unit pengumpul zakat (UPZ). UPZ tak berhak mendistribusikan zakat. Kemudian, lembaga pengelola zakat yang tidak berhak, akan diancam hukuman penjara tiga tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 500 juta. Sementara, Setiap LAZ harus mengubah statusnya menjadi UPZ atau unsur BAZ, paling lambat dua bulan setelah diundangkan.

Seharusnya pemerintah memperbaiki draff itu dengan yang lebih menghargai keanekaragaman tafsir keagamaan, mempertimbangkan aspek kepercayaan masyarakat, menyiapkan periode tahapan perubahan yang memadai, serta didasarkan fakta dan realitas perzakatan, termasuk sejarah pertumbuhan lembaga-lembaga zakat di Indonesia.

Mengutip buku “Zakat dan Pembangunan: Era Baru Zakat Menuju Kesejahteraan Ummat” disebutkan bahwa ide sentralisasi kelembagaan pengelolaan zakat oleh negara seperti yang diusung oleh pemerintah dalam draff amandemen UU No. 38/1999, perlu mendapat pertimbangan. Alasannya adalah: Pertama, sentralisasi kelembagaan zakat oleh pemerintah tidak menjamin peningkatan kinerja, bahkan bisa menjadi bumerang. Di banyak negara muslim, penghimpunan Zakat yang dilakukan oleh lembaga pemerintah adalah kecil bila dibandingkan potensinya. Meskipun sentralisasi ini diikuit dengan penerapan sanksi bagi muzakki yang lalai, tetap tidak menjamin kenaikan kinerja penerimaan Zakat secara memuaskan.

Kedua, wacana sentralisasi untuk peningkatan kinerja Zakat adalah tidak valid, ahistoris dan mengingkari peran civil society dalam masyarakat yang demokratis. Kinerja penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat lebih banyak ditentukan oleh legimitasi dan reputasi lembaga pengumpul, bukan oleh sentralisasi kelembagaan oleh pemerintah. Operasional perusahaan dan organisasi nirlaba yang transparan lebih disukai dan menumbuhkan kepercayaan muzakki. Trust menjadi kata kunci disini.

Ditengah carut marutnya reputasi birokrasi dan rendahnya kepercayaan masyarakat, maka kita sulit berharap kinerja zakat akan meningkat pasca sentralisasi. Wacana ini juga ahistoris mengingat rekam jejak panjang dari organisasi nirlaba sejak tiga dekade lalu dan menafikan partisipasi masyarakat yang merupakan komponen penting dalam pembangunan.

Sehingga yang harus diperkuat pemerintah di sini adalah upaya peningkatan kapasitas dan kredibelitas BAZ dan LAZ, serta sosialisasi yang masif bahwa zakat harus ditunaikan ke lembaga zakat.

Mampukah menjawab permasalahan?
Secara historis-yuridis, tak ada perdebatan bahwa Zakat seharusnya dikelola oleh Negara (QS 9: 103). Jumhur ulama sepakat bahwa Negara harus merujuk mengumpul zakat. Bukti sejarah juga secara jelas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad dan para penerusnya mengirim para pengumpul zakat kepada para wajib Zakat. Namun dalam konteks kontemporer saat ini dimana Negara muslim adalah sekuler, maka pengelolaan Zakat menjadi suatu eksperimen baru yang sangat beragam.

Sebagai dasar regulasi dan kerangka institusional perzakatan nasional, UU No. 38/1999 memang masih jauh dari sempurna. Setelah sembilan tahun berjalan, UU Pengelolaan Zakat belum mampu menjawab berbagai pemasalahan dalam pengelolaan zakat nasional, yaitu : pertama, ketidakjelasan peran lembaga regulator, pengawas, dan operator zakat; kedua, kelemahan aturan tehnis pendukung dan ketidakjelasan peran perda zakat; ketiga, tidak adanya strategic planning dan capaian target dalam penghimpunan dan pendistribusian Zakat; keempat, belum adanya standar pelaporan keuangan dan kegiatan pendayagunaan Zakat; kelima, relasi zakat dan pajak yang tidak tuntas; keenam, rendahnya pemahaman, kesadaran dan partisipasi masyarakat; dan ketujuh, tidak adanya sanksi bagi wajib Zakat yang lalai.

Namun apakah wacana sentralisasi pengelolaan zakat sepenuhnya oleh negara akan menjawab permasalahan-permasalahan diatas? Untuk saat ini, di tengah rendahnya kepercayaan terhadap kinerja dan keamanahan pemerintah mengemban amanat. Jika pengelolaan zakat ini hanya dipercayakan pada pemerintah saja (satu pintu) tanpa adanya partisipasi dari masyarakat, apakah masyarakat mau membayarkan zakatnya ke BAZ? Apakah secara otomatis potensi zakat yang besar itu bisa tergarap dengan sempurna?Wallahua’lam.

Sucipto (Media Eksternal Rumah Zakat Indonesia)