Bila dulu ada tuduhan peserta aksi dibayar 500 ribu rupiah, pada reuni ini malah tuduhannya downgrade sekali, kisaran 100 ribu. Tuduhan yang sangat garing. Beli tiket Bandung -Jakarta PP, plus makan minum per orang saja, mencapai setengah juta rupiah. Itu yang “lokal”.
Bayangkan berapa rupiah dihabiskan peserta dari luar Jawa untuk tiket dan penginapan. Bayangkan berapa puluh hingga ratus miliar bila di total perputaran ekonomi dari aksi ini.
Tak semua peserta aksi ini pernah minum di Starbucks. Usai aksi, gerai kopi di stasiun Gambir ini dipenuhi orang-orang berbaju putih. Di lantai atas pojok kafe ini, Hafid, seorang peserta asal Priok mengaku anaknya bekerja di Starbucks.
“Senang bisa ketemu anak saya yang kerja di sini sambil saya ikut reuni 212”, katanya. Meski anaknya bekerja di Starbucks, baru kali itu ia masuk dan minum kopi di sana.
Dan siapa yang paling senang bila roda perekonomian di negara ini berjalan dengan baik? Tentunya pemerintah. Itu mendorong ekonomi negara semakin membaik.
Selain pemerintah, siapa lagi yang senang dengan reuni 212? Tentunya tukang kalender di sekitar Monas. Di bulan Desember, jualan kalender selalu laku keras.
“Ini jajanan paling murah meriah, pak. Kalender dengan foto 212 harga lima ribu perak bisa untuk satu tahun”, selorohnya di depan pintu masuk Monas.