“Karena cinta-lah, kita bukan hanya membersamaimu dalam suka maupun duka kawan.. Tapi juga dengan saling menasehati dan saling mengajarkan arti sebuah kesabaran.. Dengan do’a-lah, perjalanan hidup kita pun semakin indah..” (Fachri Aidulsyah)
Terjebak di jalan Demokrasi
Tidak kita pungkiri, jika hari-hari ini Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kian mengalami problema politik yang sangat dilematis. Sejak ditetapkannya Luthfi Hasan Ishaaq menjadi tersangka kasus suap peningkatan kuota sapi impor oleh KPK telah menyebabkan penurunan tersendiri bagi elektoral partai. Thesis tentang paradigma partai politik dakwah pun mulai dipertanyakan, apakah benar partai politik dakwah bisa menjadi solusi dalam memperbaiki umat didalam sistem demokrasi seperti saat ini?
Berawal dari pertanyaan itulah, akhirnya kita harus mengkritisi permasalahan demokrasi yang telah menumpulkan potensi politik dakwah itu sendiri didalam sistem kepartaian hari ini. Tragedi yang telah menimpa PKS saat ini seakan menjadi penanda dua indikasi tertentu, yaitu; (1) rapuhnya perjuangan politik dakwah dalam memperbaiki umat melalui partai politik, (2) intensitas pertarungan politik praktis yang mengedepankan kepentingan partai lebih dominan ketimbang memperjuangkan kepentingan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, sehingga menyebabkan pertarungan kalah-menang antar partai dalam memenangkan Pemilu lebih dikedepankan dan mengesampingkan kemaslahatan itu sendiri. Dari indikasi inilah maka kita menilai bahwa kepemilikan perangkat partai seperti media –yang bersifat konvensional- digunakan untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Hal ini terjadi karena aparatus negara masih merupakan satu-satunya sumber terpenting bagi munculnya para politisi, terutama kepala pemerintahan ditingkat pusat, daerah maupun di dalam bidang legislatif yang berorientasi pada pengakumulasian kapital dan privatisasi sektor untuk keuntungan pribadi. Fenomena baron perampok (robber barons) yang melakukan jual-beli suara dan rekayasa mesin politik pun kian menyeruak di Indonesia, regularisasi kebijakan di Indonesia masih bersifat “jual-beli dipasar gelap” yang didalamnya memberikan ruang tawar menawar transaksi, negosiasi, kompromi, dan konsensus yang dilakukan secara rahasia, tak nampak dan illegal akibat perselingkuhan antara penguasa-pengusaha dalam ‘pembuatan kebijakan’ yang mampu memengaruhi birokrasi dan aparat hukum. Prinsip transparansi dalam pengambilan keputusan kebijakan publik hanyalah rekayasa belaka. Pada dasarnya, keputusan tersebut sudah dikompromikan diruang tertutup yang tidak pernah transparan.
Fenomena demokrasi inilah yang telah menyebabkan PKS sulit memenangkan pertarungan melawan dominasi partai politik yang berorientasi pada privatisasi sektor yang dapat mengakumulasikan keuntungan finansial. Disamping itu, PKS juga tidak bisa membangun kolektifitas politik dakwah bersama ‘parpol Islam’ lainnya dalam upaya mengislamisasikan pemerintahan. Yang ada justru pertarungan elektabilitas dengan parpol Islam lainnya dalam memperebutkan suara dari masyarakat muslim itu sendiri. Fenomena partai terbuka yang kian digemakan PKS pun tak mampu merubah citra identitas awal mereka sebagai partai dakwah itu sendiri.
Ketika Uang menjadi Senjata!
Permasalahan sistem demokrasi di Indonesia semakin menjadi cambuk ketika uang menjadi senjata utama dalam operasionalisasi dan kampanye partai.
Dan PKS pun tidak memungkiri, berkurangnya subsidi negara kepada partai politik menjadi permasalahan tersendiri bagi modal partai sejak tahun 2005. Awalnya, dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 51/2001 tentang Bantuan Dana Partai-partai Politik, pada Pemilu 1999, PK mendapatkan dana subsidi dari pemerintah Rp. 1,4 milyar yang dilaokasikan untuk DPP. Penerimaan uang tersebut diberikan berdasarkan skema Rp. 1000 per-suara sesuai dengan perolehan suara PK pada Pemilu 1999. Namun, pemerintahan SBY merevisi aturan tersebut dengan menetapkan PP No. 29/ 2005 yang menyatakan bahwa negara mengurangi subsidinya dengan cara pemberian kepada partai-partai politik sebesar 21 juta rupiah per-kursi yang diperoleh oleh partai tersebut pada Pemilu 2004. Hal ini juga berdampak pada perubahan subsidi di tingkat daerah yang berorientasi pada perolehan kursi. Akibatnya, pendapatan partai menurun secara sangat signifikan. PKS mengalami penurunan subsidi dari Rp. 1,4 milyar per-tahun yang diterima DPP PKS sejak 2001 hingga 2004. Sejak subsidi berdasarkan formulasi baru dilaksanakan per-Januari 2006 hingga sekarang, DPP PKS hanya menerima Rp. 945 juta per-tahun saja. Jika pemerintah masih menggunakan skema subsidi yang lama, maka DPP PKS memperoleh dana segar sebesar Rp. 8,3 milyar per-tahun sesuai dengan hasil perolehan suara partai pada Pemilu 2004 (Burhanuddin M: 2012).
Atas dasar ini, tidak heran jika kemudian PKS berpikir keras untuk mencari strategi baru dalam menambah pemasukan kas partai, apalagi untuk kebutuhan operasional partai dan dana kampanye yang semakin membludak.
Berdasarkan riset AC Nielsen menunjukkan bahwa jumlah belanja iklan politik di televisi selama oktober 2008 hingga februari 2009 saja mencapai Rp. 118,72 milyar. Dalam hal ini, PKS menduduki peringkat ke-empat yang mengeluarkan biaya iklan di televisi Rp. 4,866 miliyar setelah Gerindra, Demokrat, dan Golkar yang menduduki peringkat tiga besar. TV One juga meliris data lima besar partai dengan pengeluaran dana iklan terbanyak, yaitu Gerindra Rp. 9 miliyar per-bulan, Demokrat Rp. 8,5 milyar per-bulan, Golkar Rp. 5 milyar per-bulan, PKS 2 milyar per-bulan, dan PDI-P Rp. 1, 5 milyar per-bulan. RTS Masli mengungkapkan, pada Pemilu 1999, biaya belanja iklan politik mencapai Rp. 35, 69 milyar, sementara pada Pemilu 2004 belanja iklan politik meningkat drastis 10 kali lipat hingga mencapai Rp. 3 triliun. AC Nielsen mengungkapkan, sedangkan ditahun 2008, sebelum mencapai Pemilu 2009 saja sudah menghabiskan biaya iklan politik pada saat itu mencapai Rp. 41,7 triliun (Burhanuddin M: 2012).
Dalam hal ini, memang perlu diakui, bahwa pendanaan partai yang paling utama didapatkan dari iuran anggota dan kontribusi suka rela dari para simpatisannya. Mafhudz Siddiq mengungkapkan bahwa; PKS juga terbuka menerima sumbangan dari pihak-pihak luar, baik perusahaan maupun individu yang memiliki agenda dan cita-cita religio-politic yang sama dengan partai. Namun demikian, sumbangan pihak ketiga jelas sarat kepentingan ekonomi dan politik seperti kasus PT. Indoguna yang menimpa LHI saat ini.
Selain itu, dalam beberapa kasus, PKS juga menuai hal yang sangat kontroversial ketika dicalonkannya Tamsil linrung sebagai anggota DPR dari PKS yang ditempatkan sebagai Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI periode 2009-2014. Padahal beberapa kalangan menuding bahwa Tamsil memiliki rekam jejak yang kurang baik dalam pemberantasan korupsi. Isu kurang sedap terakhir yang menimpa Tamsil adalah dugaan peranan dia dalam alokasi pendanaan percepatan pembangunan infrastruktur daerah transmigrasi.
Yang paling kontroversial selanjutnya adalah, dicalonkannya Jenderal Polisi (Purn.) Adang Daradjatun pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2007. Mietzner mengungkapkan bahwa; ada spekulasi yang menyebut Adang menyetor uang antara Rp. 13 milyar sampai Rp. 15 milyar sebagai “uang mahar” dan PKS tidak menolak secara tegas. Kasus yang lainnya adalah Inu Kencana Syafi’ie (Mantan dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang berkeluh kesah pada media (Padang Ekspress) karena diminta membayar uang Rp. 1 milyar sampai Rp. 3 milyar kepada DPD PKS di Payakumbuh jika ingin mendapatkan dukungan dari partai sebagai calon walikota.
Dari hal ini maka kita akan mengambil dua benang merah yang menyatakan bahwa; (1) dalam menghadapi kendala finansial seperti diatas, PKS terkadang harus melakukan praktek “jual-beli” proses pencalonan kepala daerah pada calon non-kader, namun ia memiliki kemampuan finansial yang sangat banyak. Hal ini terkesan PKS mulai kurang komitmen untuk mencalonkan kader-kadernya sendiri dalam berbagai macam Pemilu. (2) PKS pun tidak memungkiri untuk bernegosiasi dan berdekatan dengan berbagai macam kalangan untuk melakukan praktik “jual-beli di pasar gelap” dalam memengaruhi kebijakan partai yang sekiranya dapat mendongkrak peningkatan finansial partai.
Ketika Zona Nyaman menjadi Ancaman!
Pada dasarnya tragedi yang menimpa LHI tidaklah terlalu signifikan menghancurkan sistem penjagaan kaderisasi partai. Kader masih terlihat cukup solid meski pun tengah ditimpa permasalahan yang sangat berarti. Dalam hal ini, harus diakui memang PKS cukup diuntungkan dengan sistem jama’ah yang mengedepankan kepercayaan kepada pemimpin jama’ah –yang sekaligus pemimpin partai- dalam menentukan berbagai macam kebijakan bagi setiap kader meski pun diantara mereka tidak tahu maksud dan tujuan yang melandasi kebijakan tersebut. Sikap inilah yang selama ini terus dipertahankan hingga ia telah mengakar kuat dalam aktivitas jama’ah.
Namun di lain kesempatan, justru kondisi tersebut memiliki dampak yang sangat signifikan. Arif Munandar (2011: 6) dalam disertasinya pun mengakui; Sebagian kalangan di PKS ”menggunakan” kedua doktrin tersebut untuk melakukan langkah-langkah pragmatis dengan argumentasi akomodasi politik demi kemaslahatan dakwah, walaupun kelompok lain menilainya absurd dan melenceng dari jatidiri partai. Selain itu, meminjam istilah Benedict Anderson tentang state-qua-state, maka kita akan menilai bahwa kondisi jama’ah tarbiyah hari ini mengalami jama’ah-qua-jama’ah, yang melihat bahwa kekuatan-kekuatan kader sebagai determinan sangat minor dalam pembelajaran pengambilan keputusan, karena sifat “sakralitas ketergantungan” kader terhadap elite jama’ah, seakan telah melumpuhkan pengembangan potensi kader untuk terlibat aktif dan mempelajari lebih jauh tentang pengambilan sebuah keputusan yang bersifat strategis.
Hal ini telah mengakibatkan demografi intelegensia jama’ah tarbiyah saat ini –meminjam istilah Lawson- bagaikan struktur piramida. Ditingkat elite -yang hanya segelintir pada bagian atas- mengalami penajaman secara intelektual dan semakin terbukanya akses akumulasi kapital, namun terjadi pengeroposan intelegensia ditingkat kader –yang sangat determinan-. Disaat yang seperti inilah, jama’ah akan mengalami pengeroposan re-generasi kualitas elite dimasa mendatang, dan semakin bergantung pada elite saat ini.
Jika kita mengambil konsepsi Foucauldian tentang genealogi yang berusaha mengidentifikasi hal-hal yang menyempal (accidents), mengidentifikasi penyimpangan-penyimpangan yang kecil (the minute deviations)’. Genealogi memfokuskan diri pada retakan-retakan, mempelajari keadaan-keadaan sinkronik (perubahan kondisi jama’ah pada saat-saat tertentu) dalam kerangka waktu yang diakronik (jangka waktu perjalanan dakwah jama’ah yang ‘lama dan berkesinambungan) maka kita akan melihat kondisi Jama’ah mengalami perubahan yang sangat signifikan ketika memasuki pasca-reformasi terjadi reorientasi gerakan yang sangat berbeda. Pada fase ini –meminjam pendapat Airlangga P (2013)- gagasan terhadap ideologi Tarbiyah dapat terseleksi, mengalami proses deviasi atau menjelma menjadi sebuah praktik politik yang berbeda dengan ide awalnya, yang mana hal itu sangat ditentukan oleh pertemuan atau perselisihan kepentingan dari aktor (elite partai) yang mengusungnya dengan koalisi sosial yang mereka bangun. Sehingga, dalam pemahaman akan kontestasi diskursus Ideologi Tarbiyah saat ini tidak melupakan bagaimana bias kepentingan ekonomi-politik mempengaruhi praksis ideologi yang bekerja dalam kontestasi politik tersebut, serta kendala konkret apa yang muncul dari implementasi gagasan dalam realitas politik sangat mudah disitir oleh sebagian aktor untuk merekonstruksi wacana baru bagi setiap kader demi penyelamatan aktivitas politik elite partai itu sendiri. Hal ini sangat jauh berbeda ketika jama’ah Tarbiyah belum memasuki ranah politik praktis ketika aktivitas dakwah tidak disamakan dengan orientasi elektabilitas.
Ada dua hal yang mendasari perihal tersebut, yaitu; (1) Secara tidak sadar, sistem jama’ah Tarbiyah memberikan peluang untuk menciptakan ideologi Tarbiyah sebagai satu-satunya asas tunggal yang telah menciptakan ‘sakralisasi struktur kelas’ tersendiri yang pada akhirnya mengakibatkan penurunan peranan-peranan grass-root dalam mempelajari peta politik dan pembelajaran pengambilan sebuah keputusan. Sistem seperti inilah yang pada akhirnya telah menciptakan kader terjebak pada kesadaran teknokratis yang telah mengondisikan ideologi untuk mempertahankan ‘struktur’ yang menekankan pada kelestarian sistem (system maintenance) yang dibuat dan dirubah oleh elite itu sendiri. Sistem ini juga memberikan peluang para elite untuk memberikan imbalan-imbalan sosial bagi mereka yang menjamin kesetiaan massa pada sistem tersebut.
(2) Untuk menegaskan identitas kelompok, sistem kaderisasi PKS memagari kadernya –meminjam istilah Emmanuel Sivan- dengan group dan grid. Group berguna untuk menegaskan komitmen terhadap kelompok, sedangkan grid berguna untuk menyensor interaksi sosial anggota dengan dunia luar komunitas mereka. Sikap defensif dan resisten terhadap orang yang mengkritisi jama’ah dan pandangan yang bersifat inward looking bertujuan untuk menjaga kemurnian kelompok dari “penetrasi dunia luar” yang dianggap akan mengganggu stabilitas jama’ah.
Hal inilah yang pada akhirnya akan menyebabkan “kegamangan ideologi” ketika proses deviasi ideologi yang terjadi dikalangan kader mengakibatkan banyak diantara mereka yang secara tidak sadar menganggap bahwa ideologi Tarbiyah adalah sesuatu yang mutlak dan bersifat secret, padahal ideologi Tarbiyah adalah jalan untuk memahami Islam yang syumuul dengan cara mempelajari suatu kondisi sosial tertentu, untuk menciptakan suatu strategi –berdasarkan syari’at- dalam rangka mencapai daulah Islamiyah.
Mari Kita Renungkan!
Pada dasarnya fenomena diatas sudah diprediksi oleh para kader partai. Sebagaimana yang dikutip oleh Arif Munandar, Yon Machmudi (2008: 219) mengungkapkan; berbagai manuver yang dilakukan PKS sebagai konsekuensi doktrin ”al–jama’ah hiya al–hizb wa al–hizb huwa al– jama’ah”, maupun ”yakhtalituna walakina yatamayyazun” (”bercampur namun berbeda”), menyisakan dilema, bahkan problematika, bagi PKS dan para kadernya. Sebagian kalangan di PKS ”menggunakan” kedua doktrin tersebut untuk melakukan langkah-langkah pragmatis dengan argumentasi akomodasi politik demi kemaslahatan dakwah, walaupun kelompok lain menilainya absurd dan melenceng dari jatidiri partai.
Oleh karena itu, penulis ingin memberikan sebuah gagasan tentang (1) bagaimana cara seorang kader dapat memahami kembali bahwa “al-jama’ah hiya al-hizb wa al- hizb huwa al-jama’ah” bukanlah suatu hal yang bersifat tsawabit atau-pun mutlak. Melainkan harus dimaknai sebagai sebuah strategi dalam berpolitik, yang dalam pemaknaan asas-nya tetap harus dibedakan diantara keduanya dengan sebuah pemahaman bahwa partai adalah wajihah yang bersifat mutaghoyyirot tidaklah sama pemaknaannya dengan jama’ah yang bersifat tsawabit. Dengan begitu, jama’ah dapat berfungsi sebagai social control dan checks and balances terhadap kinerja partai serta memberikan ruang bagi setiap kader untuk mengkritisi kinerja partai itu sendiri. Sebab, bagaimana pun juga dakwah diranah parlemen sangatlah dibutuhkan dan masih memiliki harapan untuk sebuah perbaikan selama partai dakwah selalu berbenah diri, membangun kolektivitas gerak, dan membuka ruang partisipasi maupun menerima berbagai-macam kritik dan saran yang membangun sebagai sebuah batu loncatan untuk perbaikan dakwah di parlemen.
(2) Sebagaimana Arif Munandar (2011) mengungkapkan; struktur organisasi PKS yang cenderung oligarkis berpotensi memunculkan becalming, yaitu situasi di mana para kader mengalami penurunan komitmen dan motivasi secara signifikan, dan terjadi pergeseran tujuan (goal displacement) pada sebagian dari mereka. Oleh karena itu, merujuk pada pendapat Osterman (2006), Arif Munandar merekomendasikan agar perbaikan/penyempurnaan proses tarbiyah juga diarahkan agar tarbiyah dapat menjadi media yang efektif untuk membangun dan menguatkan sense of capacity and agency, yaitu keyakinan diri para kader tentang kapasitas pribadi dan peran strategis mereka terhadap pengambilan keputusan dalam organisasi. Di samping itu, dilakukan pula langkah-langkah untuk menghidupkan, dan kemudian menguatkan, budaya diskusi dan kontestasi gagasan secara internal, sehingga para kader menjadi lebih berdaya ketika berhadapan dengan dominasi elit. Merujuk pada tipologi spiritualitas organisasi (Pina e Cunha et.al., 2006), tarbiyah harus difungsikan untuk mentransformasi kader dari kondisi dependen menjadi independen. Dengan konteks sifat organisasi yang spiritually informed, PKS akan berubah dari the soulful organization menjadi organisasi holistik (the holistic organization), di mana organisasi memiliki perhatian yang integral terhadap kebutuhan manusia, dan para kader memiliki pemaknaan yang mendalam tentang peran dan tugas mereka sebagai bagian dari organisasi. Dalam hal ini Arif Munandar berpendapat bahwa membangun budaya yang lebih terbuka secara internal jauh lebih bermakna dan kontributif terhadap pengokohan organisasi PKS ketimbang mewacanakan “Partai Terbuka”.
Dan yang terakhir, -penulis mengutip pendapat Arif Munandar- melalui berbagai macam gagasan diatas diharapkan Partai dan Jama’ah mampu mendewasakan para kadernya dengan membangun kematangan emosional dan spiritual, menguatkan internal locus of control, serta membekali mereka dengan kemampuan belajar (learning) yang prima, yang berpusat pada keterampilan merespon setiap persoalan dengan melontarkan pertanyaan “What is wrong with us?” Dalam sebuah iklim demokrasi internal yang sehat dan bertanggung jawab, dan eksistensi kader-kader yang matang dan dewasa, pengelompokkan, faksionalisasi, dan konflik internal justru menjadi sistem check and balances atau mekanisme self-correction yang sungguh efektif membuat partai selalu terjaga untuk selalu melakukan observe dan assess yang mendalam dan akurat, sebelum merancang kebijakan dan langkah, dan kemudian mengimplementasikannya. Dengan demikian, daripada menyia-nyiakan sumber daya untuk menghujat kepastian yang bernama pengelompokkan, faksionalisasi, dan konflik internal, lebih baik membangun kepantasan untuk memetik manfaat sebesar-besarnya dari ketiga hal tersebut.
Billahi Fii Sabiilil Haq..
Ditulis Oleh: Fachri Aidulsyah, Mantan Kepala Departemen Kebijakan Publik KAMMI Komisariat UGM 2012-2013.