Tanpa ba-bi-bu, anak laki-lakinya mengeluarkan satu dus brownies dari keresek dan memberikannya pada kakek itu. “Jazakallahu khairan katsiran”, ucap kakek berbaju coklat pudar tersebut.
Di sini tak ada orang yang alergi bendera putih dan hitam dengan kalimat Tauhid. Banyak peserta yang membawa bendera ini, tampak riang mengibarkannya, bersanding dengan bendera Merah Putih.
Mengenai penolakan segelintir orang terhadap reuni 212, seorang peserta aksi dari Bandung, menanggapi. “Reuni urang nya kumaha urang. Ibarat jelema sakola, alumni na reunian, nya biasa-biasa weh wajar. Kunaon sakola batur kudu ribut ningali reuni sakola urang, rek dihalang-halang sagala”, katanya dengan logat Sunda kental.
Maksudnya kurang lebih, aksi 212 ibarat sebuah sekolah, bila alumninya selenggarakan sebuah reuni itu adalah hak mereka. Tak perlu alumni sekolah lain permasalahkan apalagi menghalang-halangi penyelenggaraannya.
Beberapa peserta aksi asal Bogor di lokasi mengomentari pengerahan puluhan ribu TNI dan Polri untuk pengamanan reuni 212. “Rasanya sih nggak perlu TNI dan polisi sebanyak itu untuk pengamanan. Aksi kita setiap tahun sudah jelas damai. Kayaknya malah kita yang mengamankan mereka”, kata Agus, setengah guyon.
Kita patut berterimakasih pada aksi ini bukan hanya karena aksinya damai, tapi hitung perputaran ekonominya. Berapa ratus ribu karton air mineral dibeli, berapa ratus ribu orang membeli gamis, berapa juta tiket bis, kereta, pesawat yang terjual PP, makan dan minum di perjalanan/pusat transportasi, donasi hamba Allah pada tukang makanan, bahkan tukang dagang pun menggratiskan jualannya.